Jika BBM Naik

1:16:00 PM Unknown 0 Comments



Kenaikan BBM (inilah.com)
BBM memang tidak jadi dinaikkan 1 April lalu. Namun mengingat utak-0atik pasal siluman yang kini sedang diuji materi, maka kenaikan tinggal menunggu waktu saja.

Maka sesungguhnya hari kian dekat dengan waktu untuk mengantre BBM tepat sebelum pukul 00.00 tiba. Saat itu, adalah hari terakhir premium yang merupakan bahan bakar kaum miskin bisa dinikmati dengan harga Rp 4.500,00. Meski faktanya harga di pedesaan tidaklah sebesar besaran yang ditetapkan pemerintah karena buruknya system distribusi yang dimiliki pemerintah. Sejak skenario kenaikan BBM diumumkan oleh pemerintah, maka kejadian sebagaimana diuraikan di atas tentu saja sudah di depan mata.

Adegan berikutnya mudah ditebak, sekumpulan insentif langsung untuk rakyat digelontorkan bak Sinterklas. BLT yang diharapkan mampu menyelamatkan rakyat miskin yang menuju kolaps pascakenaikan BBM menjadi pilihan. Program yang mempertotonkan kemiskinan secara vulgar ini akan kembali mengharu biru di tanah Indonesia. Jangan lupakan tontonan lain dari adanya Bantuan Langsung Tunai ini, korupsi terstruktur dari tingkat RT hingga entah di mana puncaknya.


Karena ini adalah uang gratis yang untuk mendapatkannya hanya membutuhkan ketulusan hati mendegradasi kedudukan diri di mata pendata, maka jangan heran jika beragam cara dilakukan oleh “kaum miskin”. BLT yang dibagikan entah berapa bulan sekali ini kemudian akan memobilisasi kaum miskin dan kaum yang memiskinkan diri menuju sentra pembagian. Demi memudahkan diri mendapatkan uang gratis tersebut, maka perempuan dan anak-anaklah yang kemudian mengantri. Sebagian besar lelaki dengan alasan harus mencari nafkah memagari diri dari mengantri.

Memakai perempuan dan anak-anak sudah sangat lumrah digunakan dalam mengeksploitasi kemiskinan. Lihat saja betapa banyak perempuan dan anak-anak di jalanan. Kenyataan pahitnya adalah, para perempuan dan anak-anak tersebut diyakini dijadikan sapi perah para mafia pengemis. Sebuah bisnis kreatif dari negeri yang dihuni beragam mafia!

Para perempuan dan anak-anak pengantri BLT ini biasanya menjadikan mengantri sebagai hiburan. Maklum saja, mereka biasanya berasal dari pedesaan yang mengenal kata libur dan liburan dari teks-teks sekolah semata. Dengan mengadakan perjalanan melelahkan menuju kantor pos, yang biasanya paling dekat ada di ibukota kecamatan, keseharian mereka yang biasanya bergelut dengan lumpur atau asap dapur tentu menggembirakan dengan selingan mengantri bantuan. Setidaknya mereka bisa melihat orang-orang yang senasib atau pura-pura senasib untuk kemudian mendamaikan diri bahwa masih ada yang bernasib lebih buruk.

Dana BLT yang telah mengalami entah berapa kali parkir dan harus disunat atas nama administrasi kemudian siaplah dibagikan. Maka pengumuman yang diberikan oleh petugas laksana sangkakala bagi para pengantri sebagai tanda untuk lebih mempersiapkan diri. Disinilah perempuan dan anak-anak maju ke depan. Mereka akan berdesakan melawan panas, hujan, birokrasi berbelit, jam karet petugas, hingga tangan-tangan kreatif yang siap sedia menampung barang berharga para pengantri yang lengah.

Namun bukan perempuan namanya jika mereka akan menyerah sebelum BLT didapat. Kekuatan dan kesabaran mereka mengantri adalah anugerah alami meski sedikit kaum lelaki yang ikut mengantri akan dengan teriakan kuat dan dorongan kencang mencoba menggoyahkan penantian panjang kaum perempuan tersebut. Kemiskinan yang dipelihara dan dijadikan ajang meraih suara dalam pemilu mendatang telah mengokohkan pendirian mereka. Para perempuan adalah simbol kemandirian yang nyata, yang meski telah dihajar berbagai macam cobaan tetap tegar berdiri.

Mekanisme BLT yang tidak menghiraukan keselamatan dan kehormatan tetap ditempuh para perempuan pengantri demi keluarganya. Maka jangan heran jika kaum lelaki jarang ikut mengantri kecuali mereka sudah renta. Atas nama harga diri – yang memang seharusnya dijunjung tinggi pemerintah – mereka menghindar dari kondisi miris mepertontonkan ketidakmampuan mereka menafkahi keluarga hingga harus antri segala. Para perempuan rela menelan semua penghinaan kaum kuasa yang menggerogoti harga diri dan keamanan mereka. Lucunya, kenyataan menyakitkan yang menimpa mereka diklaim sebagai kepedulian dan tindakan mulia dari penguasa. Penguasa gila hormat!

Maka ketika ada suara penguasa perempuan yang menyatakan bahwa para ibu jangan mau dibeli dengan uang Rp 20.000,00 bisa dipastikan bahwa perempuan penguasa tersebut tidak pernah merasakan apa yang dialami perempuan-perempuan manekin kemiskinan ini. Ia dengan mudah akan menyepelekan uang yang hanya puluhan ribu baginya sebab tabungannya bisa dipastikan ada milyaran. Seruan perempuan penguasa agar para perempuan miskin tidak merelakan diri menelan derita demi bantuan yang hanya sedikit dari pemerintah ibarat mendengarkan sebuah alunan musik dari orang yang pertama kali menyentuh alat musik. Kabur, tanpa makna, dan liar.

Pada akhirnya, para perempuan miskin akan tetap mengantri ditemani anak-anak meski dengan melakukan hal tersebut sama saja dengan membubuhkan tanda hitam di muka mereka. Mereka rela menderita meski penderitaan mereka akan diklaim penguasa sebagai bukti bahwa pemerintah peduli dengan penderitaan rakyatnya. Meski tindakan lancing penguasa ini sama saja dengan menaburkan garam dalam luka rakyatnya. Namun apa mau dikata, rakyat sudah kehabisan kata meladeni ucapan-ucapan penguasa sehingga mereka memilih diam dan menelan derita.

Satu hal yang mungkin dilupakan para penguasa congkak tersebut adalah perbuatan mereka akan selalu dikenang oleh para perempuan yang dihinakan tersebut. Penghinaan yuang diterima akan diucapkan kepada anak-cucu mereka sehingga bekasnya abadi hingga tujuh turunan. Para perempuan mungkin tidak melawan, namun cerita yang mereka kenangkan pada turunannya akan menyiramkan jelaga para penguasa. Jelaga itulah yang akan tertulis dalam benak turunan-turunan kaum miskin yang kemudian memotivasi mereka sehingga bisa saja mereka menjadi kaya dan jadi penguasa. Para penerus inilah yang akan menghapus hina yang diterima dan derita yang ditanggung para orangtua mereka. Semoga!

0 comments: