Kerajaan Gehol Bulpusan VIII
“Lepaskan aku Kakang Gajah, aku
tetap setia kepada Gehol,” teriak Suyud Ana yang telah diikat oleh Gajah. “Aku
mengaku bersalah dan bersumpah tak akan mengkhianati negaraku lagi,” tambahnya
memelas.
Gajah tetap melajukan kuda Ki
Patih yang dirampas bersama pemiliknya tanpa memedulikan ocehan tawanannya. Ia
yang telah berhasil memukul mundur para begal dan dua pengawal Patih Suyud Ana
kini akan membawa patih yang berniat curang tersebut untuk diadili.
Namun sepertinya niat tersebut
harus ia tunda. Cuaca aneh yang menyelimuti Gehol membuatnya resah bukan
kepalang. Bau kejahatan dan teluh seolah menyebar melalui udara. Teror yang
membuat bulu kuduk berdiri tak urung membuat Pantun ekstrawaspada.
“Ilmu apa yang dipakai Ratu
Balakasura?” batin Gajah sembari mempercepat langkah kudanga menuju istana.
Sementara itu, kaum muda yang
menamakan diri Gehol Manunggal merasakan keresahan yang tak terkira. Jiwa-jiwa
muda yang sedang menuju kematangan tersebut entah kenapa begitu mudah
terpancing emosi. Kekacauan negeri dan cuaca yang membuat perasaan takut
berkembang menjadi kegelisahan dan amarah.
“Kembalikan ketenangan kami,”
demikian pekik mereka setelah berkumpul di depan istana.
Entah siapa yang memulai dan
menyuruh, kaum muda tersebut seolah tersengat tawon amarah. Mereka bergerombol
menuju istana demi menyuarakan dan melampiaskan amarah. Kepastian yang mereka
nanti pascapembangunan lewi dimulai kini menguap seiring kacaunya cuaca.
Ketakutan menihilkan sabar dan semangat ikut membangun.
“Kalian harus tenang, salurkanlah
amarah kalian jadi lewi,” demikian teriak Gusti Hening kepada kerumunan.
“Sampai kapan Gusti? Sampai
kapan?” teriak kerumunan berbarengan disambut petir dan guruh yang memekakkan
telinga.
“Minggir-minggir! Minggir kalian
semua jika tak ingin terinjak kudaku!” sebuah suara datang diiringi derap kuda
yang melaju bak panah.
Kerumunan para muda Gehol
menyibak memberikan jalan. Gusti Hening yang semula waspada melihat penunggang
kuda menerobos kerumunan kemudian tersenyum dengan gembira. Namun, melihat
patihnya diikat demikian rupa tak urung sikap heran sekaligus waspadanya
kembali memuncak.
“Kakang Gajah?” sapa Gusti Hening
dengan gembira. “Kenapa Suyud Ana kau ikat?” tanyanya menyambung sapaannya.
“Masalah Ki Patih akan
kuceritakan singkat saja Gusti. Ia bersekongkol dengan begal kawasan Babakan
untuk merebut kekuasaanmu. Harapan dia adalah, kau, aku, dan Balakasura lampus
dalam pertempuran. Dia dengan tenang akan menduduki dampar istana ini Gusti,”
ujar Gajah menjelaskan.
“Benarkah demikian Suyud Ana?”
tanya Gusti Hening dengan keheranan memuncak.
“Tentu saja itu bohong Gusti,”
teriak Suyud Ana memelas.
“Gusti Hening, kita kesampingkan
dulu masalah pengkhianatan Ki Patih ini. Ada teluh yang harus kita bereskan
segera. Jika tidak, teluh jahat ini akan merasuki semua warga Gehol. Lihat
kerumunan kaum muda tersebut. Aku menduga, sihir ini bertujuan membuat
goro-goro di negeri ini.” ujar Gajah.
Sementara Gajah dan Gusti Hening
berdiskusi, kaum muda yang berkerumun memenuhi benak mereka dengan sejuta
pertanyaan. Mereka heran kenapa Patih Suyud diikat oleh orang yang dicari
kerajaan untuk membantu mengatasi masalah. Tak urung, bisik-bisik adanya maker berkeliaran
dalam benak mereka.
“Telah terjadi makar!” ujar
seseorang di sudut kerumunan.
“Siapa yang makar, itulah yang
susah diketahui,” timpal yang lain.
“Pantas saja cuaca kali ini
begitu menyebalkan,” teriak yang lain.
“Jangan-jangan ini ulah perempuan
sihir yang meracuni akal salah satu petinggi kerajaan,” sambut lainnya.
Keadaan menjadi kian riuh dengan
sahut-menyahut pertanyaan. Setiap tanya dilontarkan, namun hanya perkiraan yang
hadir ke permukaan. Tentu saja adu pendapat membuat suasana kian panas. Awalnya
hanya terjadi perang kata. Namun segera berubah menjadi adu cela. Kian panas
karena masing-masing bertahan dengan pendapatnya. Setiap pendapat dan orang
didukung teman terdekat. Jika dibiarkan, kerumunan itu bisa saja berubah jadi
ajang tawuran.
(bersambung)
0 comments: