Sekolah Bercelana Jeans dan Telanjang Kaki

10:38:00 AM Gehol Gaul 2 Comments

Ilustrasi (suaramerdeka.com)
Dulu, sekitar tahun 90-an, Gehol masih belum dialiri listrik dan jalanan masih banyak yang berlumpur. Di Gehol, hanya ada dua sekolah dasar, TV yang bisa dihitung dengan jari sebelah tangan dan tiga pesantren yang ramai.

Bisa ditebak bagaimana keseharian warganya. Si kecil balita bermain belepotan lumpur setiap hari. TK adalah kemewahan yang saat itu belum kami kenal. Setiap jam penayangan film favorit, anak-anak berkumpul di salah satu rumah penduduk yang memiliki TV. Sepulang sekolah kami akan bergerombol bermain dan di malam hari yang ada hanya bermain dan mengaji.

Dilihat dari sudut kemajuan jaman mungkin jaman itu terkesan terbelakang. Namun dari sisi kepedulian sosial masa itu adalah masa keemasan. Saat itu, tak ada warga desa yang tak kenal sesam warga. Tak ada teras rumah yang kosong di sore hari. Semua orang yang berbaris di teras masing-masing berbincang dengan sesama tetangga tanpa gangguan sinetron, siaran langsung olahraga, update status, sms, atau dering telepon.

 

Beruntung aku pernah mengecap masa itu. Aku menjalani lima tahun sekolah di SD dengan suasana alam benar-benar masih penuh lumpur, daun-daun lapuk dan cicit burung yang tiada henti. Setiap hendak berolahraga ke lapangan kampungku, maka mata kami para murid akan tertuju ke atas pohon sambil meraba-raba jalanan yang berlumpur. Kami akan berlomba-lomba menemukan sarang burung yang isinya hendak dipelihara.

Masa sekolah waktu itu tidaklah ribet dan menyusahkan. Bahkan seragampun boleh seadanya. Kau boleh memakai sepatu, sendal bahkan nyeker sekalipun. Yang penting, saat menjawab pertanyaan guru kau mampu menjawabnya. Bahkan, pernah aku maju ke depan saat penghargaan juara kelas dengan bercelana pendek jeans dan nyeker! Alhamdulillah, para guru di sana tidak menganulir raihan juara karena penampilan kami tersebut.

Yang paling hebat adalah kemandirian yang ditanamkan para guru di sekolahku dulu. Karena keterbatasan anggaran, maka kami para murid menjadi salah satu tulang punggung dalam memperbaiki sarana dan prasarana. Di sekolahku dulu, hari Sabtu adalah hari bebas sekaligus hari berkarya. Kami, semua murid mulai dari kelas satu hingga kelas enam akan berbondong-bondong ke kali untuk mengambil bahan bangunan.

Tentu saja bahan bangunan tersebut kami tambang langsung dari kali. Batu dan pasir yang melimpah adalah bahan bangunan gratis yang disediakan oleh alam bagi sekolah kami. Batu koral disumbang siswa setelah setiap hari libur para siswa dengan tekun melampiaskan kemarahan dengan memukul batu hingga cocok dijadikan bahan bangunan. Dengan demikian, sekolah dan pemerintah hanya tinggal membeli semen, kayu, paku dan genteng untuk mendirikan bangunan baru.

Sebuah kenangan manis yang jika terjadi di jaman sekarang bisa jadi bahan gunjingan.

2 comments:

  1. wuiiiih saya suka banget suasana sekolahnya dulu gehol. sama dg suasana sekolahhs aya sekarang. tpai tetep aja anak harus pakai pakaian seragam dan beralas sandal kalo gak punya sepatu

    ReplyDelete
  2. sekarang anak sekolah di Gehol sudah sangat maju bro ...
    untuk sepatu dan seragam mungkin saya iri dengan yang dipakai anak-anak sekarang ...
    tapi untuk permainan dan suasana saat ini didominasi sama televisi ...

    terima kasih sudah mampir

    ReplyDelete