Perjalanan Akhir Sang Guru
Ilustrasi Perjalanan Hidup |
Setiap anak, saat sekolah, bisa dipastikan lebih banyak menyoroti ketidaksesuaian pengajar alias guru mereka. Sedikit saja sang guru memberikan bebas, maka caci maki kadang diam-diam dialamatkan padanya. Doa-doa buruk dialamatkan demi melampiaskan kejengkelan. Namun segala kebaikan yang ditanam seolah keharusan alias tugas sang guru sehingga tak perlu dikomentari. Apalagi diikuti ucapan terima kasih.
Mungkin itu juga yang menyebabkan Guruku yang kini entah kemana tak terdeteksi keberadaannya. Dia adalah ikon akan ketegasan di sekolahku dahulu. Sebuah sekolah yang sebelum dijadikan “penjara” – dikelilingi tembok setinggi dua meter – adalah tempat yang membebaskan siswanya mereguk karunia alam saat instirahat. Di sekolahku, sebelum pagar mengelilingi, pergi ke sisi sungai sambil membawa mangkuk para penjual berisi jajanan adalah kenikmatan yang susah disetarai.
Guruku yang mengajarkan pelajaran mengenai undang-undang adalah sosok killer bagi semua siswanya. Dia akan dengan tegas menghukum siswa yang salah. Sayangnya, karena lazimnya para siswa doyan berbuat salah, maka Guruku yang kini entah kemana, tentu saja rajin memberikan teguran.
Jaman dahulu ketika sekolah hanya memiliki hubungan murid, guru, dan orang tua, kekuasaan sekolah seratus persen ada di tangan guru. Kini, setelah muncul berbagai organisasi dan keterbukaan informasi, maka tak jarang masalah menjewer sampai masuk ke pengadilan. Saat aku sekolah dan Guruku yang kini entah kemana masih aktif mengajar, jewer menjewer adalah santapan rutin siswa nakal.
Karena sikap tegasnya tersebut, di mata siswa disebut galak, maka seluruh doa siswa nakal tercurah untuknya. Sayangnya, doa-doa yang dipanjatkan lebih banyak yang negatif dibanding positif. Sesuatu yang mungkin saja akan mereka sesali – atau bisa jadi syukuri – ketika perjalanan Guruku yang kini entah dimana berakhir tragis.
Beliau yang dengan sepenuh hati berusaha menanamkan kedisplinan dan kepandaian bagi murid-muridnya, mungkin kini sedang menjalani ujian teramat berat dari Sang Penguasa Kehidupan. Ironisnya, para murid yang diusahakan lebih pandai dan lebih disiplin kebanyakan bersyukur akan apa yeng menimpanya – berdasarkan bincang-bincang sesama murid.
Ujian ini bermula ketika Guruku yang kini entah kemana mulai mengungkapkan kejenuhan mengajar. Demi memenuhi hari tua yang akan ditinggalkannya tanpa mengajar dengan kebahagiaan, maka dunia bisnis ia tekuni. Menanjak memang kehidupannya. Dalam waktu singkat bahkan. Materi tentu saja dengan segera menghampiri, berkali-kali lipat dari gaji. Motor berganti mobil, rumah berganti gaya, dan penampilan berubah lebih trendi. Namun kedisiplinan dan ketegasan mengajar tetap ia pegang teguh.
Sayangnya, kelimpahan materi hanya sekejap ia rasakan. Lazimnya pengusaha, saat bangkrut adalah saat yang sangat menyiksa lahir dan batin. Materi tergerus demi melunasi produksi dan utang. Batin tersiksa demi menyaksikan anak istri yang tiba-tiba harus berdamai dengan keadaan. Jika biasanya keadaan mampu dikendalikan, kini keadaanlah yang mengendalikan.
Ironisnya, sang istri ternyata tak sanggup menerima ujian. Dia dengan berani mengakhiri hidup, terbebas dari jerat rentenir, cibiran tetangga, dan tentu saja cemoohan mantan siswa sang suami. Di bumi ini, harus diakui bahwa lebih banyak manusia yang senang melihat seseorang jatuh daripada berjaya.
Demi mendapati ujian yang teramat berat tersebut, maka Guruku yang kini entah dimana berbalik arah seratus persen kehidupannya. Ia dengan sadar akhirnya meninggalkan kehidupan, tanpa harus mati. Ia seolah-olah hilang dalam tafakurnya mencari kebahagiaan batin. Sesuatu yang dahulu dianggap akan hadir seiring melimpahnya materi.
Terakhir kali para mantan siswa melihatnya masih mengajar, penampilan telah berubah total. Galibnya seseorang yang ingin dianggap religius, wajahnya telah dihiasi jenggot dan kumis. Pakaiannyapun tak ada beda dengan pakaian pria-pria di Timur Tengah sana. Lebih banyak duduk di mushola sekolah daripada mengajar. Tentu saja telah pula kehilangan “kegalakannya”.
Kini, rumahnya lebih nampak seperti rumah hantu. Sudah hampir tiga tahun ditinggalkan para penghuninya. Yang satu memilih mati, yang lain mencoba mencari kebahagiaan diri. Yang pasti Guruku moksa. Hilang tanpa jejak, seolah menyerusup bumi demi menghindari kehidupan.
Guruku yang kini entah dimana, mungkin saja telah menemukan kebahagiaannya. Siswa-siswa yang dahulu menggubah doa buruk untuknya mungkin sudah pula menemukan bahagia. Yang pasti ikatan takdir tak terduga. Tak ada di antara siswa dan Guru yang tahu bahwa perjalanan terasa begitu berat yang harus di lalui.
Semoga akhir perjalanan Guruku yang kini entah dimana sebahagia para siswa yang merasa doanya dijawab. Semoga!
moksa kayak dalam cerita wayang saja
ReplyDeletehahaha habis jejaknya bener2 tak terdeteksi ...
Deletetrims for share yah... keren tulisannya
ReplyDeletemakasih sudah mampir
DeleteTulisannya bagus sob.. :)
ReplyDeleteOiya, submit ja blognya di direktori blog Indo. Bagus wat link building n seo, serta membangun komunitas.. :)
Thanks
makasih udah mampir submitnya layak dicoba...
Delete