Kerajaan Gehol Bulpusan III
Pening dan tak bisa tidur
menggelayuti jiwa dan raga Sun Geyo. Kemolekan tubuh Sundarsi yang beru
beberapa pecan menjadi istrinya tak mampu menurunkan derajat galau dalam
otaknya. Semua tentang air dan kekacauan yang dibuat Ratu Balakasura masih
menjadi teman pikirannya selama ini. Sudah bermacam cara ia tuangkan, namun tak
satupun nyata mampu mengatasi masalah kekurangan air yang dihadapi warga Gehol.
“Entah apa yang harus dibuat
dengan air di Gehol. Semua air Ci Hirup sudah dikuasai perempuan sakti nan
galak. Sumurpun sudah ada, tapi tetap saja sawah dan lading tak mampu terairi,”
batinnya.
Sementara Sun Geyo larut dalam
lamunan dan angannya mampu mengumpulkan air bagi Gehol, udara sekitar terasa
menggelayut memanjakan warga. Di kejauhan, rombongan kikica berarak menyajikan
pemandangan yang menyejukkan mata. Makhluk kuno yang di malam hari bercaya ini
seolah sedang meresapi kesulitan yang memayungi Negeri Gehol.
Tak lama berselang setelah para
makhluk keturunan peri tersebut berlalu, samar-samar suara lolongan hewan-hewan
kejam berkumandang memenuhi udara. Jika saja Sun Geyo tak larut dalam lamunan,
mungkin suara tersebut mampu membuat bulu kuduknya bangkit menantang angin.
“Makanlah dulu suami,” ujar
Sundarsi lembut, selembut belaian angin menerbangkan sutra.
“Kau duluan saja Nyai,” ujar Sun
Geyo tak kalah lembut.
Sundari kemudian berlalu dan
membuatkan wedang hitam manis kesukaan Sun Geyo. Wedang yang terbuat dari biji
kopi ditumbuk ini kemudian ia sajikan kepada suaminya tercinta. Sang ulu-ulu Kerajaan Gehol yang sedang galau gulana.
“Minumlah kalau begitu,” ujar
Sundarsi setelah kembali dari pawon.
“Terima kasih,” jawab Sun Geyo
tanpa menoleh.
Sundarsi meletakkan minuman
kesukaan suaminya dan berlalu ke kamar tidur. Meski dia rindu belaian sang
pujaan hati, namun wanita solehah ini mengerti bahwa ada waktunya ia membiarkan
sang suami tenggelam meresapi keseulitan.
“Aduh,” teriak Sun Geyo tatkala
menyentuh minuman hitam manis yang masih panas.
Minuman yang baru saja disuguhkan
tersebut pun akhirnya tumpah dan memenugi bale-bale tempatnya merenung. Demi
mendengar teriakan Sun Geyo, Sundarsi berlari dengan tergopoh dan mendapati
suaminya sedang meniup-niup tangannya yang sedikit memerah terkena panas air
wedang.
Tanpa dikomando, Sundarsi segera
saja mengambil kain dan membentuk kain tersebut seperti tembok demi mencegah
air wedang memnyebar tak karuan. Air tumpahan kemudian ia dorong agar tepat
mengumpul persis di sisi kain yang telah ia bentuk. Kelakuan istrinya tentu
saja tak luput dari pandangan penasaran sang ulu-ulu. Sebuah binary mata
terkejut sekaligus menggembirakan terpancar. Ia telah menemukan rancangan yang
lebih masuk akal. Justru dari tindakan sederhana sang istri.
Saking gembiranya, ia langsung
merangkul istrinya dan membopongnya ke dalam kamar. Sang istri yang memang
sudah merindukan sentuhan Su Geyo dengan tawa manja merangkulkan diri. Selanjutnya,
hanya malam dan udaranya yang menjadi saksi. Meningkahi pergumulan cinta dua
makhluk yang sedang bergembira.
Sesudah itu hening. Esok hari,
kerajaan Gehol akan menyambut Sun geyo bak pahlawan. Sesuatu telah teratasi,
meski untuk sementara.
(bersambung)
0 comments: