Pendidikan: Dulu dan Kini


Ilustrasi Pendidikan
Kabar menggebirakan datang dari keponakanku yang naik ke kelas 4. Dia juara satu di kelasnya. Sebuah prestasi yang ia raih setelah diiming-imingi berbagai macam hadiah dari orang tuanya. Kesimpulannya, semua bisa digapai asal ada harga yang dibayar.

Tentu keadaan di atas jauh berbeda pada jamanku apalagi jaman buyutku. Jamanku, juara kelas tidak pernah ada janji apapun dari orang tuaku, karena memang tak mampu. Hanya ada hadian pensil dan buku tulis tiga biji. Semua hadiah diserahkan saat upacara penutupan catur wulan. Kesimpulannya, juara karena yang lain malas belajar, atau terlalu sibuk bekerja karena mereka punya sawah atau kebun sementara aku tidak.

Tabu di Petahunan


Ilustrasi
Bendung Petahunan kembali memakan korban. Kali ini, gadis yang masih belia dipaksa takdir menyerahkan nyawanya kepada kejamnya air. Sebuah kesia-siaan yang berpangkal pada tabu di bendungan yang berair tenang tersebut. Tabu tersebut adalah, ego!

Mungkin terdengar kejam ketika sedikit menyalahkan korban yang telah meninggal. Namun berulangnya kejadian ini adalah karena minimnya kehati-hatian sekaligus pengetahuan medan dari para korban. Penulis sendiri pernah menyaksikan teman sekolah yang tenggelam, bahkan di depan mata kepala sendiri. Dua orang perempuan dan kebetulan penulis yang terdekat dengan mereka dan yang menariknya hingga ke pinggir. Alhamdulillah mereka selamat, meski mengalami trauma hebat.

Semoga Tak Ada "Samsul" di Brebes!

Samsul Penjual Cilok di Kaki G. Slamet (http://inspirasiperjuanganmu.blogspot.com)

Potret kesejahterahan Indonesia kini masih jauh dari kemerdekaan untuk hidup sejahtera. Samsul bocah 10 tahun yang tinggal di Kaki Gunung Slamet tepatnya Desa Bumijawa Kabupaten Tegal yang kini bekerja sebagai penjual bakso “Cilok”. Samsul adalah sulung dari 4 bersaudara yang duduk dikelas 4 SD. Zindan adik kandung dari Samsul yang duduk di kelas 1. Keduanya sangat piawai mempersiapkan dagangan ciloknya. Setiap pulang dari sekolah Samsul dan zindan mulai menjajakan jualannya. Samsul tidak merasa malu saat berjualan, bahkan ia merasa senang bisa membantu kedua orangtuanya. Samsul sangat senang jika zindan membantu berjualan bersamanya. Prihatin dengan kondisi orang tuanya, sepulang sekolah Samsul berjualan cilok demi mendapat sedikit rupiah.

Jika BBM Naik



Kenaikan BBM (inilah.com)
BBM memang tidak jadi dinaikkan 1 April lalu. Namun mengingat utak-0atik pasal siluman yang kini sedang diuji materi, maka kenaikan tinggal menunggu waktu saja.

Maka sesungguhnya hari kian dekat dengan waktu untuk mengantre BBM tepat sebelum pukul 00.00 tiba. Saat itu, adalah hari terakhir premium yang merupakan bahan bakar kaum miskin bisa dinikmati dengan harga Rp 4.500,00. Meski faktanya harga di pedesaan tidaklah sebesar besaran yang ditetapkan pemerintah karena buruknya system distribusi yang dimiliki pemerintah. Sejak skenario kenaikan BBM diumumkan oleh pemerintah, maka kejadian sebagaimana diuraikan di atas tentu saja sudah di depan mata.

Adegan berikutnya mudah ditebak, sekumpulan insentif langsung untuk rakyat digelontorkan bak Sinterklas. BLT yang diharapkan mampu menyelamatkan rakyat miskin yang menuju kolaps pascakenaikan BBM menjadi pilihan. Program yang mempertotonkan kemiskinan secara vulgar ini akan kembali mengharu biru di tanah Indonesia. Jangan lupakan tontonan lain dari adanya Bantuan Langsung Tunai ini, korupsi terstruktur dari tingkat RT hingga entah di mana puncaknya.

Pilkada DKI oleh Si Bodoh


Permainan lempar gelang tentu hampir semua tahu. Permainan yang doleh sebagian orang dikategorikan judi ini menuntut keahlian yang mumpuni jika tak ingin rugi. Ketepatan membidik sekaligus kesabaran mungkin merupakan kuncinya. Tentu saja, keberuntungan mutlak diperlukan.

Bayangkan saja, hadiah yang disediakan adalah jejeran botol minuman ringan tanpa penghalang, botol minuman berenergi yang di atasnya diberi potongan kayu, minuman ringan berukuran besar yang diganduli rokok, hingga ponsel. Tentu saja ponsel yang dijadikan hadiah adalah handphone dengan papan ketik qwerty yang tentu saja besar. Yang pasti, dengan diameter gelang yang hanya sedikit lebih besar dari mulut botol tentu hal yang sulit agar tidak merugi.

Dengan alat yang dibuat demikian tersebut, maka peluang paling besar hanya memperebutkan hadiah berupa botol minuam ringan seharga tiga ribu rupiah. Harga yang harus ditebus untuk dapat melemparkannya adalah seribu rupiah untuk enam gelang. Jika  akurasi lemparan, kesabaran, dan keberuntungan menyatu, bukan tidak mungkin dengan uang seribu minimal mendapatkan satu botol minuman. Namun jika ketiganya jauh dari diri Anda, maka cukuplah mendapat kesenangan sebagai gantinya. Jika bukan kejengkelan.

Berkaca dari Muamba

Stop Kekerasan di TV

Saat Fabrice Muamba kolaps di lapangan, hingga kini tak ada tayangan resmi dari penyelenggara Liga Primer Inggris. Sebuah sikap terpuji yang dilakukan demi menghormati seseorang yang berjuang dengan maut. Sesuatu yang sangat jarang dilakukan oleh pers kita.

Tengok saja beberapa kasus yang memperlihatkan kekerasan yang bahkan sampai merenggut korban jiwa namun lolos dari sensor di negeri ini. Kerusuhan di Jakarta Utara saat Satpol PP hendak menggusur Makan Mbah Priuk contohnya. Dengan massiv beberapa televisi menayangkan adegan warga sipil membantai petugas yang sudah terkapar tak berdaya. Bukan hanya gambar bergerak, bahkan fotonya bertebaran di hampir semua sampul media cetak selama beberapa hari. Sadis!


Pekerjaan Mematikan di Jakarta


Pekerjaan Berbahaya

Jakarta adalah kawah candradimuka bagi manusia Indonesia. Kesuksesan di Jakarta adalah jaminan mutu untuk melanjutkan sukses di daerah. Bahkan jikapun gagal di Jakarta, bekal pengalaman di Jakarta bisa dijadikan pijakan untuk meraih sukses di daerah. Setidaknya begitulah asumsi hampir semua orang selama ini.

Maka membludaklah Jakarta dengan segenap pekerjanya mulai dari yang dianggap professional, semipro, hingga dianggap tidak professional. Kasar, kantoran, dan entah apalagi sebutannya. Semua diklasifikasikan menurut tempat, jenis pekerjaan, besaran gaji, pakaian, jam kerja, hingga daerah asal.

Dari hiruk pikuk manusia Indonesia yang mengais rezeki di Jakarta, tidak sepenuhnya risiko yang ditanggung sebanding dengan hasil yang didapat. Namun hitung-hitungan materi tak semata mampu mendefinisikan dengan jelas pekerjaan yang dilakukan. Banyak yang harus dilihat karena tidak semua yang terlihat bisa ditarik kesimpulan yang objektif.

Yang Harus Dibela, Manusia atau Monyet?


Mereka yang Kurang Beruntung

Datanglah ke Ibu Kota Indonesia, maka telah begitu banyak monyet-monyet yang menari-nari di pinggir jalan, keluar masuk gang, hingga pelataran sekolah-sekolah. Mereka bukan monyet liat tentu saja, tapi mereka adalah monyet-monyet perkasa yang berjasa pada tuannya.

Ada yang sekedar dibekali dengan motor-motoran, topeng, kuda lumping mini, hingga ada juga yang di temani dengan hangar binger musik. Pemiliknyapun beragam, ada yang bermain solo mulai dari main musik, mecut, hingga mengajarkan trik-trik mengundang decak tawa penontonnya.  Ada juga yang orkestra dengan minimal tiga orang. Biasanya ada yang khusus menangani gendang, gambang atau saron mini, dan atraksi.

Para tukang topeng monyet yang seorang diri beroperasi biasanya berlapak di tepi jalan, terutama perempatan. Sementara itu, yang berkelompok biasa menghibur anak-anak menengah ke bawah di kompleks atau gang-gang. Keduanya sama, memeras tenaga sang kera demi rupiah.

Bawangku Sayang, Bawangku Malang


Kebun Bawang
Dua puluh tahun lalu, sepulang sekolah aku punya kegiatan rutin yang bisa dibilang menyenangkan meski melelahkan. Nyenggot! Ini adalah sistem perairan demi mengairi kebun bawang merah. Sebuah komoditi paling terhormat setelah cengkeh yang rontok dan beras yang dihormati karena wajib demi memenuhi perut.

Nyenggot terjadi karena saluran irigasi tidak mungkin secara alami mengairi kebun bawang. Hal ini karena kebun bawang berada lebih tinggi daripada saluran air. Nyenggot sendiri bisa disamakan dengan mengerek air dari sumur. Hanya saja mekanisme kerjanya mirip portal di kompleks perumahan. Portal diberi beban di ujungnya dan ujung satunya diberi tali dan timba.

Saat keadaan kosong, timba dikerek agar bisa mengambil air dari saluran irigasi. Karena diujung bambu (biasanya memakai bambu yang lebih murah dan mudah) terdapat beban yang cukup berat, maka timba yang berisi air dengan sendirinya mudah diangkat. Nyenggot sendiri hanya membutuhkan keterampilan dan kemampuan tangan. Tubuh penyenggot sendiri dibuat senyaman mungkin. Biasanya disediakan tempat duduk sederhana demi menyamankan penyenggot. Karena rajin nyenggot itulah, tubuh kurusku lumayan berotot meski terkendala dengan makanan lima sehat dan empat sempurna.

Misteri Kepala dalam Jembatan


Jembatan Cigunung
Saat negeri ini masih mengandalkan rakit untuk menyeberang sungai, maka datanglah insunyur-insinyur Barat. Para insinyur tersebut memperkenalkan pembangunan jembatan. Karena kebanyakan dari mereka adalah orang Belanda maka nama jembatan  di kampungku bernama brug. Kata ini berasal dari burg, yang di Negeri Kincir Angin sana berarti jembatan.

Lalu berlombalah seluruh negeri membangun brug, eh jembatan. Sayangnya karena minimnya pengalaman dan tenaga ahli, maka jembatan yang dibuat masih lebih sering rusak dan tak tahan lama. Maka bertanyalah warga kepada para meneer tersebut.

“Bagaimana cara yang ampuh agar kami bisa membangun jembatan yang kuat dan awet?” demikian ungkap salah satu tetua kampung yang paling disegani dan punya keberanian berbicara dengan Bangsa Bule.

“Dengan ini!” jawab salah seorang meneer yang juga insinyur tersebut sambil menempelkan jari telunjuknya tepat di jidatnya.

Asal-Usul Jetak?



Jika dirunut berdasarkan arti, maka sebuah nama sesederhana apapun seyogyanya memiliki makna. Meski ada ungkapan apalah arti sebuah nama, faktanya setiap hendak menamai seseorang, maka sederet doa dan harapan ikut disematkan.

Tak sekedar nama orang, demikian juga dengan nama sebuah tempat. Bahkan dari penamaan tersebut, bisa jadi langkah awal guna menemukan benda-benda berharga. Tentu saja dengan terlebih dahulu meminta izin yang punya tempat.

Mari tengok seberapa kaya daerah Anda dengan memerhatikan penamaan yang telah disematkan leluhur. Bukan dengan tujuan demi mendapatkan harta karun tentu saja, namun dengan mengatahui makna tempat kita berpijak setidaknya akan makin memperbesar kecintaan terhadap tempat kelahiran.

Perjalanan Akhir Sang Guru

Ilustrasi Perjalanan Hidup

Setiap anak, saat sekolah, bisa dipastikan lebih banyak menyoroti ketidaksesuaian pengajar alias guru mereka. Sedikit saja sang guru memberikan bebas, maka caci maki kadang diam-diam dialamatkan padanya. Doa-doa buruk dialamatkan demi melampiaskan kejengkelan. Namun segala kebaikan yang ditanam seolah keharusan alias tugas sang guru sehingga tak perlu dikomentari. Apalagi diikuti ucapan terima kasih.

Mungkin itu juga yang menyebabkan Guruku yang kini entah kemana tak terdeteksi keberadaannya. Dia adalah ikon akan ketegasan di sekolahku dahulu. Sebuah sekolah yang sebelum dijadikan “penjara” – dikelilingi tembok setinggi dua meter – adalah tempat yang membebaskan siswanya mereguk karunia alam saat instirahat. Di sekolahku, sebelum pagar mengelilingi, pergi ke sisi sungai sambil membawa mangkuk para penjual berisi jajanan adalah kenikmatan yang susah disetarai.

Ironi di Seberang Resto Cepat Saji


Ilustrasi (kompas.com)



Seorang bocah yang meski bernama, namun namanya takkan masuk sejarah apalagi kini ia telah meninggal. Sebuah kejadian yang telah kuprediksi sejak pertama kali melihatnya.

Ia berada disana, di pertigaan jalan tepat di garis penyeberangan, seharian - sejak pagi hingga kemudian jalanan sepi. Sang Ibu menemani sambil sesekali memberikan cairan putih dalam botol yang diperuntukkan untuk menampung air susu formula. Jikapun benar air putih itu susu, kuyakin takarannya tak sesuai dengan kebutuhan si Bocah yang sudah almarhum tersebut.

Si Bocah juga ditemani kakaknya, aku duga demikian melihat kemiripan fisik dan kelakuannya kemudian saat Sang Ibu tak ku lihat lagi. Pergi entah kemana. 

Ketika Sandiwara Radio Berjaya


Radio

Radio mungkin adalah satu-satunya media yang mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Saat televisi dan internet menggempur, eksistensi radio tetap ada meski penggemarnya mulai tergerus.

Gehol sebagai sebuah peradaban tentu saja akrab dengan radio. Apalagi di masa-masa ketika televisi masih menjadi barang mahal dan hiburan lainnya hanya datang di saat-saat tertentu. Radio dengan kemampuannya menyajikan hiburan murah mampu mengambil hati warga Gehol yang minim hiburan.

Masih segar dalam ingatan saat sore hari sesudah Ashar dan menjelang Maghrib warga Gehol, terutama ibu-ibu, berkumpul di halaman rumah masing-masing. Mereka berbaris membentuk “kereta api” dengan yang paling tua berada pada jajaran paling depan. Barisan “kereta api” tersebut adalah aktivitas membersihkan rambut dari binatang kutu, ketombe, hingga uban.

Permainan Gehol yang “Direnggut” PLN


Gobak Sodor

Terang bulan adalah anugerah tak terlupakan saat masa kecil masih belum disentuh listrik PLN. Saat itu,  pekerjaan anak-anak kecil hanya lima: sholat, mengaji, sekolah, kerja, dan bermain. Bermain adalah kegiatan wajib ada meski saat sholat, mengaji, sekolah, dan kerja.

Lalu kenapa ketika terang bolam milik PLN begitu terkesan merenggut kekompakkan bocah-bocah Gehol? Jawabannya adalah karena listrik PLN memacu penduduknya mengisi rumah dengan barang-barang yang “mencegah” anak-anak mereka keluyuran malam sesudah mengaji. Bahkan memanjakan anak-anak di siang hari saat sekolah usai.

Ingatanku masih sangat kuat ketika Gobak Sodor, Benteng, dan Jambelong menemani malam hari kami. Dengan bantuan penerangan seadanya mulai dari pelita, petromaks, neon bertenaga aki, kelap-kelip neon dari mesin diesel yang dirawat bapakku, hingga cahaya gratis dari bulan, anak-anak Gehol akan memenuhi setiap tempat lapang yang bisa dijadikan tempat bermain.

Nyorog: Bukti Cinta ala Gehol




Menjadi jomblo, dimanapun kau berada, pasti tak mengenakkan. Apalagi di Gehol yang memiliki tradisi menunjukkan cinta yang teramat tinggi. Di Gehol alias Jetak, terdapat sebuah tradisi yang sangat erat dengan cinta. Nyorog.

