Pendidikan: Dulu dan Kini
Ilustrasi Pendidikan |
Kabar menggebirakan datang dari
keponakanku yang naik ke kelas 4. Dia juara satu di kelasnya. Sebuah prestasi
yang ia raih setelah diiming-imingi berbagai macam hadiah dari orang tuanya.
Kesimpulannya, semua bisa digapai asal ada harga yang dibayar.
Tentu keadaan di atas jauh
berbeda pada jamanku apalagi jaman buyutku. Jamanku, juara kelas tidak pernah
ada janji apapun dari orang tuaku, karena memang tak mampu. Hanya ada hadian
pensil dan buku tulis tiga biji. Semua hadiah diserahkan saat upacara penutupan
catur wulan. Kesimpulannya, juara karena yang lain malas belajar, atau terlalu
sibuk bekerja karena mereka punya sawah atau kebun sementara aku tidak.
Jaman buyutku lebih parah. Dia
bahkan tak mampu mengenyam bangku sekolah karena terlalu sibuk menyelamatkan
diri dari konflik berkepanjangan antar sesama warga negara. Ia yang polos hanya
bisa belajar membaca dengan mengumpulkan bungkus kemasan makanan atau pakaian.
Ia, yang kini makamnya disambangi
orang-orang yang ingin pintar, berhasil membaca hanya bermodalkan ketekunannya
mengumpulkan kemasan makanan kemudian menanyakannya pada orang lain yang bisa
membaca. Kesimpulannya, keinginan kuat bisa mengalahkan segalanya.
Perbedaan motivasi belajar juga
senyampang dengan perbedaan bagaimana memperoleh kelulusan atau naik
kelas. Kini, saat keponakanku juara
satu, sulit sekali menemukan anak tinggal kelas. Entah karena disparitas nilai
yang tidak terpaut jauh atau karena apa, yang jelas menemukan anak tidak naik
kelas apalagi tidak lulus sekolah bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Keberhasilan pendidikan?
Jamanku, naik kelas atau tidak
ditentukan seberapa baik sikap kita. Aku pernah dihardik sang guru karena asyik
mengobrol saat beliau menerangkan. Dengan keras dia menjawab bahwa kepintaran
kamu, yang ranking satu sejak kelas satu hingga kelas enam, tidak menjamin kamu
lulus kalau kamu bandel. Jamanku, sebodoh apapun bisa lulus asal berperilaku
baik.
Jaman buyutku hingga jaman uaku,
satu-satunya yang bisa mengenyam bangku SD di keluarga ayahku, pendidikan
sangat sulit sekali. Mencari anak yang lulus sama susahnya dengan menemukan
bintang jatuh di siang hari. Tercatat uaku dan almarhum pamanku hanyalah
segelintir orang yang beruntung. Uaku satu-satunya yang lulus SD di kecamatan
dan almarhum pamanku adalah satu daru dua orang yang lulus SD di desaku.
Pendidikan tak merata?
Membandingkan dulu dan sekarang
tentu tak sesederhana di atas, namun setidaknya bisa sedikit menggambarkan
bagaimana peta persaingan dan kualitas pendidikan.
Zaman dah berubah kali gan...
ReplyDeleteberubah jauh gan
Deletemau gimana lagi............
ReplyDeletekalo hax satu yang ingin berubah,namun yg laenx tidak mau....... itu sia-sai
pasrah gan
Delete