Hilangnya Ternak di Gehol
Ternak vs Mesin |
Gehol alias Jetak sebagaimana kebanyakan kampung di Jawa Tengah bergantung pada pertanian. Dan pertanian akrab dengan ternak, mulai dari ayam, itik, kambing, sapi hingga kerbau. Sayangnya hewan-hewan ternak tersebut kian jarang ditemui. Jika dahulu di jalanan gehol kau menemukan bukti eksistensi kerbau dan sapi lewat “sekumpulan kue hijau”, kini tembelek alias tai ayampun susah ditemukan.
Tentu bukan karena warga Gehol malas atau enggan memelihara hewan-hewan tersebut. Namun, sebagaimana prinsip ekonomi berlaku, maka pemeliharaan ternak terutama ternak besar terlampau merugi untuk dipertahankan. Biaya pemeliharaan yang tinggi tidak sebanding dengan harga jualnya yang bisa dipermainkan bakul ternak.
Kambing, kerbau dan sapi dahulu adalah simbol kemakmuran pemiliknya. Karena bisa dipastikan bahwa para pemiliknya adalah pasti warga yang memiliki sawah luas dan tanah tak sedikit. Pemilik hewan ternak tentu selain harus memiliki lahan untuk kandang juga biasanya membayar orang untuk mengembalakan ternak-ternak mereka.
Ternak-ternak tersebut, terutama kerbau dan sapi adalah pembantu setia kala musim tanam tiba. Sawah tidak akan pernah bisa ditanami sebelum dihaluskan oleh para kerbau atau sapi. Sekitar 10 tahun lalu, harga untuk pembajak dengan memakai sapi atau kerbau bisa mencapai 30 ribu sehari. Artinya, pemilik sawah akan mendapatkan juga tambahan penghasilan dari ternak-ternak mereka.
Sayangnya, kemampuan sapi dan kerbau dalam membahas sawah cepat sekali tergilas oleh kemampuan bajak traktor. Dengan tenaga yang berasal dari mesin diesel, kemampuannya membajak lebih cepat dan harganyapun lebih murah. Karuan saja hal ini membuat sapi dan kerbau kian kehilangan pelanggan dalam hal bajak-membajak.
Kurangnya pekerjaan yang semestinya didapat oleh sapid an kerbau membuat harga perawatan kian melambung. Hal ini diperparah dengan kian sulitnya mendapatkan pakan ternak. Sapid an kerbau di Gehol sangat tergantung dengan rumput dan jerami. Sayangnya rumput yang disukai sapi kian menipis dan jerami yang difavoritkan kerbau pasokannya sangat tergantung musim.
Lalu, bagaimanakah nasig ayam dan kambing? Setali tiga uang dengan sapid an kerbau, hewan-hewan ternak ini tersuruk-suruk menunggu modernisasi mengusir mereka dari peradaban warga Gehol. Ayam dahulu kala adalah harta bergerak warga Gehol yang paling mudah diuangkan. Dengan harga yang terjangkau – di bawah 100rb per ekor – daya jualnya mudah. Jadi, jika ada orang tua yang kesulitan membayar makanan atau sekolah anaknya, maka ayam adalah solusinya.
Sayangnya banjir peternakan ayam yang melanda sebagian besar wilayah kecamatan kami membuat ayam kampung jadi barang dagangan kaum elit. Harganya melonjak karena kehadiran ayam-ayam broiler yang murah dan lebih bersahabat dengan gigi kaum tua. Ayam kampung kini menjadi santapan kaum elit karena dinilai lebih enak dan sehat.
Kambing tentu saja lebih sulit menjualnya. Selain faktor harga, daging kambing dan juga sapi tak mungkin disantap warga jika tak ada hari khusus semisal hari raya kurban atau hajatan. Sebab adalah hal yang mustahil jika pemiliknya ngidam makan sate kemudian memotong kambingnya.
Sayangnya kambing kian merepotkan jika dipelihara. Apalagi jika yang dipelihara kambing jawa, bukan domba. Kambing jenis ini susah memberi makan karena makanannya berupa daun-daunan yang ironisnya adalah pepohonan milik warga lainnya. Oleh karenanya pemilik kambing jawa kadang sampai harus mencuri pakannya saking kian sedikitnya dedaunan kesukaan kambing yang tersedia bebas. Karena unsur “terpaksa maling pakan” inilah, kambing jawa di kampungku dihindari dijadikan hewan kurban.
Sisi baiknya adalah, jika dahulu hamper setiap rumah semerbak bau kotoran hewan ternak, maka kini baunya sudah kian hilang. Dahulu rumah orang kaya akan lebih bau dari rumah orang biasa saja. Sebab rumah orang kaya biasanya menempel dengan kandang kerbau atau sapi. Sedangkan bagi orang miskin, memelihara ayam saja sudah luar biasa. Tentu saja ranjau-ranjau hijau kotoran sapid an kerbau takkan kau temui di jalanan kampung kami.
0 comments: