Kerajaan Gehol Bulpusan VII

3:30:00 PM Gehol Gaul 0 Comments



Awan gelap memayungi langit Gehol. Sudah beberapa hari kejadian ini tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Hujan yang diharapkan turun ternyata tak juga menyambangi bumi. Namun demikian, awan hitam ini terus bergulung dan kian gelap. Terkadang petir ikut juga memeriahkan keadaan yang mencekam tersebut.

“Tak pernah ada yang seperti ini sebelumnya. Langit tak pernah seaneh ini, setidaknya selama aku berkuasa,” batin Gusti Hening.

Ia kembali menatap gumpalan awan hitam yang menyerupai lingkaran mahabesar di langit Gehol. Lingkaran yang berbentuk piringan raksasa tersebut menyisakan lubang di tengahnya. Ketebalan awan gelap tersebut entah setebal apa yang jelas bahkan sinar mentari sejak pagi seolah tak berkutik. 


“Sepertinya hari ini akan malam selalu Kanda,” ujar Permaisuri Camperenik.

“Betul istriku. Baru kali ini aku menyaksikan perilaku nan aneh dari alam. Baru kali ini,” ujar Gusti Hening menegaskan kalimatnya dalam nada kekhawatiran yang dalam.

Keangkeran suasana yang disajikan alam membuat kedua penguasa Gehol terantuk dalam diam. Pikiran mereka berkecamuk dengan aneka kekhawatiran menyelimuti. Melihat pusaran awan hitam yang menaungi kawasan mereka, pasti akan membuat suasana hati siapapun yang melihatnya akan terjerembab dalam kemurungan.

“Mungkinkah kiamat akan tiba,” batin Permaisuri Camperenik.

Pikiran liarnya kembali menerawang pada dongeng-dongeng tentang kiamat yang disenandungkan pengasuhnya menjelang ia terlena. Awan disertai hujan yang bergulung-gulung, petir menyambar, berujung banjir bandang yang menyapu semua yang ada. Keringat dingin perlahan mengembang didahinya. Tanpa sadar, permaisuri yang cantik ini kemudian beringsut mendekatkan diri pada suaminya. Demi mendapatkan kenyamanan.

Jauh dari sana, Ratu Balakasura sedang hikmad dalam memanjatkan doa-doa hitam nan gelap di depan pendupaannya. Semua perlengkapannya sebagai seorang tukang teluh telah ia susun sedemikian lengkap sehingga doanya kian mudah diijabah para dewa. Doanya hanya satu, membatalkan pembangunan lewi oleh rakyat Gehol.

“Byur gedebyar gedebyur niat ingsun hidengkeun langit, rubuhkeun pagawean,” rapalnya berulang kali.

Asap pendupaan tak henti-henti mengepul dari pendupaan. Tak henti pula nenek dengan segudang kesaktian ini melemparkan kemenyan dalam pendupaan. Ruangan yang angker tersebut terasa kian gelap dan menakutkan. 

Ritual memberikan bencana kepada kerajaan masih terus ia lakukan. Selain ia ingin menghadirkan cuaca dan suasana yang menakutkan, ia menghendaki agar warga Gehol benar-benar tidak bisa membangun lewi di kali Cigunung. Baginya yang terpenting adalah menggagalkan upaya warga Gehol yang menentangnya.

Sementara itu, warga yang sedang mengerjakan pembuatan lewi tetap semangat dengan pekerjaan mereka. Meski sesekali mereka berbisik mengenai keadaan langit, namun tangan dan kaki mereka tetap teguh bekerja.

“Jangan pedulikan langit atau apapun yang menakutkan kalian,” teriak Sun Geyo.

“Ingat, kehidupan kita dan keluarga lebih penting daripada sihir yang ditunjukkan oleh Ratu Balakasura,” teriaknya lebih lantang dari bunyi petir.

Mendengar kata-kata Sun  Geyo, masyarakat yang sedang bekerja kian giat. Mereka bekerja seolah hari itu adalah hari terakhir lewi akan bisa menngairi sawah mereka. Benak mereka membenarkan dengan membabi-buta kata-kata yang terlontar dari Sun Geyo.

“Apa yang menakutkan kalian sekarang? Bukankah kelaparan di depan mata akan lebih menakutkan daripada kematian yang segera tiba. Lagi pula kematian bukan ditangan nenek-nenek berhati jahat. Kematian hanya milik para dewa wahai rakyat Gehol,” Sun Geyo berteriak dengan semangat bercampur amarah.

Ya kini, amarahnya ia salurkan untuk membakar semangat mereka yang sedang menggali dan membendung aliran air Cigunung yang kini sudah makin banyak berkumpul di lubang yang mereka buat. 

(bersambung)

0 comments: