A(k)utisme Pemimpin Parpol

3:47:00 PM Gehol Gaul 0 Comments

“Barang siapa yang dapat menahan kemarahannya yang telah memuncak seperti menahan kereta yang sedang melaju, ia patut disebut sais sejati.
Sedangkan sais lainnya hanya sebagai pemegang kendali belaka.”
Sang Budha (Dhammapada Atthakatha)



Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, autisme adalah gangguan perkembangan pada anak yang berakibat tidak dapat berkomunikasi dan tidak dapat mengekspresikan perasaan dan keinginannya sehingga perilaku hubungan dengan orang lain terganggu. Asumsi banyak orang, gejala ini mengakibatkan penderitanya hanya sibuk dengan dunianya sendiri. Segala sesuatu dipandang dari sudutnya.

Apa yang terjadi jika sais alias pemimpin, terutama pemimpin parpol, memandang suatu masalah dari sudutnya tanpa bisa menempatkan dirinya di posisi  yang seharusnya (lawannya), maka yang terjadi adalah misekspresi. Kesalahan ekspresi sekaligus menunjukkan bahwa dia tidak menguasai masalah dan tidak memiliki solusi yang tepat terhadap permasalahan yang dihadapi.

Elit Politik

Demi menahan laju popularitas Barack Obama, John McKein menyebutnya sebagai elitis. Elit yang diasosiasikan sebagai kalangan yang tidak terjangkau diharapkan dapat membuat Obama berjarak dengan akar rumput. Meski jurus tersebut mental, tak urung kesan elitis membuat kubu Obama sempat kelimpungan.

Di negeri ini, kata elit selalu dilekatkan kepada para pemimpin. Bahkan pemimpin partai politik yang membutuhkan jasa rakyat. Tiadanya tabu dalam pemakaian istilah ini menunjukkan secara langsung bahwa para pemimpin kita sejak awal mengambil jarak dengan rakyat. Jarak ini hanya kian berkembang terutama ketika rakyat mengalami kesulitan.

Secara kasat mata para pemimpin mendekat. Namun, jika dilihat lebih seksama kedekatan mereka sebenarnya untuk menunjukkan betapa elitnya mereka jika berdekatan dengan rakyat. Para pemimpin akan bertindak bak super hero yang mampu mengatasi keadaan sekaligus menghilangkan kesulitan rakyat. Rakyat seolah duafa yang mesti dan harus menunggu uluran tangan mereka untuk dapat bebas dari kesulitan. Rakyat adalah super zero.

Padahal dengan status elitnya tersebut, para pemimpin parpol hampir bisa dipastikan tidak benar-benar menguasai permasalahan yang dihadapi rakyat. Ekspresi dan interpretasi mereka akan masalah adalah salah satu indikasi bahwa apa yang mereka tawarkan jauh panggang dari api. Partai politik yang menjadi mesin kekuasaan mereka pun, hanya mahir dalam memodifikasi kata untuk mendeskripsikan betapa program mereka sesuai.

Kesalahan Ekpresi dan Intrepertasi  Masalah

Pada awal masa kampanye, iklan-iklan parpol hampir menyamai iklan rokok dalam berkampanye. Kutipan kata-kata bertuah hingga profil-profil menyentuh nurani ditampilkan. Logika kita dituntun untuk meyakini kebenaran platform partainya. Seiring dengan perjalanan masa kampanye, iklan partai politik seperti kehilanga kretivitas, sama monotonnya dengan kampanya terbuka. Kini, iklan partai tidak lebih dari suguhan tarian dan slogan belaka.

Para pemimpin politik pun kerap kali terlalu bersemangat mengekspresikan gagasannya. Marah misalnya, telah menjadi ekspresi tak terkendali yang melekat pada pemimpin politik. Panasnya suasana dan tekanan yang kiat berat membuat interpretasi mereka terhadap masalah berujung pada ekspresi yang melukai pemilik masalah. Makian yang tidak sepantasnya dialamatkan kepada rakyat.

Melihat ekspresi yang tidak mendidik tersebut, dapat disimpulkan sejauh mana kepekaan pemimpin parpol terhadap rakyat pemilik masalah dan masalah itu sendiri. Dengan mengambil pandangannya sendiri kemudian diterapkan kepada rakyat, maka marah adalah satu-satunya yang bisa dilakukan. Sang pemimpin parpol tidak atau enggan memahami bahwa satu bagi dia tidak sama nilainya bagi rakyat. Ketidaktahuan perbedaan nilai ini semakin menunjukkan kesan elitis para pemimpin parpol. Sayangnya dengan klaim sebagai pewaris negeri sebab leluhurnya berjasa, semakin menunjukkan bahwa ia adalah bukan solusi tepat. Anehnya gaung rayuan ini lebih besar daripada program yang ditawarkan.

Kritik nan Dangkal

Kemarahan dan ketidakmampuan menentukan perbedaan nilai dalam masyarakat kian menunjukkan bahwa secara konsep para pemimpin parpol tidak lebih tahu dari rakyatnya. Kemarahan ini juga dilakukan melalui kritik membabi buta atas kinerja pemerintah. Sayangnya kritik masih dalam tataran praktis belum menyentuh akar masalah yang sebenarnya. Akhirnya solusi yang ditaarkanpun hanya delusi yang berpusat pada terminologi yang ia bangun.

Solusi pribadi ini dibungkus dengan klaim dan janji-janji yang jika ditanyakan konsepnya masih berupa garis-garis putus-putus. Janji yang ditawarkan tidak sesuai dengan keadaan rakyat yang sebenarnya. Solusinya bersifat ego, dimana sasarannya adalah memenangkan simpati rakyat, bukan memperbaiki nasib rakyat. Maka bertebaranlah hal-hal yang dibutuhkan rakyat untuk sejenak menghindar dari sesaknya masalah. Kampanye pun hanya menjadi sebuah hiburan bagi masyarakat, bukan sarana mendidik.

Keakuan dalam melihat sebuah negeri merupakan tanda-tanda pemimpin parpol mengalami gangguan dalam berkomunikasi dengan rakyat. Karena tidak bisa menyasar apa dan siapa sebenarnya rakyat, maka alat yang digunakan untuk komunikasi pun menggunakan alat yang bersifat universal. Musik, pawai, dan pengumpulan massa adalah komunikasi purba dalam peradaban masyarakat. Keampuhan musik, terutama, dalam menyampaikan pesan memang telah diakui keberhasilannya.
Akan tetapi, dalam lingkup menawarkan solusi bagi perbaikan nasib rakyat, hal tersebut justru membuat para pemimpin parpol kehilangan fokus. Fokus mereka dalam menawarkan program demi rakyat yang lebih baik adalah buaian semata. Sama membuainya musik bagi pendengarnya.

Sekali lagi rakyat dianggap membutuhkan bukan dibutuhkan. Segala sesuatu mulai dari solusi dan cara penyampaian solusi adalah wewenang pemimpin parpol. Para pemimpin parpol adalah kaum elit yang memandang segala sesuatu dari “aku”nya.

Karena ini gejala nasional, maka jangan heran jika menemukannya di Gehol. Elit merasa harus dilibatkan, bukan demi meringankan derita rakyat akan tetapi lebih kepada untuk menaikkan gengsi. Ironis!

0 comments: