Yang Harus Dibela, Manusia atau Monyet?

2:55:00 PM Unknown 13 Comments


Mereka yang Kurang Beruntung

Datanglah ke Ibu Kota Indonesia, maka telah begitu banyak monyet-monyet yang menari-nari di pinggir jalan, keluar masuk gang, hingga pelataran sekolah-sekolah. Mereka bukan monyet liat tentu saja, tapi mereka adalah monyet-monyet perkasa yang berjasa pada tuannya.

Ada yang sekedar dibekali dengan motor-motoran, topeng, kuda lumping mini, hingga ada juga yang di temani dengan hangar binger musik. Pemiliknyapun beragam, ada yang bermain solo mulai dari main musik, mecut, hingga mengajarkan trik-trik mengundang decak tawa penontonnya.  Ada juga yang orkestra dengan minimal tiga orang. Biasanya ada yang khusus menangani gendang, gambang atau saron mini, dan atraksi.

Para tukang topeng monyet yang seorang diri beroperasi biasanya berlapak di tepi jalan, terutama perempatan. Sementara itu, yang berkelompok biasa menghibur anak-anak menengah ke bawah di kompleks atau gang-gang. Keduanya sama, memeras tenaga sang kera demi rupiah.

Makin maraknya topeng monyet yang notabene memperbudak monyet sempat membuat para bule keheranan bercampul jengkel. Bagi mereka yang kebanyakan datang dari negeri yang sudah memerhatikan hak-hak binatang tentu saja hal tersebut kejam dan sadis. Sayangnya para bule kurang paham bahwa di negara ini jangankan HAB (Hak Asasi Binatang), HAM pun antara ada dan tiada.

Dipandang dari perikebinatangan, memperlakukan monyet sepanjang hari dengan makan yang entah cukup atau tidak memang terasa menyesakkan. Saya selalu berharap bahwa uang yang kita berikan akan segera mengakhiri nasib si monyet. Maksudnya, semoga saja penghasilan bulan ini cukup sehingga sang pawang beralih profesi menjadi pedagang atau pulang kampung misalnya.

Sayangnya, hal tersebut sepertinya amat sangat tidak mungkin. Sebagaimana artikel saya menganai Ironi di Seberang Resto Cepat Saji, kebanyakan dari orang yang kurang beruntung tersebut melanggengkan kemalangan atau keterampilan monyetnya. Artinya tidak ada niat menjadikan profesi sekarang ini sebagai batu loncatan. Pertanyaannya bisakah?

Inilah masalah utama yang seharusnya bisa kita jawab. Bisakah mereka dengan modal hasil topeng monyet membuka warung atau pulang kampung? Bisa jadi hanya ada satu berbanding seribu yang mau melakukannya. Lihat saja kasus mengemis yang para pelakunya ternyata sudah kaya. Mereka memang menjadikan profesi mengemis sebagai profesi abadi dan mirisnya diturunkan kepada anak cucu mereka.

Jadi yang manakah yang haru kita bela di antara monyet dan pawangnya? Kita lihat ilustrasi berikut setelah saya melakukan perbincangan dengan salah satu rombongan pawang monyet yang sering singgah di dekat kontrakan.

Dalam sehari, rombongan tersebut bisa mendapatkan hasil Rp 50,000,00 hingga Rp 150,000,00. Artinya dalam sebulan, pendapatan kotor mereka sekitar Rp 1.500.000,00 hingga Rp 4.500.000,00. Sayangnya hasil itu harus mereka belanjakan untuk makan, membayar kontrakan, dan perawatan sang monyet. Namun, setelah dirata-ratakan, minimal mereka masih bisa mengantongi uang Rp 500.000,00 per bulan. Sama seperti hasil yang didapat saat aku jadi kuli bangunan.

Melihat hasil yang lumayan, menurut saya yang pernah saat jadi kuli bangunan tidak dibayar karena mandornya curang. Pertanyaan selanjutnya, mungkinkah mereka beralih profesi dan memensiunkan sang monyet. Jawabannya hampir mustahil.

Uang yang mereka berhasil sisihkan selalu mereka kirimkan ke kampung. Seiring makin tingginya kebutuhan hidup, maka makin tinggi pula tuntutan terhadap para pawang dan monyetnya tentu saja. Justru yang terjadi sebaliknya, jika sang monyet bisa menyedot penonton dan uangnya dengan jumlah yang lumayan, maka makin lamalah masa kerja si monyet. Bahkan, jika si monyet dianggap tak layak jual, maka mereka tetap aja masih harus menjalani masa kerja entah sampai kapan. Sebab biasanya mereka dijual kepada pawang yang lebih mahir.

Yang jelas, para pawang biasanya berasalan minimnya pendidikan dan keahlian yang menjurumuskan mereka menjadikan monyet sebagai tumpuan hidup. Jadi siapa yang harus dibela?

13 comments:

  1. apa bedanya dengan rombongan2 sirkus yang dilakukan orang bule? sama saja!

    mungkin ada udang dibalik batu. takut bibit sirkus indonesia menyaingi mereka

    ReplyDelete
    Replies
    1. mungkin juga gan,
      makaih dah mampir ...

      Delete
    2. Matador di Spanyol bukan hanya memperalat Banteng, tapi membunuhnya dengan perlahan dengan balutan seni dan olahraga.

      Delete
  2. di Thailand dan Padang,monyet dan beruk di jadikan kuli panjat kelapa,so what gitu klo monyet di jadikan atraksi hiburan,selama kita tidak menyiksa atau membunuh binatang tsb,itu manusiawi dan sah2 saja,apa bedanya dengan penggunaan kerbau utk membajak sawah..kelihatannya LSM penyayang binatang tidak menyayangi manusia,mereka tidak manusiawi tapi hewani

    ReplyDelete
    Replies
    1. betul juga tuh gan,,, padahal emang siapa sih anak-anak yang bercita-cita "hanya" menjadi tukang topeng monyet? Kebanyakan dari merek terpaksa....
      Terima kasih sudah mampir

      Delete
    2. beruk memanjat pohon, kerbau membaja sawah tidak merubah sifat alami mereka, memang utk mmbantu manusia mrk diciptakan dan mereka senang, tapi memaksa monyet berlaku seperti manusia utk hiburan melalui penyiksaan? bukankah itu kejam..lihat cara mereka melatih(lbh tepatnya menyiksa) monyet2 itu.. http://www.bounche.com/lite/?p=1420 so, masih menganggap topeng monyet itu lucu?

      Delete
    3. iya gan, emang kalo dilihat dari sisi itu terkadang miris

      Delete
  3. nah tuh, jadi disini sudut pandang kita yg harus di garis bawahi, kalau saya melihatnya sebagai sisi koloborasi antara binatang dan manusia, mungkin saja di balik aksi itu ada kerja sama yg mereka sepakati, hahay, kita tidak tahu itu, :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya gan, masalah sebenarnyalah yang harus kita atasi...
      kalo akar masalah sudah teratasi, namun hal seperti ini masih ada mungkin kita lebih leluasa menilai
      terima kasih sudah mampir

      Delete
  4. Mana yang harus dibela ? saya juga bingung, kedua2nya sama-sama punya alibi untuk dibela. Cuma saya pernah ikut sedih melihat seekor monyet yang sedang menggunakan topeng di pinggiran jalan di Jakarta. Rasanya saya kok menjadi monyet yang saya lihat tersebut #Nelongso

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya malah selalu ingat anak,,,
      makanya ngasih, dengan harapan si pawang segera kaya dan buka usaha lain selain topeng monyet ...

      Delete
  5. klw ada topeng monyet jangan di kasih duit gan, tapi kasih saja buah si monyetnya hehe

    ReplyDelete