Ketika Sandiwara Radio Berjaya
Radio |
Radio mungkin adalah satu-satunya
media yang mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Saat televisi dan
internet menggempur, eksistensi radio tetap ada meski penggemarnya mulai
tergerus.
Gehol sebagai sebuah peradaban tentu
saja akrab dengan radio. Apalagi di masa-masa ketika televisi masih menjadi
barang mahal dan hiburan lainnya hanya datang di saat-saat tertentu. Radio
dengan kemampuannya menyajikan hiburan murah mampu mengambil hati warga Gehol
yang minim hiburan.
Masih segar dalam ingatan saat sore hari
sesudah Ashar dan menjelang Maghrib warga Gehol, terutama ibu-ibu, berkumpul di
halaman rumah masing-masing. Mereka berbaris membentuk “kereta api” dengan yang
paling tua berada pada jajaran paling depan. Barisan “kereta api” tersebut adalah
aktivitas membersihkan rambut dari binatang kutu, ketombe, hingga uban.
Tak jauh dari barisan perempuan
yang saling menyiangi rambut adalah benda yang dengan begitu setia memberikan
hiburan lagu dan dongeng selama keluarga tersebut memiliki batu baterai. Radio!
Yang ditunggu dengan sabar oleh
para ibu-ibu dan bapak-bapak serta anak-anaknya sembari sesekali membicarakan
gossip, masa tanam, tips-tips menaklukkan lelaki, hingga masakan apa yang
seharusnya dihidangkan esok pagi, adalah cerita mengenai keagungan masa lalu
yang dibungkus dengan drama. Sandiwara radio. Sederet judul masih terekam di
benakku, Tutur Tinular, Nini Pelet, Saur Sepuh, hingga Babad Tanah Leluhur.
Sederet tokohpun jadi idola
anak-anak kampung Gehol. Lucunya, bukan pengisi suaranya yang telah bersusah
payah menghidupkan karakter tokoh yang dimainkan. Yang jadi idola kami,
anak-anak Gehol tentu saja sang tokoh dalam sandiwara itu sendiri. Kamandanu,
dan Brama Kumbara adalah impian kami. Tak peduli seperti apa pengisi suaranya.
Tentu saja, tokoh-tokoh jahat
adalah sebutan untuk karakter warga desa yang menurut kami cocok dengan tokoh
sandiwara tersebut. Mak Lampir tentu saja untuk perempuan yang marah-marah
sudah mendarah daging dalam perilakunya. Tong Bajil adalah tokoh super jahat
lawan Kamandanu. Jadi jika aku Kamandanu, maka siapapun yang bermain melawanku
adalah Tong Bajil. Tak jarang rebutan tokoh lebih sering berujung perkelahian
daripada saling menurut.
Saking melekatnya sandiwara radio
dalam kehidupan kami, di sekolah, madrasah, dan mesjid, yang kami mainkan
adalah sisilatan. Sisilatan sendiri
adalah istilah kami menyebut adegan perkelahian dalam sandiwara. Arti dari
sisilatan adalah bermain silat pura-pura. Meski pada praktiknya ada juga yang
menangis dan terluka sungguhan. Tapi begitulah anak-anak, menghayati peran
tokoh sandiwara radio adalah kenikmatan tersendiri yang sukar ditandingi.
Maka tak heran jika selama
istirahat sekolah, dan mengaji keluarlah umpatan-umpatan khas tokoh sandiwara.
Tak lupa, jurus-jurus andalanpun dikeluarkan demi mempercepat menaklukkan
musuh. Saipi Angin adalah ilmu yang wajib dimiliki, sebab kalau sudah lelah dan
tak kuasa menahan gempuran kawan bermain, maka berlari adalah tindakan alamiah
paling masuk akal dan paling sering dilakukan.
Hari-hari kami menikmati radio
dengan sandiwaranya perlahan menurun seiring datangnya keajaiban lain dalam
hidup kami. TV.
Kini, sekitar 20-an tahun dari
masa jaya sandiwara radio, bentuk radiopun telah entah berapa kali mengalami
perubahan. Tetap mampu siaran meski dikepung teknologi hiburan aneka rupa.
tidak hany aneka hiburan, eknologi informasi yang kian canggih sekarnang ini..
ReplyDeleteRevolusi Galau
betul gan, hebatnya radio tetep eksis ...
ReplyDelete