Tak ada Libur di Gehol

3:42:00 PM Gehol Gaul 0 Comments

Tempat Bekerja Warga Gehol

Sebuah studi dari University of Pittsburgh Mind-Body Center menemukan bahwa mereka yang menikmati waktu liburan, melaporkan kepuasan hidup lebih banyak dan pola pikir lebih positif dan mampu menurunkan kasus depresi klinis. Tapi, warga Gehol yang kesehariannya dalah bekerja, penemuan di atas layak diabaikan sama sekali. Di Gehol bekerja adalah hidup mereka.

Jadi jangan harap ada hiruk-pikuk perayaan sebuah hari – apapun itu. Pergantian waktu di Gehol diasosiasikan dengan masa cocok tanam dan panen belaka. Tak percaya? Tanyalah kepada mereka tanggal dan hari apa saat ini, dijamin jawabannya tak akan didapat dengan segera. Perlu mengunyah waktu yang lumayan lama untuk mendapatkan jawaban yang tepat.
Layaknya petani, warga Gehol sehari-hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun menyelami kehidupan mereka dengan bekerja, beribadah dan bekerja. Tak ada yang menghentikan mereka untuk pergi bekerja kecuali sakit, malas, atau tak punya sawah dan kebun. Bahkan golongan terakhirpun akan sulit ditemukan, sebab mereka biasanya dengan sukarela menggarap sawah orang demi mendapatkan sepersekian hasil panen.

Di Gehol ada sistem maro yang artinya membagi. Pekerja yang tidak memiliki sawah seperti keluargaku akan menggarap sawah milik orang lain dengan menyerahkan 60-70% hasilnya kepada pemilik sawah. Sisanya dalah milik kami sebagai balasan semusim penuh bergelut dengan lumpur dan memerangi hama.

Jika tak dapat kesempatan menggarap sawah orang lain, maka ada sistem yang dinamakan ngabedug. Sistem ini berasal dari kata bedug yang disamakan dengan waktu dzuhur. Artinya pekerja akan bekerja dengan hitungan setengah hari alias sampai dzuhur tiba. Bayarannya tentu saja uang. Uniknya, karena kita pernah ngabedug di sawah tersebut, maka otomatis saat panen kitalah yang diprioritaskan ikut memanen.

Sistem memanenpun sama yaitu maro. Bagian dari hasil panennya biasanya berkisar antara sepersepuluh sampai seperdelapan hasil pekerjaan sang pekerja. Misalnya sang pekerja berhasil memanen sebanyak 20 karung, maka bagiannya adalah 2 – 2,5 karung. Hasil tersebut untuk panen padi. Pembagiannyapun bisa kurang atau bisa lebih tergantung kebaikan hati sang pemilik sawah. Namun, sejelek apapun pemilik sawah, pembagiannya tidak akan jauh dari kesepakatan umum di Gehol.

Melihat betapa susah kehidupan kebanyakan warga Gehol, maka kata libur atau berlibur hanya cocok disematkan untuk pelajar. Libur bagi pelajar berarti mereka (para pelajar) hanya libur belajar dan berhenti pergi ke sekolah, sedangkan untuk bekerja justru bebannya semakin banyak. Jadi, pelajar di Geholpun pada dasarnya tidak mendapatkan liburan sebagaimana disyaratkan berbagai studi dan liburan dalam benak masyarakat umumnya. Libur sekolah sama dengan bekerja!

Seingatku, hari yang benar-benar membebaskan warga Gehol dari pergi bekerja hanya Hari Raya Idul Fitri. Namun, karena hari raya ini berjalan memutar alias kadang terjadi saat musim kemarau dan kadang di musim penghujan, maka praktis kewajiban bekerja terkadang juga tetap harus dilakukan. Maklum, telat saja mengurus tanaman taruhannya badalah kelangsungan hidup sekeluarga. Oleh karena itu, tak jarang Lebaranpun hanya berlangsung setengah hari, di sore hari kembali sebagian warga akan pergi ke sawah masing-masing demi memastikan tanamannya baik-baik saja.

Ada lagi hari kebesaran yang wajib diramaikan warga. Hari itu adalah Hari Kemerdekaan RI setiap tanggal 17 Agustus. Setiap warga wajib ikut upacara dan mengadakan karnaval keliling kampung di hari kemerdekaan. Praktis, semua warga hadir demi membuktikan rasa cintanya kepada republic. Hanya saja, kebiasaan ini hanya diwajibkan di masa Orde Baru dahulu. Kini, perayaan kemerdekaan RI kian sepi dan minim partisipasi warga.

Jika anggapan umum mengatakan bahwa tidak berlibur alias bekerja terus-menerus akan menyebabkan stress, maka hal tersebut tak berlaku bagi warga Gehol. Warga Gehol mencintai pekerjaan mereka, mencintai lumpur, tanaman, dan musim mereka. Mereka mencintai dengan amat sangat kehidupan mereka. Jika cinta sudah begitu dekat dengan kita, masihkah kita butuh liburan?  


0 comments: