Kerajaan Gehol Bulpusan VI
Bale Temonan di Kerajaan Gehol bergetar oleh sorak-sorai
kemenangan. Meski belum ada sesuatu yang sesungguhnya dimenangkan, namun
kegembiraan tetap tak bisa dihentikan. Semua mata berkaca-kaca terharu campur
bahagia. Kesulitan mereka saat ini mengenai kekeringan sawah akibat penguasaan
air oleh tukang teluh akan sedikit terobati.
“Jadi, sudah diputuskan kalau
kita akan membuat waluran dan membuat
lewi. Hal ini sudah sesuai dengan
yang dijelaskan oleh ulu-ulu kita Sun
Geyo.” Demikian Gusti Hening bertitah disambut sorak sorai para peserta temonan.
“Setuju,” ujar para tamu Temonan
yang bisa diikuti siapa saja tanpa memandang kasta dan jabatan tersebut.
“Aku perintahkan kepada para ahli
bangunan dan ahli kayu untuk membuat lewi. Selanjutnya sambungkan bambu-bambu
yang telah dibelak dan dipapas bukunya dan biarkan ia mengisi semua waluran yang ada di sawah dengan air.” titah
Gusti Hening kemudian.
Maka sejak hari itu, hari dimana
Sun Geyo mengungkapkan pemikirannya setelah melihat istrinya mencegah tumpahan
kopi mengalir leluasa ke tanah di ruangan rumahnya. Kini, pemikiran sang ulu-ulu kemudian diterapkan di Cigunung.
Sungai yang kecil dengan alirannya yang terbatas tersebut hendak disulap
Kerajaan Gehol menjadi tempat petani mengairi sawahnya.
Mula-mula pihak kerajaan
menentukan tempat mana yang cocok untuk dijadikan lewi. Setelah itu, tempat
tersebut akan dikeruk sedalam mungkin agar air berkumpul. Setelah lewi terbentuk, maka air yang akan
mengairi sawah melalui waluran akan
dialirkan oleh bambu-bambu yang disambung. Sebelumnya, bambu-bambu tersebut
akan dibelah dan buku-bukunya dipapas.
Seluruh warga Gehol yang sudah
bisa bekerja tanpa kecuali diperintahkan ikut membangun lewi. Sun Geyo yang memiliki ide tersebut ditunjuk kepala
pembangunan oleh kerajaan. Dia bertanggung jawab terhadap kelangsungan proyek
yang baru pertama kali ada di kerajaan tersebut.
Sun Geyo kemudian membagi semua penduduk
menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok ia tugaskan sehari penuh untuk bertugas.
Ia sendiri membagi semua penduduk ke dalam tujuh kelompok dimana satu kelompok
berjumlah dua kali sepuluh orang. Artinya, setiap dua kali sepuluh orang
kebagian tugas di proyek tersebut seminggu sekali. Tentu saja Sun Geyo yang
tidak pernah berhenti bekerja. Ia sendiri didampingi dua ahli bangunan dan dua
ahli kayu terbaik di kerajaan Gehol.
***
Melihat hiruk-pikuk di negeri
Gehol tentu saja Ratu Balakasura tergerak rasa ingin tahunya. Keheranan
menyelimuti benaknya demi mendengar pekik bahagia dari Kerajaan Gehol. Meski
berjarak lumayan jauh, namun telinganya yang awas dan berselubung sihir mampu
mendengar meski dari jarak ribuan kali panah mampu lepas dari busur sekalipun.
“Ada apa dengan mereka. Apakah
mereka sudah kehilangan akal hingga bersorak-sorai menjelang ajal?” sungutnya.
“Aku akan mengintip apa yang
terjadi di negeri keparat itu,” geramnya kemudian.
Maka perempuan yang telah ahli
dalam segala jenis teluh itupun menyiapkan alat utuk dapat mengintip keadaan.
Ia mengeluarkan mangkuk sakti yang dibuat dari tengkorak bayi. Tengkorak
tersebut ia dapatkan dari negeri seberang saat bersekutu dengan lelaki yang
hendak cepat menjadi kaya. Bayi adalah syarat utama yang ia minta guna memenuhi
keinginan si lelaki tersebut.
Kemudia ia mengisi tengkorak
tersebut dengan air Ci Hirup. Tak lupa darah kadal hijau bermata picak ia
campurkan bersama dengan bunga kenanga yang hanya mekar di malam Jumat Kliwon.
Setelah mencampurnya, perempuan itu lalu duduk bersila memejamkan mata dan
berkomat-kamit.
“Long lolong lolong pilong, noong kana panoongan. Ningali kana
kajauhan, menta rupa jiwa lan sagalana,” rapalnya dengan bahasa yang hanya
dimengerti oleh kaum berilmu hitam.
Seketika air ramuan dalam
tengkorak bayi kemudian bergejolak dan mengeluarkan asap tipis. Samar-samar
wajah-wajah semangat mereka yang membangun lewi
kemudian terlihat silih berganti. Lalu wajah Sun Geyo yang pernah
mendatanginya memenuhi permukaan air dalam tengkorak. Wajah itulah yang
kemudian membuat rasa marahnya bangkit dan membuat air dalam tengkorak muncrat
kemana-mana.
Lalu semua gambaran menghilang
dan sunyi kembali menyelimuti. Ratu Balakasura berusaha sekuat tenaga meredam
marahnya. Namun, tak urung ia menyemburkan kata-kata makian tak tentu arah.
(bersambung)
0 comments: