Pendidikan: Dulu dan Kini

12:00:00 PM Unknown 4 Comments


Ilustrasi Pendidikan
Kabar menggebirakan datang dari keponakanku yang naik ke kelas 4. Dia juara satu di kelasnya. Sebuah prestasi yang ia raih setelah diiming-imingi berbagai macam hadiah dari orang tuanya. Kesimpulannya, semua bisa digapai asal ada harga yang dibayar.

Tentu keadaan di atas jauh berbeda pada jamanku apalagi jaman buyutku. Jamanku, juara kelas tidak pernah ada janji apapun dari orang tuaku, karena memang tak mampu. Hanya ada hadian pensil dan buku tulis tiga biji. Semua hadiah diserahkan saat upacara penutupan catur wulan. Kesimpulannya, juara karena yang lain malas belajar, atau terlalu sibuk bekerja karena mereka punya sawah atau kebun sementara aku tidak.


Jaman buyutku lebih parah. Dia bahkan tak mampu mengenyam bangku sekolah karena terlalu sibuk menyelamatkan diri dari konflik berkepanjangan antar sesama warga negara. Ia yang polos hanya bisa belajar membaca dengan mengumpulkan bungkus kemasan makanan atau pakaian.

Ia, yang kini makamnya disambangi orang-orang yang ingin pintar, berhasil membaca hanya bermodalkan ketekunannya mengumpulkan kemasan makanan kemudian menanyakannya pada orang lain yang bisa membaca. Kesimpulannya, keinginan kuat bisa mengalahkan segalanya.

Perbedaan motivasi belajar juga senyampang dengan perbedaan bagaimana memperoleh kelulusan atau naik kelas.  Kini, saat keponakanku juara satu, sulit sekali menemukan anak tinggal kelas. Entah karena disparitas nilai yang tidak terpaut jauh atau karena apa, yang jelas menemukan anak tidak naik kelas apalagi tidak lulus sekolah bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Keberhasilan pendidikan?

Jamanku, naik kelas atau tidak ditentukan seberapa baik sikap kita. Aku pernah dihardik sang guru karena asyik mengobrol saat beliau menerangkan. Dengan keras dia menjawab bahwa kepintaran kamu, yang ranking satu sejak kelas satu hingga kelas enam, tidak menjamin kamu lulus kalau kamu bandel. Jamanku, sebodoh apapun bisa lulus asal berperilaku baik.

Jaman buyutku hingga jaman uaku, satu-satunya yang bisa mengenyam bangku SD di keluarga ayahku, pendidikan sangat sulit sekali. Mencari anak yang lulus sama susahnya dengan menemukan bintang jatuh di siang hari. Tercatat uaku dan almarhum pamanku hanyalah segelintir orang yang beruntung. Uaku satu-satunya yang lulus SD di kecamatan dan almarhum pamanku adalah satu daru dua orang yang lulus SD di desaku. Pendidikan tak merata?

Membandingkan dulu dan sekarang tentu tak sesederhana di atas, namun setidaknya bisa sedikit menggambarkan bagaimana peta persaingan dan kualitas pendidikan.


4 comments:

  1. mau gimana lagi............
    kalo hax satu yang ingin berubah,namun yg laenx tidak mau....... itu sia-sai

    ReplyDelete