Sisa Kebaikan Soeharto di Gehol
Jembatan hasil AMD di Gehol yang roboh (suaramerdeka.com) |
Sampai tahun 90-an, lalu-lintas yang bisa dilalui dengan mobil dan motor dari dan menuju Gehol sangat terbatas. Praktis, Gehol adalah perhentian terakhir yang mampu dilalui mobil. Motor dapat melalui desa sebelah utara Gehol alias Jetak (kawasan utara Gehol adalah kawasan yang dipenuhi hutan, bukit, sawah dan beberapa kampung) dengan terlebih dahulu mengikatkan rantai di roda dan menanamkan segenap semangat di penegemudi dan penumpangnya.
Masa-masa itu, ke pasar Bangbayang yang hadir empat hari sekali terasa penuh perjuangan. Banyak dari warga yang memilih berjalan kaki demi menghemat biaya. Selain itu, kondisi jalan yang berbatu dan penuh lumpur saat hujan tiba adalah santapan wajib.
Perubahan akan lalu-lintas yang mengubah mobilitas warga Gehol dan warga kampung yang ada di utara Gehol terjadi saat ada program AMD. AMD, yang berarti ABRI Masuk Desa, di Gehol difokuskan membuat jalan setapak yang menghubungkan Gehol dengan kampung-kampung dan desa di kawasan sebelah utara Gehol bisa dilalui kendaraan roda empat. Alhasil, proyek yang penuh dengan kasih sayang tersebut membuka lembaran peradaban di daerah tersebut.
Setahuku, inilah proyek paling menyita harta warga Gehol namun sekaligus bermanfaat bagi khalayak. Seandainya kejadian ini terjadi di masa reformasi yang penuh proyek, saya berani bertaruh akan banyak konflik terjadi terutama terkait pembebasan lahan. Di masa lalu, saat Soeharto berkuasa, warga dengan ikhlas menjadikan lahannya sebagai sarana transportasi yang bisa dinikmati oleh semua orang.
Saya ingat betul karena kebun sekaligus sawah tadah hujan keluarga juga terkena imbasnya. Namun, tak ada protes sama sekali dari satu orang pun di masa itu. Warga ikhlas sebab mereka mengetahui bahwa pembuatan jalan tersebut setidaknya bisa membebaskan mereka dari memikul hasil panen ke rumah sambil mengarungi jalanan penuh lumpur.
Selain jalan, jembatan di sepanjang jalur yang dibuat AMD gratis semata. ABRI (kini TNI) yang mendirikan perkemahan di ujung desa kami jadikan sebagai lahan belajar, menonton sekaligus menkmati mimpi. Dahulu, menjadi ABRI adalah impian kami yang paling populer. Di mata kami, dan kami merasakan, ABRI dengan penuh persahabatan bahu-membahu bersama rakyat membangun jalan dan jembatan. Mereka dengan senang menerima hadiah makanan ala kadarnya dari kami warga kampung. Kebahagiaan mereka saat menyantap makanan kami, adalah kebahagiaan kami yang menyuguhkan makanan bagi mereka.
Kembali ke masalah tanah yang dijadikan lahan, sungguh mulia (atau bodoh) seluruh warga kampung. Yang jelas, semua warga cukup diberitahu bahwa akan diadakan pembuatan jalan demi kemajuan bersama, dan jadilah! Tak ada demo, tak ada penolakan! Semua mahfum belaka bahwa jalan yang baik memang mereka butuhkan. Titik!
Imbas dari pembuatan jalan tersebut adalah ramainya mobil angkutan bak terbuka dan ojek di kampung kami menuju ke kota dan desa-desa di utara Gehol. Uniknya, jika mobil atau motor melintas dalam keadaan kosong atau masih layak muat, warga yang kebetulan sedang melintasi jalan dengan segera diajak ikut serta. Sering sekali aku dan ayahku naik ojek atau mobil gratis. Sebuah hal yang kini sulit ditemukan.
Di masa itu, warga seolah merasakan kedekatan yang begitu nyata. Adalah aib jika membiarkan seseorang berkeliaran dijalanan apalagi membawa beban sementara kau mampu menolong mereka.
Sayangnya, kemajuan memang selalu bermata dua. Jika awalnya jalanan adalah lambang untuk mempersatukan warga dalam beraktivitas dan saling membantu, kini jalanan adalah ajang pembuktian siapa yang paling wah. Jarang kau temukan orang yang menawarkan tumpangan, sebab sepeda motor dan mobil kini adalah alat gengsi.
Jarang kau temukan orang yang menawarkan tumpangan, sebab sepeda motor dan mobil kini adalah alat gengsi.
ReplyDeletehmm iya, benar memang, jika alat sudah bukan lagi dilihat fungsinya mka muncullah konflik diri
ya.... saya ingat bener dulu tukang ojek yang kosong selalu menawarkan bapak saya atau saya yang sedang mikul hasil panen...
ReplyDeletesekarang ketika hampir semua warga punya motor,,,
kok malah yang seperti itu jadi jarang?
makasih yah mampir kembali ...
Kembali ke masalah tanah yang dijadikan lahan, sungguh mulia (atau bodoh) seluruh warga kampung.
ReplyDeletegak pantas kata bodoh diucapkan.bwt dedi irawan..belajar lagi bikin kata kata.
Anonymous said ... terima kasih kritiknya ... tapi saya membandingkannya dengan situasi sekarang saja saat pemerintah membebaskan lahan ...
ReplyDeleteMas Dedi Irawan, mantap tulisannya.
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkunjung.
Delete