Permainan Gehol yang “Direnggut” PLN
Gobak Sodor |
Terang bulan adalah anugerah tak terlupakan saat masa kecil masih belum disentuh listrik PLN. Saat itu, pekerjaan anak-anak kecil hanya lima: sholat, mengaji, sekolah, kerja, dan bermain. Bermain adalah kegiatan wajib ada meski saat sholat, mengaji, sekolah, dan kerja.
Lalu kenapa ketika terang bolam milik PLN begitu terkesan merenggut kekompakkan bocah-bocah Gehol? Jawabannya adalah karena listrik PLN memacu penduduknya mengisi rumah dengan barang-barang yang “mencegah” anak-anak mereka keluyuran malam sesudah mengaji. Bahkan memanjakan anak-anak di siang hari saat sekolah usai.
Ingatanku masih sangat kuat ketika Gobak Sodor, Benteng, dan Jambelong menemani malam hari kami. Dengan bantuan penerangan seadanya mulai dari pelita, petromaks, neon bertenaga aki, kelap-kelip neon dari mesin diesel yang dirawat bapakku, hingga cahaya gratis dari bulan, anak-anak Gehol akan memenuhi setiap tempat lapang yang bisa dijadikan tempat bermain.
Saat itu, meski listrik swadaya telah ada – dan dengan rajin bapakku akan memadamkannya pukul 12 malam – namun peralatan yang memanjakan warga bisa dihitung dengan jari. Video dan TV hanya ada dua rumah yang memiliki. Saat kami hendak menonton, kami harus menyediakan uang Rp 50,00 untuk berdesakkan menonton film yang kebanyakan dibintangi almarhumah Suzana.
Sementara TV yang tanpa video tersebar di beberapa tempat. Namun, yang memberikan izin para bocah dan tetangga menonton tentu saja sedikit. Bagaimanapun, orang-orang murah hati yang bersedia diganggu tetangga dan bocah-bocah yang pasti ribut tentu saja jarang tersedia. Termasuk di Gehol. Namun, jika pemilik sedang tidak mood, bisa saja kami para bocah hanya bisa mengintip dari sela-sela hordeng. Mata dengan seksama memandang adegan film di TV, telinga dipasang dengan seksama demi mendapatkan suara TV, dan tangan dengan sibuk mengusir nyamuk dari tubuh. Latihan indera yang sempurna bukan?
Karena kesulitan menembus kemurahan hati dan lebih suka memberli jajan daripada “menyumbang” orang kaya hanya demi menikmati cekikikan kuntilanak dan ketakutan dari film-film Suzana, maka media murah yang kami gunakan adalah bermain dengan kawan sebaya. Mudah saja mengumpulkan bocah-bocah kurang beruntung tersebut. Cukup berkumpul di tanah lapang dan membuat garis maka permainan dapat segera dimulai. Gobak Sodor!
Jika bocah yang berkumpul melebihi kuota, maka beralihlah permainan menjadi Jambelong dan Benteng. Jambelong cukup membutuhkan satu pohon dimana bocah yang “sial” harus menjaga pohon sekaligus menemukan kawan yang bersembunyi. Bocah penunggu pohon akan kalah jika salah seorang kawannya berhasil tak ditemukannya dan kemudian menyentuh pohon yang dijaganya sambil berteriak keras-keras. Jambelong! Sebuah kenikmatan yang sangat sulit diraih saat menumpang nonton di tetangga – jangankan berteriak, tertawapun harus melihat raut muka sang pemilik dahulu.
Benteng lain lagi, permainan ini membutuhkan dua pohon dan mengharuskan anak-anak dibagi menjadi dua kubu. Tentu saja permainannya sederhana, pemain lawan tidak boleh menyentuh pohon milik regu kita. Sementara kiita berusaha dengan keras menyentuh pohon mereka. Permainan ini dimenangkan oleh kubu yang paling banyak menyentuh pohon kubu lawan. Teriakannyapun berbeda saat menyentuh. Benteng!
Sekarang, setelah puluhan tahun PLN bercokol dan hampir tiap hari listrik yang disuplai mengalami putus nyambung, permainan di atas nyaris takkan ditemukan. Tak ada lagi, musnah, dan kampungan!
Anak-anak setelah mengaji – sebagian besar malah sudah meninggalkannya – akan dengan santainya menyimak tayangan TV. Tak ada lagi bermain bersama, sebab masing-masing rumah sudah punya TV. Anak-anak hanya akan bertemu di sekolah dan tempat mengaji sambil membincangkan tayangan favorit mereka. Jika ingin tahu tayangan dan artis idola mereka, datanglah ke Gehol dan Anda pasti sudah bisa menebaknya. Semua terlihat dari gaya berdandan mereka.
Ada memang tempat berkumpul bocah-bocah Gehol. Pertama tentu saja jalanan, sebab sepeda motor menjadi wajib dimiliki. Kedua tempat penyewaan game, tempat berkumpul yang jauh dari rasa solider sesama kawan. Sebab mereka berkumpul sesungguhnya untuk membuktikan siapa yang terhebat.
Akhirnya, cahaya bulan yang selalu dinanti dahulu kini terabaikan. Bahkan purnama yang selalu ramai teriakan bocah, kehadirannya tak lagi disadari.
mengingatkanku waktu masih kecil saat bulan purnama masih begitu diandalkan di malam hari
ReplyDeletesekarang bulan purnama nggak ngaruh gan ...
ReplyDelete