Belulang di Mungkal Tumpang (2)
Dengan Langlayangan kesayangannya, Sarju mengarungi angkasa Geholsraya. Semenjak beberapa tahun terakhir, ia rajin menengok dunia luar. Ia yang memimpin Kaum Margol yang percaya diri sebagai titisan dewa menganggap dunia manusia menakjubkan.
Sebagian besar Kaum Margol hanya keluar sejauh Mungkal Tumpang, sebuah batu bertumpuk yang menjadi area perbatasan yang dibuat kaum Margol. Batu sebesar sepuluh kali gajah dengan tinggi sepuluh kali jerapah tersebut adalah area paling jauh di hutan Tumaregol yang disambangi manusia.
Bagi Kaum Margol, menghuni gua-gua yang dibuat dengan cita rasa seni tinggi ala mereka adalah kenikmatan sekaligus kemewahan abadi dari para dewa. Mereka tidak membangun satupun banguna tinggi. Kaum Margol membangun pemukiman mereka menghunjam bumi. Mereka percaya bahwa para dewa bersemayam di dalam inti bumi. Itulah sebabnya, semakin dalam rumah mereka, semakin berkelas di mata Kaum Margol.
Sarju yang memiliki rumah paling dalam di antara penduduk Tumaregol. Demi mendapatkan rumah indah menghunjam ke pusat bumi, ia menyewa kaum Lembut dari hutan Maribaya. Sebuah hutan ghaib yang hanya bisa ditembus oleh makhluk-makhluk yang diijinkan penguasa Maribaya. Kaum Lembut sendiri adalah para pekerja keras yang hidup dibawah tanah. Mereka menyusur gunung, dan bukit, untuk kemudian menghiasi galian-galian yang mereka buat. Keindahan hasil karya kaum Lembut hanya bisa dibayangkan makhluk biasa.
Beruntung Sarju adalah Raja Margol dari Tumaregol sehingga bisa menikmatinya. Ia bersahabat karib dengan Raja Lembut dari Maribaya, Lam Gali. Lam Gali bahkan rela mempersembahkan anaknya, Syum Sali. Di negeri Maribaya, setiap laki-laki diakhiri dengan kata Gali dan perempuan diakhiri dengan Sali.
"Sungguh indah dan unik negeri Jatianom," Sarju membatin sambil mengendarai Langlayangan miliknya yang ia beri nama Nabayu.
Sarju kemudian menukikkan Nabayu menuju sebuah rumah sederhana di bagian timur Geholsraya. Rumah itu adalah rumah Jatianom yang sudah sejak dua tahun belakangan dijadikan Sarju sebagai kawan. Sarju menjumpai Jatinom saat pemuda tersebut beristrirahat di Mungkal Tumpang, usai mencari kayu di Tumaregol.
Sarju menilai Jatianom memiliki kejujuran, keberanian, dan pengetahuan yang cukup sehingga ia tertarik berkawan dengan pemuda tersebut. Ia yang Raja Margol terpaksa "mengkhianati" keyakinan leluhurnya bahwa berteman dengan kaum di luar Kaum Margol akan mendatangkan malapetaka. Sesuatu yang dikemudian hari bisa jadi benar adanya.
Nabayu menguik menirukan suara Tonggeret untuk memberikan kode agar Jatianom keluar menemui junjungannya. Langlayangan kesayangan raja Kaum Margol itu kemudian mencari tempat rindang untuk menyamarkan kedatangannya ke dunia fana. Meski itu adalah malam hari dan bahkan di siang haripun Kaum Margol susah ditangkap mata telanjang namun tidak menyurutkan Nabayu untuk berhati-hati. Hati-hati agar tidak terlihat makhluk lain adalah pegangan utama Kaum Margol.
Taklama kemudian Jatianom keluar dari rumahnya menuju ke samping kiri di mana pohon Kosambi berdiri. Ia yang memasang kayu untuk duduk di bawah pohon tersebut langsung meletakkan pantatnya di kayu yang melintang sebesar paha gajah tersebut. Bagai siuran angin, selalu begitu tanda kehadiran Sarju, seketika teman duduk Jatianom menunjukkan diri.
"Selamat matahari tenggelam Jatianom," ujar Sarju sambil tersenyum menunjukkan barisan gigi rapi dan runcing khas Kaum Margol.
"Malam, Sarju," ujar Jatianom sambil menjabat tangan kekar dan dua kali lipat besarnya dari tangannya sendiri.
(bersambung)
0 comments: