Kerajaan Gehol Bulpusan VIII

4:33:00 PM Gehol Gaul 0 Comments



“Lepaskan aku Kakang Gajah, aku tetap setia kepada Gehol,” teriak Suyud Ana yang telah diikat oleh Gajah. “Aku mengaku bersalah dan bersumpah tak akan mengkhianati negaraku lagi,” tambahnya memelas.

Gajah tetap melajukan kuda Ki Patih yang dirampas bersama pemiliknya tanpa memedulikan ocehan tawanannya. Ia yang telah berhasil memukul mundur para begal dan dua pengawal Patih Suyud Ana kini akan membawa patih yang berniat curang tersebut untuk diadili.

Namun sepertinya niat tersebut harus ia tunda. Cuaca aneh yang menyelimuti Gehol membuatnya resah bukan kepalang. Bau kejahatan dan teluh seolah menyebar melalui udara. Teror yang membuat bulu kuduk berdiri tak urung membuat Pantun ekstrawaspada.

“Ilmu apa yang dipakai Ratu Balakasura?” batin Gajah sembari mempercepat langkah kudanga menuju istana.

Sementara itu, kaum muda yang menamakan diri Gehol Manunggal merasakan keresahan yang tak terkira. Jiwa-jiwa muda yang sedang menuju kematangan tersebut entah kenapa begitu mudah terpancing emosi. Kekacauan negeri dan cuaca yang membuat perasaan takut berkembang menjadi kegelisahan dan amarah. 

“Kembalikan ketenangan kami,” demikian pekik mereka setelah berkumpul di depan istana.

Entah siapa yang memulai dan menyuruh, kaum muda tersebut seolah tersengat tawon amarah. Mereka bergerombol menuju istana demi menyuarakan dan melampiaskan amarah. Kepastian yang mereka nanti pascapembangunan lewi dimulai kini menguap seiring kacaunya cuaca. Ketakutan menihilkan sabar dan semangat ikut membangun.

“Kalian harus tenang, salurkanlah amarah kalian jadi lewi,” demikian teriak Gusti Hening kepada kerumunan.
“Sampai kapan Gusti? Sampai kapan?” teriak kerumunan berbarengan disambut petir dan guruh yang memekakkan telinga.

“Minggir-minggir! Minggir kalian semua jika tak ingin terinjak kudaku!” sebuah suara datang diiringi derap kuda yang melaju bak panah.

Kerumunan para muda Gehol menyibak memberikan jalan. Gusti Hening yang semula waspada melihat penunggang kuda menerobos kerumunan kemudian tersenyum dengan gembira. Namun, melihat patihnya diikat demikian rupa tak urung sikap heran sekaligus waspadanya kembali memuncak.

“Kakang Gajah?” sapa Gusti Hening dengan gembira. “Kenapa Suyud Ana kau ikat?” tanyanya menyambung sapaannya.

“Masalah Ki Patih akan kuceritakan singkat saja Gusti. Ia bersekongkol dengan begal kawasan Babakan untuk merebut kekuasaanmu. Harapan dia adalah, kau, aku, dan Balakasura lampus dalam pertempuran. Dia dengan tenang akan menduduki dampar istana ini Gusti,” ujar Gajah menjelaskan.

“Benarkah demikian Suyud Ana?” tanya Gusti Hening dengan keheranan memuncak.

“Tentu saja itu bohong Gusti,” teriak Suyud Ana memelas.

“Gusti Hening, kita kesampingkan dulu masalah pengkhianatan Ki Patih ini. Ada teluh yang harus kita bereskan segera. Jika tidak, teluh jahat ini akan merasuki semua warga Gehol. Lihat kerumunan kaum muda tersebut. Aku menduga, sihir ini bertujuan membuat goro-goro di negeri ini.” ujar Gajah.

Sementara Gajah dan Gusti Hening berdiskusi, kaum muda yang berkerumun memenuhi benak mereka dengan sejuta pertanyaan. Mereka heran kenapa Patih Suyud diikat oleh orang yang dicari kerajaan untuk membantu mengatasi masalah. Tak urung, bisik-bisik adanya maker berkeliaran dalam benak mereka.

“Telah terjadi makar!” ujar seseorang di sudut kerumunan.

“Siapa yang makar, itulah yang susah diketahui,” timpal yang lain.

“Pantas saja cuaca kali ini begitu menyebalkan,” teriak yang lain.

“Jangan-jangan ini ulah perempuan sihir yang meracuni akal salah satu petinggi kerajaan,” sambut lainnya.

Keadaan menjadi kian riuh dengan sahut-menyahut pertanyaan. Setiap tanya dilontarkan, namun hanya perkiraan yang hadir ke permukaan. Tentu saja adu pendapat membuat suasana kian panas. Awalnya hanya terjadi perang kata. Namun segera berubah menjadi adu cela. Kian panas karena masing-masing bertahan dengan pendapatnya. Setiap pendapat dan orang didukung teman terdekat. Jika dibiarkan, kerumunan itu bisa saja berubah jadi ajang tawuran.

(bersambung)

0 comments: