Malaikatpun Tahu, Emakku Juaranya!
Potret Para Ibu di Gehol |
Jika tak ada emak, tak mungkin pula aku lahir. Dan jika tak lahir, bagaimana mungkin bisa memujinya. Aku lahir untuk memuji emakku, yang memang pantas dipuji lebih dari sekedar tulisan, ucapan, bahkan uang.
Emakku, sangat bisaa layaknya perempuan yang lahir, hidup, berkembang dan di pedesaan. Kuat secara fisik, bermental tangguh dan berkeinginan sekedarnya. Dalam keadaan apapun, yang ada dipikiran emakku adalah suami dan anak-anaknya. Dia bersedia tidak makan demi menunggu suami datang dari sawah. Jika makanan hanya cukup untuk seorang, maka ia akan menemani ayahku makan – hanya menemani. Saat ditanya sudahkah ia makan, maka sambil menahan lapar dia akan menjawab dengan semangat, “Ya.”
Masalah ekonomi yang pas-pasan cenderung kurang tidak menyurutkan pikiran dan usahanya demi masa depan anak-anaknya. Dia terlampau sering berpuasa, bukan karena sekedar memenuhi tuntunan, namun lebih kepada demi terpenuhinya kebutuhan keluarga yang lain. Ia adalah figur ironi abadi dalam sejarah hidup kami, menyiapkan dan memasak makanan namun ia sendiri cukup menikmatinya dengan nasi kepal.
Jika merunut masa kecil, maka kebahagiaan yang diraih bersama emak tidaklah karena kami bisa menikmati hidup dengan segala perangkat yang mempermudah hidup. Kami menikmati kebahagiaan masa kecil bersama emak justru karena ia dan kami tidak terpisah oleh perangkat-perangkat modern. Selama dua puluh empat jam, segala kegiatan kami nyaris selalu bersama – kecuali kami sekolah atau bekerja.
Emak dengan mengerahkan segala yang ia bisa, mengayuh kehidupan kami agar bisa lebih baik kala mentari esok menyapa. Ia adalah yang pertama kali bangun – lebih awal daripada muadzin mushola di samping rumahku. Ia pulalah yang terakhir pergi tidur setelah terlebih dahulu memastikan semua anaknya pulas dan memastikan bahwa suaminya yang terkadang berkeliling kampung meronda saat pulang tidak kelaparan. Ia akan dengan sukarela menyediakan sekedar teh hangat atau kopi sesaat setelah ayah pulang. Saat menikmati jeda antara pulasnya kami anaknya dengan kepulangan ayah, ia dengan sabar menyiapkan keperluan kami esok pagi.
Jika menghitung seberapa ia lelah, maka kami anaknya takkan pernah tahu. Baru sekarang setelah kami dewasa dan bisa mengaitkan hubungan antara kerut kulit dan usia maka kami sadar berapa lelah ia mengurus kami. Tapi percayalah, yang ia tunjukkan di wajahnya senyum belaka. Segala perih akan kenakalan kami semua tak terlihat di wajah. Ia akan dengan segera mengelus kepala kami dan merapalkan doa agar kami kelak berguna.
Sayangnya, hingga kini kami belum dan takkan mampu membalas setiap kerut yang menggabarkan lelahnya ia di masa lalu. Senyumnya adalah pertanda segala budi yang ia tanam tulus belaka. Senyumnya adalah jaminan bahwa restunya menyertai langkah kami. Cukup hanya senyum, tak pernah ia meminta apapun.
Jika ada lomba keihklasan antar planet, mungkin emak adalah juaranya. Sayangnya yang mesti menilai seberapa ikhlas ia merawat dan mendoakan kami takkan memenuhi kualifikasi. Hanya malaikat dan Tuhan yang mampu mengukur seberapa dalam ikhlas emak. Ia telah berhasil mengandung, melahirkan, menyusui, merawat tujuh anaknya hingga kini sebagian besar dari anak-anaknya telah berkeluarga.
Terima kasih, Ibu.
0 comments: