Jika BBM Naik
Kenaikan BBM (inilah.com) |
BBM memang tidak jadi dinaikkan 1
April lalu. Namun mengingat utak-0atik pasal siluman yang kini sedang diuji
materi, maka kenaikan tinggal menunggu waktu saja.
Maka sesungguhnya hari kian dekat
dengan waktu untuk mengantre BBM tepat sebelum pukul 00.00 tiba. Saat itu,
adalah hari terakhir premium yang merupakan bahan bakar kaum miskin bisa
dinikmati dengan harga Rp 4.500,00. Meski faktanya harga di pedesaan tidaklah
sebesar besaran yang ditetapkan pemerintah karena buruknya system distribusi
yang dimiliki pemerintah. Sejak skenario kenaikan BBM diumumkan oleh
pemerintah, maka kejadian sebagaimana diuraikan di atas tentu saja sudah di
depan mata.
Adegan berikutnya mudah ditebak,
sekumpulan insentif langsung untuk rakyat digelontorkan bak Sinterklas. BLT
yang diharapkan mampu menyelamatkan rakyat miskin yang menuju kolaps
pascakenaikan BBM menjadi pilihan. Program yang mempertotonkan kemiskinan
secara vulgar ini akan kembali mengharu biru di tanah Indonesia. Jangan lupakan tontonan
lain dari adanya Bantuan Langsung Tunai ini, korupsi terstruktur dari tingkat
RT hingga entah di mana puncaknya.
Karena ini adalah uang gratis
yang untuk mendapatkannya hanya membutuhkan ketulusan hati mendegradasi kedudukan
diri di mata pendata, maka jangan heran jika beragam cara dilakukan oleh “kaum
miskin”. BLT yang dibagikan entah berapa bulan sekali ini kemudian akan
memobilisasi kaum miskin dan kaum yang memiskinkan diri menuju sentra
pembagian. Demi memudahkan diri mendapatkan uang gratis tersebut, maka
perempuan dan anak-anaklah yang kemudian mengantri. Sebagian besar lelaki
dengan alasan harus mencari nafkah memagari diri dari mengantri.
Memakai perempuan dan anak-anak
sudah sangat lumrah digunakan dalam mengeksploitasi kemiskinan. Lihat saja
betapa banyak perempuan dan anak-anak di jalanan. Kenyataan pahitnya adalah,
para perempuan dan anak-anak tersebut diyakini dijadikan sapi perah para mafia
pengemis. Sebuah bisnis kreatif dari negeri yang dihuni beragam mafia!
Para
perempuan dan anak-anak pengantri BLT ini biasanya menjadikan mengantri sebagai
hiburan. Maklum saja, mereka biasanya berasal dari pedesaan yang mengenal kata
libur dan liburan dari teks-teks sekolah semata. Dengan mengadakan perjalanan
melelahkan menuju kantor pos, yang biasanya paling dekat ada di ibukota
kecamatan, keseharian mereka yang biasanya bergelut dengan lumpur atau asap
dapur tentu menggembirakan dengan selingan mengantri bantuan. Setidaknya mereka
bisa melihat orang-orang yang senasib atau pura-pura senasib untuk kemudian
mendamaikan diri bahwa masih ada yang bernasib lebih buruk.
Dana BLT yang telah mengalami
entah berapa kali parkir dan harus disunat atas nama administrasi kemudian
siaplah dibagikan. Maka pengumuman yang diberikan oleh petugas laksana sangkakala
bagi para pengantri sebagai tanda untuk lebih mempersiapkan diri. Disinilah
perempuan dan anak-anak maju ke depan. Mereka akan berdesakan melawan panas,
hujan, birokrasi berbelit, jam karet petugas, hingga tangan-tangan kreatif yang
siap sedia menampung barang berharga para pengantri yang lengah.
Namun bukan perempuan namanya
jika mereka akan menyerah sebelum BLT didapat. Kekuatan dan kesabaran mereka
mengantri adalah anugerah alami meski sedikit kaum lelaki yang ikut mengantri
akan dengan teriakan kuat dan dorongan kencang mencoba menggoyahkan penantian
panjang kaum perempuan tersebut. Kemiskinan yang dipelihara dan dijadikan ajang
meraih suara dalam pemilu mendatang telah mengokohkan pendirian mereka. Para perempuan adalah simbol kemandirian yang nyata, yang
meski telah dihajar berbagai macam cobaan tetap tegar berdiri.
Mekanisme BLT yang tidak
menghiraukan keselamatan dan kehormatan tetap ditempuh para perempuan pengantri
demi keluarganya. Maka jangan heran jika kaum lelaki jarang ikut mengantri kecuali
mereka sudah renta. Atas nama harga diri – yang memang seharusnya dijunjung
tinggi pemerintah – mereka menghindar dari kondisi miris mepertontonkan
ketidakmampuan mereka menafkahi keluarga hingga harus antri segala. Para perempuan rela menelan semua penghinaan kaum kuasa
yang menggerogoti harga diri dan keamanan mereka. Lucunya, kenyataan
menyakitkan yang menimpa mereka diklaim sebagai kepedulian dan tindakan mulia
dari penguasa. Penguasa gila hormat!
Maka ketika ada suara penguasa
perempuan yang menyatakan bahwa para ibu jangan mau dibeli dengan uang Rp
20.000,00 bisa dipastikan bahwa perempuan penguasa tersebut tidak pernah
merasakan apa yang dialami perempuan-perempuan manekin kemiskinan ini. Ia
dengan mudah akan menyepelekan uang yang hanya puluhan ribu baginya sebab
tabungannya bisa dipastikan ada milyaran. Seruan perempuan penguasa agar para
perempuan miskin tidak merelakan diri menelan derita demi bantuan yang hanya
sedikit dari pemerintah ibarat mendengarkan sebuah alunan musik dari orang yang
pertama kali menyentuh alat musik. Kabur, tanpa makna, dan liar.
Pada akhirnya, para perempuan
miskin akan tetap mengantri ditemani anak-anak meski dengan melakukan hal
tersebut sama saja dengan membubuhkan tanda hitam di muka mereka. Mereka rela
menderita meski penderitaan mereka akan diklaim penguasa sebagai bukti bahwa
pemerintah peduli dengan penderitaan rakyatnya. Meski tindakan lancing penguasa
ini sama saja dengan menaburkan garam dalam luka rakyatnya. Namun apa mau
dikata, rakyat sudah kehabisan kata meladeni ucapan-ucapan penguasa sehingga
mereka memilih diam dan menelan derita.
Satu hal yang mungkin dilupakan
para penguasa congkak tersebut adalah perbuatan mereka akan selalu dikenang
oleh para perempuan yang dihinakan tersebut. Penghinaan yuang diterima akan
diucapkan kepada anak-cucu mereka sehingga bekasnya abadi hingga tujuh turunan.
Para perempuan mungkin tidak melawan, namun cerita
yang mereka kenangkan pada turunannya akan menyiramkan jelaga para penguasa.
Jelaga itulah yang akan tertulis dalam benak turunan-turunan kaum miskin yang
kemudian memotivasi mereka sehingga bisa saja mereka menjadi kaya dan jadi
penguasa. Para penerus inilah yang akan
menghapus hina yang diterima dan derita yang ditanggung para orangtua mereka.
Semoga!
0 comments: