Kerajaan Gehol Bulpusan VII
Awan gelap memayungi langit
Gehol. Sudah beberapa hari kejadian ini tanpa tahu apa yang akan terjadi
selanjutnya. Hujan yang diharapkan turun ternyata tak juga menyambangi bumi.
Namun demikian, awan hitam ini terus bergulung dan kian gelap. Terkadang petir
ikut juga memeriahkan keadaan yang mencekam tersebut.
“Tak pernah ada yang seperti ini
sebelumnya. Langit tak pernah seaneh ini, setidaknya selama aku berkuasa,”
batin Gusti Hening.
Ia kembali menatap gumpalan awan
hitam yang menyerupai lingkaran mahabesar di langit Gehol. Lingkaran yang
berbentuk piringan raksasa tersebut menyisakan lubang di tengahnya. Ketebalan
awan gelap tersebut entah setebal apa yang jelas bahkan sinar mentari sejak
pagi seolah tak berkutik.
“Sepertinya hari ini akan malam
selalu Kanda,” ujar Permaisuri Camperenik.
“Betul istriku. Baru kali ini aku
menyaksikan perilaku nan aneh dari alam. Baru kali ini,” ujar Gusti Hening
menegaskan kalimatnya dalam nada kekhawatiran yang dalam.
Keangkeran suasana yang disajikan
alam membuat kedua penguasa Gehol terantuk dalam diam. Pikiran mereka
berkecamuk dengan aneka kekhawatiran menyelimuti. Melihat pusaran awan hitam
yang menaungi kawasan mereka, pasti akan membuat suasana hati siapapun yang
melihatnya akan terjerembab dalam kemurungan.
“Mungkinkah kiamat akan tiba,”
batin Permaisuri Camperenik.
Pikiran liarnya kembali
menerawang pada dongeng-dongeng tentang kiamat yang disenandungkan pengasuhnya
menjelang ia terlena. Awan disertai hujan yang bergulung-gulung, petir
menyambar, berujung banjir bandang yang menyapu semua yang ada. Keringat dingin
perlahan mengembang didahinya. Tanpa sadar, permaisuri yang cantik ini kemudian
beringsut mendekatkan diri pada suaminya. Demi mendapatkan kenyamanan.
Jauh dari sana, Ratu Balakasura
sedang hikmad dalam memanjatkan doa-doa hitam nan gelap di depan pendupaannya.
Semua perlengkapannya sebagai seorang tukang teluh telah ia susun sedemikian
lengkap sehingga doanya kian mudah diijabah para dewa. Doanya hanya satu,
membatalkan pembangunan lewi oleh rakyat Gehol.
“Byur gedebyar gedebyur niat ingsun hidengkeun langit, rubuhkeun
pagawean,” rapalnya berulang kali.
Asap pendupaan tak henti-henti
mengepul dari pendupaan. Tak henti pula nenek dengan segudang kesaktian ini
melemparkan kemenyan dalam pendupaan. Ruangan yang angker tersebut terasa kian
gelap dan menakutkan.
Ritual memberikan bencana kepada
kerajaan masih terus ia lakukan. Selain ia ingin menghadirkan cuaca dan suasana
yang menakutkan, ia menghendaki agar warga Gehol benar-benar tidak bisa membangun
lewi di kali Cigunung. Baginya yang terpenting adalah menggagalkan upaya warga
Gehol yang menentangnya.
Sementara itu, warga yang sedang
mengerjakan pembuatan lewi tetap semangat dengan pekerjaan mereka. Meski
sesekali mereka berbisik mengenai keadaan langit, namun tangan dan kaki mereka
tetap teguh bekerja.
“Jangan pedulikan langit atau
apapun yang menakutkan kalian,” teriak Sun Geyo.
“Ingat, kehidupan kita dan
keluarga lebih penting daripada sihir yang ditunjukkan oleh Ratu Balakasura,”
teriaknya lebih lantang dari bunyi petir.
Mendengar kata-kata Sun Geyo, masyarakat yang sedang bekerja kian
giat. Mereka bekerja seolah hari itu adalah hari terakhir lewi akan bisa
menngairi sawah mereka. Benak mereka membenarkan dengan membabi-buta kata-kata
yang terlontar dari Sun Geyo.
“Apa yang menakutkan kalian
sekarang? Bukankah kelaparan di depan mata akan lebih menakutkan daripada
kematian yang segera tiba. Lagi pula kematian bukan ditangan nenek-nenek
berhati jahat. Kematian hanya milik para dewa wahai rakyat Gehol,” Sun Geyo
berteriak dengan semangat bercampur amarah.
Ya kini, amarahnya ia salurkan
untuk membakar semangat mereka yang sedang menggali dan membendung aliran air
Cigunung yang kini sudah makin banyak berkumpul di lubang yang mereka buat.
(bersambung)
0 comments: