Lulu: Nama Semua Bayi di Gehol

Untitled Document
Tradisi menamai di Gehol sudah ada dalam artikel sebelumnya yang berjudul Cara Unik Menamai Anak di Gehol. Nah, jika sebelumnya hanya bercerita tentang huruf awal yang direkomendasikan dipakan berdasarkan hari, maka kali ini akan diulas mengenai perlakuan orang tua pada anak yang baru lahir.
Di Gehol, setiap anak yang lahir akan diperlakukan dengan sangat istimewa. Jika saat lahir dan perlakuan terhadap ari-ari hamper sama dengan semua tradisi di Indonesia, maka penamaan menunjukkan cirri khas yang sukar ditemui di tempat lain.
Bayi-bayi yang lahir di Gehol dipandang suci sesuci-sucinya. Selama empat puluh hari, si bayi akan ditunggui orang tuanya setiap malam. Selama empat puluh hari itu, setiap malam para orang tua yang tinggal seatap dengan si bayi akan bergiliran menjaga. Tak jarang, tetangga ikut juga menemani.
Acara lek-lekan ini dilakukan salah satunya untuk menjaga agar si bayi tetap selamat. Warga Gehol berpendapat bahwa waktu paling rawan bagi para bayi adalah empat puluh hari pertama seja ia dilahirkan. Untuk itu, demi menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan, maka menjaga bayi di malam hari menjadi tradisi dan kewajiban kaum lelaki.
Selain itu, di Gehol dahulu kala banyak berkeliaran pemilik teluh yang mengincar nyawa bayi. Karena bayi masih suci, nyawa mereka sangat diinginkan oleh kaum yang berserikat dengan iblis alias muja. Biasanya, teluh ini berbentuk cahaya yang malang-melintang di langit Gehol. Karena bentuknya seperti meteor, maka saat meteor asli memperlihatkan wujud sering pula warga berteriak-teriak teluh.
Nah, yang paling unik adalah selama empat puluh hari tersebut si jabang bayi tidak akan diberi nama. Para bayi yang lahir di Gehol akan diberi nama sementara, Lulu. Otomatis, nama Lulu adalah nama semua bayi yang ada di Gehol. Entah kenapa nama ini yang dipakai untuk menamai selama empat puluh hari awal hidup mereka.
Nama Lulu sendiri akhirnya sangat jarang ditemui pada warga asli Gehol. Jika si Lulu yang paling dikenal masyarakat Jakarta adalah adik dari Lupus, maka di Gehol Lulu adalah nama yangt pasti dilekatkan pada bayi yang baru lahir. Otomatis, tak ada anak-anak, dewasa, dan orang tua yang memiliki nama Lulu. Karena semua warga yang lahir di Gehol pada awalnya adalah Lulu.
Unik bukan? Sulit ditemukan di bagian lain di bumi ini yang menjalankan tradisi ini. Jadi, jika Anda menanyakan siapa nama bayi yang baru lahir di Gehol, sebanyak apapun bayi yang lahir, nama mereka adalah Lulu. Si Lulu.

Belulang di Mungkal Tumpang (4)



Padepokan Swargalega memiliki kompleks yang sangat megah. Kemegahannya hanya bisa disejajarkan dengan Kompleks Istana Geholsraya. Meski harus diakui bahwa cita rasa seni Pramponama jauh lebih kuat dan agung dari Sukamdani, penguasa Geholsraya.

Keagungan seni yang ditunjukkan Pramponama dalam bangunan Padepokan Swargalega terlihat amat megah. Lihat saja letak bangunan yang menjulang pada sebuah kawasan yang pintu masuknya harus melalui pesisir Cigunung. Bangunan tersebut terletak di sebuah batu karang yang berukuran sangat luas, hamper setengah Gehol ibukota Geholsraya. Daerah yang dinamakan Cikadingding tersebut adalah wilayah yang sangat dihindari setelah hutan Tumaregol.

Belulang di Mungkal Tumpang (3)

Sarju dan Jatianom sama-sama tertarik dengan dongeng-dongeng lama. Mereka yakin bahwa dongeng yang diceritakan leluhur mereka memiliki akurasi kebenaran yang mengagumkan.

“Di masa lalu, ketika semua bangsa masih suka kedamaian, bangsamu, bangsaku, dan bangsa-bangsa yang kini dianggap cuma mitos bersatu dan saling membantu,” ujar Sarju.

“Sayang, semua hilang hanya karena berebut batu.” Sarju meneruskan ceritanya.

Jajagoan, Permainan Ketangkasan dari Gehol

Pilih pohon jagung sebagai jagoan
Melihat namanya, tentu akan teringat dengan film laga atau cerita silat dimana ada para jagoan yang membasmi kejahatan. Namun, jajagoan dari Gehol sangat jauh berbeda. Tidak ada unsure kekerasan sama sekali, meski salah satu risiko memainkan permainan ini bisa terluka.

Permainan jajagoan biasa dimainkan anak-anak Gehol di masa lalu saat musim panen jagung tiba. Karena hanya dengan pohon jagunglah, permainan yang khas anak lelaki ini bisa dimainkan. Melalui media pohon jagung, anak laki-laki yang bermain jajagoan bisa menundukkan lawannya hingga hancur lebur.

Untuk dapat menghancurkan lawan, permainan ini membutuhkan kekuatan tenaga, ketepatan membidik, dan perhitungan yang matang. Kombinasi ketiganyalah yang mampu membuat seseorang bisa memenangkan permainan Jajagoan. Tentu saja, wajib juga ada sejumput keberuntungan yang didapat.



Belulang di Mungkal Tumpang (2)

Dengan Langlayangan kesayangannya, Sarju mengarungi angkasa Geholsraya. Semenjak beberapa tahun terakhir, ia rajin menengok dunia luar. Ia yang memimpin Kaum Margol yang percaya diri sebagai titisan dewa menganggap dunia manusia menakjubkan.

Sebagian besar Kaum Margol hanya keluar sejauh Mungkal Tumpang, sebuah batu bertumpuk yang menjadi area perbatasan yang dibuat kaum Margol. Batu sebesar sepuluh kali gajah dengan tinggi sepuluh kali jerapah tersebut adalah area paling jauh di hutan Tumaregol yang disambangi manusia.

Bagi Kaum Margol, menghuni gua-gua yang dibuat dengan cita rasa seni tinggi ala mereka adalah kenikmatan sekaligus kemewahan abadi dari para dewa. Mereka tidak membangun  satupun banguna  tinggi. Kaum Margol membangun pemukiman mereka menghunjam bumi. Mereka percaya bahwa para dewa bersemayam di dalam inti bumi. Itulah sebabnya, semakin dalam rumah mereka, semakin berkelas di mata Kaum Margol.

Belulang di Mungkal Tumpang

Belantara Tumaregol dijuluki hutan hitam oleh warga Geholsraya. Julukan tersebut diberikan karena hutan tersebut penuh dengan aura angker dan sihir jahat. Setiap malam, suara hewan menggelora mendirikan bulu kuduk.

Hutan Tumaregol sendiri dipenuhi oleh pepohonan tua dengan usia berabad-abad. Jauh di dalam hutan tersebut, tinggal sekelompok makhluk cerdas dengan kemampuan yang adilihung. Mereka adalah manusia-manusia super yang sengaja menghilang dari dunia nyata. Dengan kemampuan mereka yang mumpuni, bepergian ke Geholsraya tanpa diketahui manusia biasa adalah hal yang biasa.

Penduduk dalam Tumaregol biasa disebut Kaum Margol. Kaum Margol sendiri berujud sama seperti manusia biasa seperti kebanyakan warga bumi Geholsraya. Namun badan mereka memiliki tinggi minimal dua meter. Badan mereka kekar dengan wajah keras nan tampan dan cantik. Kaki-kaki mereka jenjang tanpa timbunan lemak berlebih karena hanya sedikit digunakan untuk berjalan. Mereka terbiasa terbang dengan kendaraan rumit yang biasa disebut Langlayangan.

Kaum Margol percaya bahwa mereka adalah titisan para dewa. Kaum Margol mengangkat pemimpin mereka yang paling hebat dan mampu terbang tanpa bantuan Langllayangan. Saat ini, Kaum Margol dipimpin oleh Sarju.

Sarju sendiri terbilang berani dan maju dalam berpikir. Jika selama ini para penduduk Tumaregol enggan bersahabat dengan manusia, Sarju berpikir dan bertindak sebaliknya. Ia diam-diam memiliki kontak dengan salah satu penduduk Geholsraya. Penduduk tersebut berasal dari kalangan biasa saja namun disegani karena kealiman dan pengetahuannya. Ia bernama Jatianom.

Geholsraya sendiri adalah kerajaan terbesar di pesisir Samudra Cigunung. Kekuasaan Geholsraya dibatasi oleh Samudra Cigunung di selatan, Pegunungan Sagara Galuh di barat, Laut Sunyi di utara dan Pegunungan Salamet di timur. Geholsraya terhitung maju untuk peradaban manusia. Kerajaan yang dipimpin oleh Sukamdani ini hidup dari bertani, berlayar, berdagang, dan berdagang logam.

Secara hokum, hutan Tumaregol adalah wilayah Geholsraya. Namun faktanya, hutan ini tidak disentuh kerajaan dan penduduk. Hutan ini berdiri angkuh memanjang dari sisi sungai Jetario menuju Pegunungan Salamet.

Kehidupan Geholsraya dibawah kepemimpinan Sukamdani sedang mengalami kekhawatiran yang menyelimuti seluruh penduduk Geholsraya. Kehidupan yang awalnya tenang berubah penuh gelisah tatkala banyak berseliweran kabar mengenai kebangkitan Padepokan Swargalega yang merupakan perkumpulan manusia-manusia cerdas nan ambisius. Perkumpulan ini memiliki banyak sekali orang pintar yang mampu menciptakan barang-barang dan sejata-senjata canggih yang sulit ditandingi. Swargalega sendiri kini dibawah pimpinan Pramponama. Seorang gila teks-teks kuno yang didesas-desuskan memiliki kemampuan membuat batu terbang.

Ketakutan Geholsraya pada Swargalega karena di masa lalu Swargalega pernah membuat heboh negeri Sukamdani dengan ledakan yang mampu membuat batu-batu meleleh. Geholsraya saat itu terpaksa menumpas Swargalega karena bahan peledak tersebut sering digunakan oleh tangan-tangan culas. Geholsraya sendiri akhirnya melarang Swargalega karena kekhawatiran tersebut.

(bersambung)


Tidurnya Birokrat Kami

Ruas Bumiayu-Salem
Pulang kampung selalu menyenangkan, bahkan sekesal apapun yang ditemui di perjalanan. Bertemu keluarga dan tanah kelahiran mampu menyurutkan tensi yang selama ini berkumpul di hati. Demi berkumpul dengan keluarga, macet seharian dan menyusuri jalanan kumuh tak pernah jadi halangan.

Jalan berlubang dan berlumpur ternyata masih eksis di tahun 2013 ini. Setidaknya di daerah kami di Brebes sana. Beruntung bagiku, melewati jalur yang bisa membuat pinggang keseleo tersebut tidak setiap hari. Namun sungguh menghibakan bagi mereka yang harus melaluinya karena tak ada pilihan.

Kerajaan Gehol Bulpusan X

Pertarunganpun tak bisa dihindari. Ratu Balakasura dengan kalap menyerang Gusti Hening dan Pantun tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk turun dari kuda dan bicara. Ia langsung menyerang dengan segenap kekuatan. Binasalah yang ia harapkan kepada dua orang yang dianggap musuhnya tersebut.

Demi mendapat serangan membabi-buta seperti itu, Gusti Hening dan Pantun tak mau main-main. Mereka langsung juga mengeluarkan kekuatan tanpa tedeng aling-aling. Maka bukit tempat mereka bertarung pun penuh getaran-getaran dan suara menakutkan. Mereka yang melihat pertarungan ini sejatinya hanya melihat bayangan yang berkelebat kesana-kemari.

Sun Geyo yang baru tiba pun demikian. Matanya terasa pusing mengikuti kemana arah bayangan yang tak benti bergerak. Masing-masing bayangan mengeluarkan sinar yang menyilaukan. Sinar-sinar berkekuatan tinggi tersebut membuat banyak pohon kecil roboh dan tanah amblas. Sun Geyo juga kebingungan menentukian yang mana bayangan junjungannya dan mana bayangan Ratu Balakasura.

Di tengah pertarungan yang entah kapan berhenti tersebut, tiba-tiba gelegar guntur membahana. Hujan deras laksana badai mengguyur Gehol yang selama ini meranggas. Derasnya hujan dan ledakan guntur tidak menyurutkan pertarungan ketiga orang berilmu sakti tersebut. Masing-masing tetap berusaha menjatuhkan lawannya.

Pantun alias Gajah Putra Sunda telah mengeluarkan ilmu Karang demi menahan serangan berbahaya Balakasura. Gusti Hening memacu serangannya dengan dilapisi ajian Karang Kemukten, jika orang biasa siapapun yang terkena ajian ini akan hancur berantakan laksana batu kapur dihantam karang.

Balakasura tentu saja tidak tinggal diam, ia telah mengeluarkan ilmu Sagara Geni yang membuat api berkobar dimana-mana. Api abadi yang tidak padam meski hujan mengguyur. Jangankan tubuh manusia, bahkan batu pun meleleh dibuatnya. 

Ketiganya terus bertarung hingga di suatu saat sebuah pukulan Gidam Alugora milik Pantun dilayangkan sekuat tenaga dan mengenai tubuh Balakasura. Kontan saja, tubuh nenek sakti tersebut melayang disertai lengking kesakitan yang dahsyat. Gusti Hening kemudian mengeluarkan ajian Karang Kemukten dengan kekuatan tenaga dalam penuh, hantamannya mengenai dada Balakasura yang membuat nenek ini megap-megap meregang nyawa.

"Tiji tibeh, aku tak sudi mati sendiri. Kalian harus ikut menemaniku menghadap para dewa," ujar Balakasura sambil memegangi dadanya yang sesak. Darah hitam kental mengucur dari sisi bibirnya yang hitam.

"Sagara Geni!" ujar Balakasura sambil melompat ke arah Pantun dan Gusti Hening. Tangannya yang mengeluarkan api mahapanas kemudian menyasar kedua musuhnya. 

Entah ilmu apa yang dipakai Balakasura tiba-tiba kedua tangannya yang berapi memanjang dan membesar. Kontan saja Gusti Hening dan Pantun kelabakan. Karena tak bisa menghindar keduanya sepakat mengeluarkan ajian pamungkas dengan tenaga penghabisan. 

"Karang Kemukten," teriak Gusti Hening sambil menabrakkan diri ke arah tangan Balakasura yang membesar dan berapi mahapanas.

"Palu Alugoraa," lengking Pantun seraya melakukan hal yang sama dengan Gusti Hening.

Sedetik kemudian, terdengar ledakkan yang memekakkan telinga bagi siapapun yeng mendengarnya. Ledakan beradunya kekuatan tersebut membuat tempat pertarungan berubah menjadi lubang cekung sangat besar. Sementara itu, tubuh Balakasura menclat ke arah Ci Hirup meninggalkan jalur yang dalam sehingga membuat Ci Gunung jalurnya membesar. Tubuhnya berhenti di sebuah karang yang tadinya berada di sisi sungai namun karena ledakan dan sapuan tubunya kini berada di tengah sungai. Tubuh tersebut terhenyak sembari kehilangan nyawa kemudian meledak meninggalkan sebuah lubang yang sangat dalam.

Gusti Hening juga demikian, tubuhnya menclat ke arah Timur dan meledak membuat tebing di sisi itu roboh beserta pepohonan yang tumbuh di atasnya. Akibat ledakan tersebut, bukit yang tadinya menjulang kemudian jadi landai.

Pantun yang mengeluarkan ilmu sambil menabrakkan diri ke arah Balakasura pun demikian. Tubuhnya melayang jauh ke arah utara dan membentuk lubang besar di bawah sebuah pohon kiara yang teramat besar. Anehnya, lubang tersebut mjengeluarkan air yang sangat deras dengan warna bening nan harum.

Hingga kini, bekas pertarungan ketiganya tetap ada. Bukit tempat Gusti Hening meledak dinamakan Sagara Hening. Mata air tempat Pantun jatuh dan mengeluarkan air bening dan harum dinamakan Ci Pantun. Sedangkan jalur besar Ci Gunung yang dibuat Balakasura dinamakan Petahunan. Di tempat inilah, Balakasura setahun sekali meminta korban. Demi menghindarinya, par apenduduk kemudian melakukan upacara menolak balakasura, yang lama kelamaan dinamakan jadi tolak bala.

Sementara itu Gehol kembali normal. Pembentukan lewi diteruskan dan hingga kini masih ada dan dinamakan Ci Lewi. Sun Geyo sendiri kemudian menjadi penguasa Gehol sebab para petingginya telah punah. Lalu negeri itu dinamakan Negeri Ngeyo untuk mengabadikan jasa Sun Geyo.

(tamat)

Kerajaan Gehol Bulpusan IX

Dua kuda melesat bak kilat membelah sekaligus mencerai-beraikan kerumunan Gehol Manunggal yang sibuk berdebat. Keduanya menuju kea rah Ci Hirup, mereka adalah Gusti Hening dan Gajah Putra Sunda. Mereka hendak melumpuhkan teluh yang memenuhi hawa Gehol dengan menghancurkan sumbernya langsung.

Para pemuda yang berkerumung menunggangi kuda-kuda supercepar tersebut, serentak mereka diam dan berlari mengikuti. Sebuah peri semula marah dan heran melihat kedua kuda yang nyaris menabrak mereka. Namun demi melihat siapa yanstiwa besar dipastikan akan terjadi dan memengaruhi anak-cucu mereka berabad-abad kemudian.

Sementara itu, keriuhan juga terjadi di kali Cigunung. Sun Geyo yang susah payah menenangkan par apekerja akhirnya tak dapat membendung kegelisahan dan rasa takut para pekerjanya. Rasa ingin tahu mereka kian menjadi setelah ada salah seorang anak muda yang membocorkan kejadian di istana. Tanpa dapat dicegah, desas-desus akan adanya perang tanding membuat para pekerja bergegas menuju tempat sumber teluh bersarang.

Sun Geyo yang penasaran akhirnya mendapat kejelasan perihal raja dan pertolongan yang ditunggu-tunggu dari Negeri Sagara.

“Kemana mereke pergi?” tanya Sun Geyo pada pesiar kabar.

“Sudah pasti menuju sarang teluh Ki Ulu-ulu,” jawab pesiar kabar sambil segera menyusul para pekerja yang telah berduyun-duyun menuju ke hulu di mana Ci Hirup berada.

“Aku harus ke sana,” batin ulu-ulu tersebut. Kabar Gusti Hening dan Gajah yang hendak menuntaskan tukang teluh telah menyihirnya. Ia dengan kesadaran penuh meninggalkan pekerjaan membuat lewi. Segera ia menaiki kuda dan langsung menyerbu tanpa sedikitpun berniat menoleh ke belakang.

Hampir semua penduduk Gehol yang sanggup berjalan kaki atau menunggang kuda menuju ke Ci Hirup. Menyaksikan kemusnahan tukang teluh yang telah menyengsarakan mereka tentu saja akan menyenangkan. Bukankah mereka juga sudah berniat demikian dari dulu. Hanya saja, semua terhalang oleh tiadanya nyali dalam dada.
***
Ratu Balakasura tertawa dengan girang mengetahui hampir semua rakyat Gehol dan pemimpinnya menuju ke rumahnya. Itu berarti, ia akan dengan senang hati membantai mereka yang melawan dan menjadikan budak bagi siapa saja yang menyerah. Dalam segejap saja, ia sudah berada di lapangan luas yang sekaligus menjadi halaman rumahnya. Dengan congkak, ia berdiri dengan tongkat pusaka di tangan.

“Aku akan bermandi darah wahai para dewa. Darah kaum bodoh yang menyerahkan nyawa mereka ke kediamanku ini,” teriaknya lantang yang segera ditingkahi suara guruh bikinannya.

Dari kejauhan dua titik hitam denga cepat kian membesar menuju tempat ia berdiri. Ya, dua petinggi Kerajaan Gehol dan Negara Sagara sedang berpacu untuk memusnahkan Ratu Balakasura. Tidak lama kemudian, keduanya kini telah berhenti dengan jarak pandang yang cukup, tepat di depan Ratu Balakasura.
“Kami akan memusnahkan dirimu wahai tukang teluh,” ujar Gajah lantang.

“Wahai Balakasura, kerajaan tidak bermusuhan denganmu. Tidak juga rakyat kami mengganggumu, kenapa tindakanmu sampai sejauh ini?” tanya Gusti Hening dengan segenap ketenangan yang ia miliki.

“Hahahahahaha, aku tidak butuh alas an untuk melakukan apa yang aku suka. Dan Kau orang gagah, aku tidak akan membunuhmu jika kau mau jadi budakku,” ujar Balakasura menjawab pertanyaan Gusti Hening sembari menunjuk Gajah.

Demi mendengar hal tersebut, Gajah tentu berang bukan kepalang. Hampir saja ia langsung menyerbu nenek tua dengan kemampuan sihir segudang tersebut. Namun niatnya dengan sekuat tenaga diurungkan demi mendapat isyarat sabar dari Gusti Hening.

Saat Gusti Hening, Gajah Putra Sunda dan Ratu Balakasura sedang beradu pendapat dari arah Gehol muncul ratusan anak manusia. Ada yang berjalan kaki, naik kuda, dan bahkan naik kereta angkutan hasil bumi. Tak lupa juga para prajurit Gehol dating beserta kelengkapan senjata mereka. Demi mendapat kabar bahwa raja mereka berangkat hendak menumpas musuh, dengan segera segenap pasukan mengikuti perjalanan sang raja.

(bersambung)

Kerajaan Gehol Bulpusan VIII



“Lepaskan aku Kakang Gajah, aku tetap setia kepada Gehol,” teriak Suyud Ana yang telah diikat oleh Gajah. “Aku mengaku bersalah dan bersumpah tak akan mengkhianati negaraku lagi,” tambahnya memelas.

Gajah tetap melajukan kuda Ki Patih yang dirampas bersama pemiliknya tanpa memedulikan ocehan tawanannya. Ia yang telah berhasil memukul mundur para begal dan dua pengawal Patih Suyud Ana kini akan membawa patih yang berniat curang tersebut untuk diadili.

Namun sepertinya niat tersebut harus ia tunda. Cuaca aneh yang menyelimuti Gehol membuatnya resah bukan kepalang. Bau kejahatan dan teluh seolah menyebar melalui udara. Teror yang membuat bulu kuduk berdiri tak urung membuat Pantun ekstrawaspada.

“Ilmu apa yang dipakai Ratu Balakasura?” batin Gajah sembari mempercepat langkah kudanga menuju istana.

Sementara itu, kaum muda yang menamakan diri Gehol Manunggal merasakan keresahan yang tak terkira. Jiwa-jiwa muda yang sedang menuju kematangan tersebut entah kenapa begitu mudah terpancing emosi. Kekacauan negeri dan cuaca yang membuat perasaan takut berkembang menjadi kegelisahan dan amarah. 

“Kembalikan ketenangan kami,” demikian pekik mereka setelah berkumpul di depan istana.

Entah siapa yang memulai dan menyuruh, kaum muda tersebut seolah tersengat tawon amarah. Mereka bergerombol menuju istana demi menyuarakan dan melampiaskan amarah. Kepastian yang mereka nanti pascapembangunan lewi dimulai kini menguap seiring kacaunya cuaca. Ketakutan menihilkan sabar dan semangat ikut membangun.

“Kalian harus tenang, salurkanlah amarah kalian jadi lewi,” demikian teriak Gusti Hening kepada kerumunan.
“Sampai kapan Gusti? Sampai kapan?” teriak kerumunan berbarengan disambut petir dan guruh yang memekakkan telinga.

“Minggir-minggir! Minggir kalian semua jika tak ingin terinjak kudaku!” sebuah suara datang diiringi derap kuda yang melaju bak panah.

Kerumunan para muda Gehol menyibak memberikan jalan. Gusti Hening yang semula waspada melihat penunggang kuda menerobos kerumunan kemudian tersenyum dengan gembira. Namun, melihat patihnya diikat demikian rupa tak urung sikap heran sekaligus waspadanya kembali memuncak.

“Kakang Gajah?” sapa Gusti Hening dengan gembira. “Kenapa Suyud Ana kau ikat?” tanyanya menyambung sapaannya.

“Masalah Ki Patih akan kuceritakan singkat saja Gusti. Ia bersekongkol dengan begal kawasan Babakan untuk merebut kekuasaanmu. Harapan dia adalah, kau, aku, dan Balakasura lampus dalam pertempuran. Dia dengan tenang akan menduduki dampar istana ini Gusti,” ujar Gajah menjelaskan.

“Benarkah demikian Suyud Ana?” tanya Gusti Hening dengan keheranan memuncak.

“Tentu saja itu bohong Gusti,” teriak Suyud Ana memelas.

“Gusti Hening, kita kesampingkan dulu masalah pengkhianatan Ki Patih ini. Ada teluh yang harus kita bereskan segera. Jika tidak, teluh jahat ini akan merasuki semua warga Gehol. Lihat kerumunan kaum muda tersebut. Aku menduga, sihir ini bertujuan membuat goro-goro di negeri ini.” ujar Gajah.

Sementara Gajah dan Gusti Hening berdiskusi, kaum muda yang berkerumun memenuhi benak mereka dengan sejuta pertanyaan. Mereka heran kenapa Patih Suyud diikat oleh orang yang dicari kerajaan untuk membantu mengatasi masalah. Tak urung, bisik-bisik adanya maker berkeliaran dalam benak mereka.

“Telah terjadi makar!” ujar seseorang di sudut kerumunan.

“Siapa yang makar, itulah yang susah diketahui,” timpal yang lain.

“Pantas saja cuaca kali ini begitu menyebalkan,” teriak yang lain.

“Jangan-jangan ini ulah perempuan sihir yang meracuni akal salah satu petinggi kerajaan,” sambut lainnya.

Keadaan menjadi kian riuh dengan sahut-menyahut pertanyaan. Setiap tanya dilontarkan, namun hanya perkiraan yang hadir ke permukaan. Tentu saja adu pendapat membuat suasana kian panas. Awalnya hanya terjadi perang kata. Namun segera berubah menjadi adu cela. Kian panas karena masing-masing bertahan dengan pendapatnya. Setiap pendapat dan orang didukung teman terdekat. Jika dibiarkan, kerumunan itu bisa saja berubah jadi ajang tawuran.

(bersambung)

Kerajaan Gehol Bulpusan VII



Awan gelap memayungi langit Gehol. Sudah beberapa hari kejadian ini tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Hujan yang diharapkan turun ternyata tak juga menyambangi bumi. Namun demikian, awan hitam ini terus bergulung dan kian gelap. Terkadang petir ikut juga memeriahkan keadaan yang mencekam tersebut.

“Tak pernah ada yang seperti ini sebelumnya. Langit tak pernah seaneh ini, setidaknya selama aku berkuasa,” batin Gusti Hening.

Ia kembali menatap gumpalan awan hitam yang menyerupai lingkaran mahabesar di langit Gehol. Lingkaran yang berbentuk piringan raksasa tersebut menyisakan lubang di tengahnya. Ketebalan awan gelap tersebut entah setebal apa yang jelas bahkan sinar mentari sejak pagi seolah tak berkutik. 

Jadikan Bumiayu Ibukota Kabupaten Brebes



Kaligua
Setelah isu pemekaran kehabisan bahan bakar, maka pemerataan pembangunan Kabupaten Brebes terutama di bagian selatan yang masih terbelakang kini seolah menemui jalan buntu. Pemekaran yang diharapkan jalan pintas membangun daerah tersebut kini mangkrak karena berbagai kendala.

Kendala-kendala tersebut muncul seiring kian sulitnya mewujudkan kabupaten baru. Mulai dari penolakan dari petinggi pemerintahan seperti Gubernur Jateng, kekompakan yang mulai hilang dari para pengusung hingga kemampuan membiayai pemekaran oleh pemkab. Di tengah kebuntuan ide pemekaran yang tak berujung, mari kita ajukan saja Bumiayu menjadi ibukota Brebes yang baru.

Kerajaan Gehol Bulpusan VI



Bale Temonan di Kerajaan Gehol bergetar oleh sorak-sorai kemenangan. Meski belum ada sesuatu yang sesungguhnya dimenangkan, namun kegembiraan tetap tak bisa dihentikan. Semua mata berkaca-kaca terharu campur bahagia. Kesulitan mereka saat ini mengenai kekeringan sawah akibat penguasaan air oleh tukang teluh akan sedikit terobati.

“Jadi, sudah diputuskan kalau kita akan membuat waluran dan membuat lewi. Hal ini sudah sesuai dengan yang dijelaskan oleh ulu-ulu kita Sun Geyo.” Demikian Gusti Hening bertitah disambut sorak sorai para peserta temonan.

“Setuju,” ujar para tamu Temonan yang bisa diikuti siapa saja tanpa memandang kasta dan jabatan tersebut.
“Aku perintahkan kepada para ahli bangunan dan ahli kayu untuk membuat lewi. Selanjutnya sambungkan bambu-bambu yang telah dibelak dan dipapas bukunya dan biarkan ia mengisi semua waluran yang ada di sawah dengan air.” titah Gusti Hening kemudian.

Kerajaan Gehol Bulpusan V



Sudah berhari-hari Gajah Putra Sunda tidak tenang. Jika ia tertidur, bayangan awan gelap memayungi negeri asalnya selalu menghantui. Saat siang hari, perasaan berat tertekan memenuhi jiwanya. Semedi dan olahrasa sudah dia lakukan untuk menetralisir perasaan gelap dalam jiwanya tersebut. Namun semuanya bergeming tidak mau hilang. 

“Saya mohon pamit Gusti Sagara,” akhirnya Gajah Putra Sunda menghadap rajanya. “Sudah beberapa waktu ini hamba sulit memejamkan mata. Bayangan buruk sepertinya akan terjadi di Kerajaan Gehol Paduka,” lanjutnya kemudian.

“Bayangan apa gerangan sampai-sampai Dinda Gajah begitu khawatir?” tanya Prabu Sagara, penguasa kerajaan Sagara.

Pilwakot Bekasi: Golput Berjaya, Petahana Kembali Berkuasa

 Pepen Kembali Menang


Sekitar pukul 10.00 WIB saya dan Dentha anak saya, pergi menuju TPS 14 di desa Jaticempaka, Pondok Gede, Bekasi. Hanya ada petugas KPPS yang duduk sesuai kursi yang ada. Mereka dengan tenang dan santai, termasuk para saksi, duduk di kursi masing-masing.

Saya hanya menghabiskan waktu tidak lebih dari lima menit. Tak ada antrian pemilih, ketika saya daftar, saya langsung dipanggil untuk menunaikan hak saya. TPS 15 yang hanya berjarak 10 meter dari tempat saya mencoblis, juga mengalami hal yang sama. Sepi pengunjung dan jauh dari antusiasme warga Kota Bekasi untuk meilih pelayan mereka.

Kerajaan Gehol Bulpusan IV



Kita tinggalkan sejenak Kerajaan Gehol yang akan bergejolak riuh menerima ide Sun Geyo keesokan harinya. Mari kita ikuti utusan Gusti Hening, Ki Patih Suyud Ana, menuju Negeri Sagara di barat laut sana.

Untuk menuju negeri yang gemah ripah loh jinawi tersebut bukan hal yang mudah bagi siapapun. Diperlukan perjalanan dengan kuda selama berhari-hari. Bahkan, sesekali harus rela berjalan kaki karena beratnya medan.

Negeri Sagara sendiri adalah negeri besar yang terletak jauh di atas puncak sebuah gunung yang terkenal sangat angker. Gunung tersebut menjulang mengangkangi daerah sekitar dengan keangkeran yang nyata. Kabut senantiasa selalu menggantung di puncak gunung. Hal ini membuat aura mistis kian terasa sebab ketinggian gunung yang tidak mudah diprediksi. Melihat puncak Sagara sama saja mengharapkan melihat pelangi saat hujan badai. 

Kreatif dan Imajinatif dengan Milkuat

Memainkan Botol
Sebagai orang tua, menyaksikan anaknya tumbuh sehat adalah kebahagiaan luar biasa. Melihat ia berkembang dengan kecerdasan yang tak terduga adalah anugerah. Masalahnya adalah, sejauh mana kita mampu menjembatani hadirnya kesehatan dan kecerdasan melalui tangan kita?

Melihat lalu-lintas makanan yang disajikan oleh para pedagang, kengerianlah yang ada. Kecurangan yang mengiringi mereka dalam menjajakan makanannya selalu membuat cemas. Saya pribadi, berusaha sedapat mungkin menjauhkan anak kami dari makanan yang sekejap mata saja sudah terlihat bahan-bahan tak sehat yang menyusunnya.

Kerajaan Gehol Bulpusan III



Pening dan tak bisa tidur menggelayuti jiwa dan raga Sun Geyo. Kemolekan tubuh Sundarsi yang beru beberapa pecan menjadi istrinya tak mampu menurunkan derajat galau dalam otaknya. Semua tentang air dan kekacauan yang dibuat Ratu Balakasura masih menjadi teman pikirannya selama ini. Sudah bermacam cara ia tuangkan, namun tak satupun nyata mampu mengatasi masalah kekurangan air yang dihadapi warga Gehol.

“Entah apa yang harus dibuat dengan air di Gehol. Semua air Ci Hirup sudah dikuasai perempuan sakti nan galak. Sumurpun sudah ada, tapi tetap saja sawah dan lading tak mampu terairi,” batinnya.

Kerajaan Gehol Bulpusan II

Hening menyelimuti Kerajaan Gehol seeharian itu. Pasca Sun Geyo menceritakan apa yang ia dapatkan dari Ratu Balakasura, kerajaan ditimpa kemuraman yang akut. Kemuraman kian bertambah setelah para pemuda yang menamakan diri mereka Gehol Manunggal melakukan  pepe alias berunjuk rasa di halaman keraton.

"Kami ingin air, sawah kami butuh air!" demikian teriak mereka dengan sangat kompaknya.

Suara mereka yang nyaring dan keluar dari pemuda-pemuda berusia belasan membuat kerajaan seolah disambar palu gada. Sebab, sebelumnya jangankan anak-anak bau kencur, para tetua kampung pun enggan menyuarakan sesuatu atas nama kedamaian. Kini, kerajaan seolah tak punya daya meredam suara kaum muda.

Kerajaan Gehol Bulpusan

Angin mengalir tersendat di siang nan panas di kaki Gunung Geulis. Jika bukan karena tugas negara, mungkin Sun Geyo lebih memilih kelonan dengan Sundarsi yang baru dinikahinya seminggu lalu.

Tapi disinilah sekarang Sun Geyo berada. Di kaki gunung yang konon di tempati oleh Maha Ratu dari kerajaan lelembut, Putri Sun Geulis. Nama gunung tersebut diambil dari nama sang ratu tentu saja.

Sun Geyo terus menelusuri jalan setapak di samping kali ke arah barat. Di sana ada sebuah mata air yang jadi tempat masyarakat Gehol sejak dulu menggantungkan hidup dan penghidupan. Di masa kemarau nan panas seperti saat ini, Ci Hirup, begitu nama tempat tersebut dinamai, sangat dibutuhkan. Dan tugas Sun Geyo adalah memastikan aliran airnya tetap membasuh kerongkongan seluruh penduduk. Tanpa kecuali.

Merinding Bulpusan

"Lihat saja sekelilingmu, jika tak merasakan rindingannya, sejatinya kau mati," ujar Ngeyo.

"Jika kita dalam pelukan kematian, maka betapa berwarna kematian yang menyelimuti kita," sahut Jabang.

Ngeyo dan Jabang kini kian larut dalam lamunan masing-masing. Dua sejoli yang jomblo akut ini seakan ogah berpindah dari dunia lamunan masing-masing. Lamunan kaum yang terkena sengsara tiada batas.

Ngeyo membayangkan dunia ideal ala Mario Teguh dan Ustadz Mansyur. Indah, damai, dan tentu saja ia tak lagi menjomblo. Sejauh mata memandang, gadis pujaannya selalu ada di sisi ia. Sejauh apapun melangkah, sang gadis rela dan setia mendampingi. Sebuah impian yang wajib dimiliki kaum jomblo.

Brebes Pindah Ibukota, Mungkinkah?

Pemekaran Brebes untuk kemudian membentuk Kabupaten Bumiayu terbukti masih di angan-angan. Banyak rintangan yang mendera terutama dari sisi administrasi dan perundang-undangan. Pembentukan Kabupaten Bumiayu demi menyejahterakan kian sulit setelah elit pemrakarsa pemekaran sulit keluar duit. Padahal, duit adalah salah satu amunisi pemekaran bisa dipercepat.

Tak urung, Bibit Waluyo yang juga Gubernur Jawa Tengah sedikit berang dengan adanya gema pemekaran. Beredar kabar sang gubernur tak setuju karena para penabuh gendang pemekaran diketahui hanya mengejar distribusi kuasa. Dalam pandangan sang gubernur, pemekaran tidak lantas jadi solusi jitu terangkatnya daerah tersebut dari keterpurukan.

Bagaimana Kita Mendukung KPK?




Talkshow Blogger di KPK (http://teguh-23.blogspot.com)
Menghadiri Temu Blogger Antikorupsi, 7 Desember 2012, member sedikit gambaran bagaimana kita sebagai warga biasa mmelakukan peran “kecil” menghalau korupsi. Sebagai warga biasa yang kebetulan memiliki jiwa kebersamaan dalam melawan korupsi peran kita sebenarnya patut diperhitungkan.

Kita yang selama ini antikorupsi meski diam-diam bisa jadi melakukannya dalam bentuk berbeda dari para penyelenggara negeri memiliki modal yang bagus dan kuat guna terus mengumandangkan “Katakan tidak pada korupsi” tanpa takut menjadi seperti mereka yang beriklan tagline tersebut.

Produk Gehol: “Korang” yang Mulai Hilang

Korang Made In Darji

Datanglah ke Gehol, semua sudah ada di sana. Para leluhur  telah dengan cerdas nan aplikatif menyediakan sekaligus menciptakan segala kebutuhan. Salah satu produk eksotik nan tepat guna tersebut adalah korang. 

Korang adalah tempat para penjala ikan menaruh hasil jalanya. Ia tergantung dengan manis di pinggang para penjala. Jika banyak para selebritis yang mencirikan diri dengan tas pinggang seperti Ariel NOAh dianggap keren. Percayalah, para penjala ikan dan petani Gehol sudah memelopori mencantelkan aksesori manis di pinggang mereka. Korang salah satunya.

Kabupaten Bumiayu, Layu Sebelum Berkembang?

Statistik APBD Brebes (BPS Brebes)
Ada sebuah euphoria yang absurb di Kabupaten Brebes pascapemilukada bupati. Kekalahan Agung yang notabene diusung hampir semua kecamatan di wilayah selatan berbuntuk panjang. Seolah slogannya berganti menjadi, pemekaran harga mati!

Sejatinya pemekaran Brebes yang diidamkan oleh wilayah selatan selam empat dekade lebih bukan tanpa alasan. Sayangnya alasan yang dikemukakan lebih karena sakit hati akibat minimnya perhatian Brebes pada enam kecamatan di selatan. Hal ini diperparah dengan janji-janji muluk dua kandidat yang bertarung jadi bupati tentang pelaksanaan pemekaran.

Siapa Peduli Statistik Gehol?



Diantara berbagai bentuk kebohongan, statistik dipandang sebagai kebohongan yang paling canggih. Ia menyajikan data dengan terstruktur, logis dan meyakinkan. Namun, sejatinya kelemahan statistik tersaji dengan amat nyata. Hanya saja terkesan kabur seiring mengaburnya hasrat menyesuaikan data dan fakta.

Keengganan meneliti data inilah biang kerok dari tetap anggunnya keadaan dalam hayalan angka ala statistik.  Keengganan ini kian besar begitu metodologi yang digunakan sebagai dasar pembentukan angka tidak dikuasai. Data-data yang ada seolah-olah hadir dengan teknik sulap, meski sang pengepul data sebenarnya telah dengan susah payah menjelaskan darimana angka tersebut dijaring.