Nyorog secara harfiah adalah memberikan. Namun dalam tradisi Gehol, nyorog bisa diartikan juga sebagai ajang pembuktian cinta. Dalam tradisi ini, si perempuan dan keluarganya akan memberikan hantaran berupa makanan, minuman, pakaian, dan entah apalagi. Sang pria cukup duduk di rumah dan menyalakan petasan sebagai tanda kedatangan perempuan tercintanya. Juga sebagai tanda bahwa ada perempuan yang mau menjadi pasangannya.

Cengkeram Perempuan di Senayan


Perempuan-Perempuan Tersorot Korupsi
Dari pemilu ke pemilu, kaum perempuan dan feminis begitu menggebu untuk mendapatkan porsi yang lebih. Bagaimanapun, hak mereka tersebut memang sudah seharusnya sama dengan lelaki. Termasuk dalam berpolitik, salah satunya menjadi anggota DPR.

Hasilnyapun menggembirakan. Dari 650 anggota DPR saat ini, 101 kursi (18,03%) diduduki politisi perempuan dari berbagai partai. Ini adalah kenaikan yang cukup signifikan dibadingkan pemilu 2004, ketika jumlah politisi perempuan di DPR baru mencapai 11,6%. Angka perempuan di DPR kini terpaut hampir 10% dengan hasil pemilu 1999 baru mendudukkan 8,6% perempuan di DPR.

Ekspektasi yang tersemat dengan kian meningkatnya anggota dewan dari kaum perempuan tentu hanya satu, perubahan positif terkait peran dan kewenangan DPR yang jauh dari kemaslahatan ummat. Harapan kepada perempuan sama seperti harapan rakyat pada kaum muda. Sebab sudah tak cukup kata-kata untuk melukiskan kebobrokan DPR di negeri ini.

Uniknya Kekerabatan di Gehol

Ilustrasi Keluarga
Masih ingat dengan sistempenamaan anak dengan memakai primbon sederhana ala Gehol? Nah, di artikel kali ini akan digambarkan sedikit keunikan system kekerabatan di Gehol.

Setiap daerah pasti memiliki system kekeluargaan. Tentu saja system tersebut unik sebagaimana uniknya setiap budaya di daerah setempat. Nah, keunikan akan kekerabatan di Gehol alias Jetak berikut bisa jadi hanya terjadi di daerah Gehol saja. Namun tentu juga tidak menutup kemungkinan terjadi juga di daerah lain, dengan sebutan berbeda.

Keunikan system kekerabatan di Gehol bukan saja sebatas nama, namun juga bagaimana hubungan tersebut bisa tercipta. Mau tau seberapa unik? Sila simak sedikit uraian dari saya.

Larangan Unik di Hari Kliwon


Ilustrasi Menjemur dan Memukul Kasur (detik.com)
Masih ingat dengan aneka pamali unik dari Gehol di artikel lalu? Di artikel ini saya akan memaparkan salah satu pamali unik yang ada di Gehol. Keunikan pamali ini menurut saya susah ditemui di daerah lainnya.

Pamali yang terkain dengan hari pasaran kliwon memang banyak, tapi yang unik dari Gehol adalah menerapkan pamali itu dalam beberapa aktivitas sehari-hari. Salah satu yang paling unik adalah larangan memukul kasur saat di jemur pada hari-hari kliwon.

Adapun hari kliwon yang dimaksud adalah Selasa dan Jumat Kliwon. Jadi, pada saat warga Gehol alias Jetak menjemur kasurnya di kedua hari di atas, maka haram hukumnya membersihkan kasur dengan memukul-mukulnya. Jika Anda nekad melakukannya, maka berbesarhatilah jika diingatkan oleh tetangga.

“Goyang Karawang” di Lidah


Bumbu alami yang kuat menyelimuti tubuh Jambal
Mendengar kata Karawang, maka yang terlintas di benak sebagian besar dari kita dalah goyangannya. Tapi tahukah bahwa Karawang juga bisa menggoyang lidah dengan amat lihai? Tak percaya? Kunjungi saja Pepes Jambal Pak Emin di dekat Bendungan Walahar sana, dijamin lidah Anda akan disuguhi goyangan aneka pepes, sambal, nasi, dan lalapan yang aduhai.

Mengunjungi rumah makan yang selalu ramai ini tak pernah bosan. Saya sendiri sudah lima kali lebih sengaja ke Karawang demi merasakan hidangan yang selalu menimbulkan ekstase tersendiri bagi lidah saya ini. Butuh perjuangan yang lumayan demi menikmati pepes jambal yang rasa dan kualitasnya sempurna ini. Selain harus menyusur tol Jakarta-Cikampek dan keluar di pintu Tol Karawang Timur, antrian yang mengular di tempat makan yang dituju juga telah menunggu.

Berkah Imlek Bagi Gehol


Meski warga Gehol secara genetis tak memiliki DNA China dan percikannya, namun Imlek tetap memberi pengharapan bagi mereka. Setidaknya dari tanda-tanda alam yang ditunjukkan saat hari raya bangsa China tersebut tiba.
Tahun Baru Imlek
Warga Gehol alias Jetak adalah manusia-manusia yang selalu membaca pertanda dari alam. Sekuat apapun budaya yang memengaruhi mereka untuk lepas dari alam, namun tetap saja alam dan pertanda yang ditampilkannya tidak pernah lepas dari pengamatam warga Gehol. Hampir setiap langkah yang hendak diambil diperhitungkan dengan cermat dan tepat sehingga hasilnya sesuai harapan. Tentu saja usaha yang dilakukan dalam mencapai keinginanpun senantiasa diselaraskan dengan alam juga.

Ki Kabayan Pahlawan Gehol


Ilustrasi Kabayan

Kabayan pasti sudah sangat akrab dalam khasanah dongen masyarakat Indonesia. Namun yang menjadi pahlawan Gehol kali ini jauh dari figur Kabayan dalam dongeng Sunda. Meski mungkin pada masa lalu Kabayan dalam dongeng memiliki peran serupa dalam diri Kabayan yang jadi pahlawan Gehol.

Kabayan di Gehol adalah perangkat desa paling rendah dalam struktur pemerintahan desa. Karena kabayan mungkin terasa “udik”, maka kini jabatan tersebut menjadi urusan umum. Kabayan di Gehol benar-benar mampu menjadi roh pemerintahan di Gehol. Ia lebih merakyat dan lebih popular serta lebih akrab dengan warganya ketimbang para pemangku tugas desa lainnya. Jika Kabayan disukai karena peranannya, maka pemangku yang lain boleh jadi lebih ditakuti daripada disukai.

Liga Lebaran di Gehol

Anak-anak Gehol sedang bertanding






Olahraga tentu tak dapat dipisahkan dari manusia. Sebab selain alat agar tubuh sehat, olahraga adalah sarana untuk menghibur pelaku dan penikmatnya. Dan masyarakat Gehol sebagaimana layaknya manusia biasa tentu juga butuh hiburan. Olahraga, terlebih sepakbola dan bola voli adalah menu hiburan termurah dan terpopuler di Gehol alias Jetak sana.

Gehol sendiri melekat menjadi sebuah identitas bagi masyarakat Jetak karena cintanya Jetak akan olahraga. Gehol adalah akronim dari generasi hobi olahraga. Secara etimologi, gehol susah dipastikan apa namanya. Makna pastinya sendiri hingga sekarang susah disasar.

Pada jamannya, Gehol mampu merajai ajang sepakbola sekecamatan. Namun Gehol masa lalu tetaplah Gehol. Meski mereka jago mengolah bola, sifat lugu tetaplah melekat dalam jiwa mereka. Pernah suatu waktu saat pertandingan antardesa, seorang pemain Gehol kena kartu kuning. Saat wasit mengacungkan kartu, sang pemain Gehol dengan sigap mengambilnya. Bagi sang pemain, pemberian kartu diartikan secara harfiah saja. Diberi berarti yang menerima harus mengambilnya. Lugu!

Cara Unik Menamai Anak di Gehol

Ilustrasi

Memberi nama manusia gampang-gampang susah. Banyak aturan yang mesti dipenuhi agar yang memiliki nama tersebut nantinya bisa hidup bahagia. Karena nama pada dasarnya adalah doa bagi yang menyandangnya.

Bagi warga Gehol alias jetak, Sindangwangi, Bantarkawung, Brebes, Jateng, menamai seseorang memiliki cara unik nan sederhana. Karena pada dasarnya nama adalah sebuah doa orang tua, maka penamaan anak-anak Gehol sebisa mungkin mengandung harapan agar kelak sang anak hidup lebih baik dari para orang tuanya.

Penamaan di Gehol jaman aku kecil dan sebagian warga masih memakainya hingga kini berpatokan pada hari lahir. Di Gehol, hari lahir seseorang akan mudah ditebak berdasarkan nama mereka. Sebab nama hari akan identik dengan huruf depan sang empunya nama.

Berikut adalah patokan dasar bagi seseorang dalam memberikan nama di Gehol. Jika si bocah lahir Senin maka nama depannya akan dimulai huruf R. Kalau lahir Selasa nama akan dimulai dengan huruf C. Untuk Rabu, maka nama akan dimulai huruf T. Kamis, nama sang anak diawali huruf S. Jumat maka nama akan dimulai dengan huruf D. Untuk Sabtu dan Minggu maka nama warga Gehol akan dimulai huruf W dan K.

Hilangnya Ternak di Gehol

Ternak vs Mesin

Gehol alias Jetak sebagaimana kebanyakan kampung di Jawa Tengah bergantung pada pertanian. Dan pertanian akrab dengan ternak, mulai dari ayam, itik, kambing, sapi hingga kerbau. Sayangnya hewan-hewan ternak tersebut kian jarang ditemui. Jika dahulu di jalanan gehol kau menemukan bukti eksistensi kerbau dan sapi lewat “sekumpulan kue hijau”, kini tembelek alias tai ayampun susah ditemukan.

Tentu bukan karena warga Gehol malas atau enggan memelihara hewan-hewan tersebut. Namun, sebagaimana prinsip ekonomi berlaku, maka pemeliharaan ternak terutama ternak besar terlampau merugi untuk dipertahankan. Biaya pemeliharaan yang tinggi tidak sebanding dengan harga jualnya yang bisa dipermainkan bakul ternak.

Kambing, kerbau dan sapi dahulu adalah simbol kemakmuran pemiliknya. Karena bisa dipastikan bahwa para pemiliknya adalah pasti warga yang memiliki sawah luas dan tanah tak sedikit. Pemilik hewan ternak tentu selain harus memiliki lahan untuk kandang juga biasanya membayar orang untuk mengembalakan ternak-ternak mereka.

Pamali Teraneh di Gehol


Di Gehol Tanaman Oyong Dilarang


Setiap negeri pasti ada larangan atau hal yang terlarang atau tabu untuk dilakukan oleh penduduknya. Uniknya, larangan tersebut bukan karena semata karena diundangkan. Akan tetapi banyak sekali larangan yang bersifat pamali yang justru lebih ditaati daripada undang-undang tertulis.

Menelisik pamali di kampungku sulit sekali menemukan jawaban kenapa hal tersebut terjadi. Kelahiran pamali selain sulit ditelusuri juga sangat susah dinalar. Pamali ini ada seakan sudah mendarah daging dalam setiap warga Jetak alias Gehol tanpa harus diajarkan. Yang paling unik, pamali meski tak masuk akal sekalipun terkadang sangat ditaati.

Di Gehol ada beberapa pamali yang amat sangat unik, beberapa masih ditaati dan yang lainnya sudah dianggap hanya lelucon saja. Adapaun beberapa pamali unik dari Gehol adalah sebagai berikut:

Pecel Daun Kencur dari Pelosok Kebumen

Pecel Khas Peniron

Peniron, hanyalah sebuah desa kecil di 12 km utara kota Kebumen, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Terletak di sebelah barat lembah Luk Ulo, sebuah sungai terbesar di Kebumen yang membelah Kebumen menjadi dua daerah dengan kebudayaan sedikit berbeda satu dengan lainnya, yang sering orang katakan sebagai daerah wetan kali dan kulon kali. Sebagai desa, Peniron tidak ada yang istimewa dan mungkin nyaris sama seperti desa-desa lain yang jauh dari kota.

Begitulah pembukaan dari sebuah blog yang khusus mengupas Peniron, desa yang menurutku eksotis. Eksotis terutama dalam rasa, kebetulan aku berkesempatan merasakan pecel khas Peniron. Sama seperti pecel pada umumnya namun tambahan kecombrang dan daun kencurnya dijamin susah ditemukan di daerah lain.