Belulang di Mungkal Tumpang (3)

3:45:00 PM Unknown 0 Comments

Sarju dan Jatianom sama-sama tertarik dengan dongeng-dongeng lama. Mereka yakin bahwa dongeng yang diceritakan leluhur mereka memiliki akurasi kebenaran yang mengagumkan.

“Di masa lalu, ketika semua bangsa masih suka kedamaian, bangsamu, bangsaku, dan bangsa-bangsa yang kini dianggap cuma mitos bersatu dan saling membantu,” ujar Sarju.

“Sayang, semua hilang hanya karena berebut batu.” Sarju meneruskan ceritanya.

“Serakah. Entah bangsa mana yang serakah,” ujar Jatianom.

“Sulit mengetahui siapa yang memulai kawan. Cerita ini sudah begitu lama. Mungkin lebih lama daripada hutan-hutan yang ada di sini. Bahkan Tumaregol yang kalian keramatkan,” tegas Sarju.

“Kisah yang kita selalu kita perbincangkan tak ada yang memercayainya. Sama seperti bangsamu yang sebagian banyak tidak memercayai keberadaan kami. Kaum Margol, bagi kalian hanyalah memedi yang pantas diucapkan demi menakuti anak-anak. Hutan kami kalian sebut angker agar keingintahuan anak-anak terpenjara oleh ketakutan. Semua menyangkut kami dibuat seram oleh bangsa kalian. Mungkin olehmu juga, sebelum kita bertemu dan jadi sahabat seperti sekarang,” Sarju bercerita sambil menerawang.

“Jujur, aku hingga detik ini dulit percaya bahwa aku bisa bertemu dan berbincang dengan bangsamu Sarju. Bagi kami kaum manusia, bangsamu adalah jin marakayangan. Legenda tentang kalian selalu menyeramkan. Berisi tentang permusuhan dan pembantaian terhadap kami. Setiap mendengar penghuni Tumaregol, kami manusia seakan dihadapkan dengan kekejian. Menakutkan.” Terang Jatianom.

“Begitu juga dengan bangsa kalian di mata kami,” Sarju membalas dengan singkat.

“Sebuah batu. Aneh sekali bukan? Sebuah batu bisa mengubah peradaban dan pandangan makhluk yang dulu hidup berdampingan menjadi saling memusuhi dan menyimpan dendam,” ujar Sarju heran.

“Jangan salah Sarju, kadang sudut pandang kita terlalu sederhana. Lagipula, siapa yang tahu dengan pasti batu seperti apa yang diperebutkan. Kita hanya tahu sekelumit. Kau tahu, di bangsa kami ada sebuah perkumpulan yang menamakan diri Swargalega. Kabarnya mereka mengkhususkan diri mempelajari teks-teks kuno. Aku sendiri sangat ingin mempelajari kisah-kisah kuno dari sumber yang bisa dipercaya, bukan sekedar cerita pelepas kantuk semata.” Jatianom berbinar saat membicarakan tentang teks-teks kuno.

“Kau dan aku memiliki keinginan yang sama Jati,” kata Sarju tak kalah antusias.

Keduanya lalu berpandangan dan saling tersenyum.

“Menyusup ke Swargalega!” teriak mereka hamper berbarengan. 

Mereka kemudian tertawa-tawa seolah menemukan keberhasilan yang gemilang. Tentu saja Langlayangan Sarju mengeluarkan suara kaget sekaligus khawatir. Tunggangan Sarju yang terkenal memiliki naluri linuwih ini menguik lemah untuk mengingatkan juragannya. Akhirnya, Sarju dan Jatianom berhenti tertawa. Mereka sadar bahwa tawa mereka yang berlainan bunyi bisa memancing bangsa manusia seperti jatianom untuk terbangun.

(bersambung)

0 comments: