Rafting ala Bocah Gehol

9:57:00 AM Gehol Gaul 4 Comments

Ilustrasi Ngalun (http://binoracom.wordpress.com)
Bagi siapapun yang hobi mengarungi derasnya arus sungai, maka belum lengkap jika belum mengetahui bagaimana kami, bocah-bocah dari Gehol yang miskin, menaklukkan arus sungai Cigunung. Sungai yang membentang dari Gunung Jaya di Kecamatan Salem sana dan bermuara di Sungai Cipamali.

Jika biasanya rafting dilakukan dengan perlengkapan keamanan yang lengkap, memakai alat yang dirancang khusus dan didampingi oleh instruktur, maka kami melakukannya hanya dengan satu syarat: nyali! Hanya ada satu syarat yang mesti dipenuhi selain nyali yaitu musim hujan. Sebab karakter sungai-sungai di Jawa kebanyakan sungai musiman. Kering di musim kemarau dan meluap di musim hujan.

Mari menelusuri kelakuan kami dahulu semasa bocah kala bermain di sungai. Bagi kami bocah Gehol, kemampuan berenang itu wajib dimiliki. Kami para bocah biasa melatih kemampuan renang kami di Ciparigi, Petahunan dan Cileuwi. 

 

Ciparigi adalah salah satu penampungan jalur irigasi di Gehol. Dia memiliki pintu pengatur air untuk mengendalikan arus agar tetap stabil. Pintu itu sendiri sering sekali menelan korban para perenang amatir yang sedang berlatih di Ciparigi. Kalau salah satu anak sudah masuk ke pintu air, maka ia akan tersedot dan dimuntahkan di sungai Cigunung. Oleh-oleh yang didapat si anak biasanya bocor kepala dan memar-memar di tubuh karena dihempaskan air ke setumpuk batu. Tapi, bocah Gehol tak gentar olehnya.

Petahunan sudah banyak dibahas di artikel sebelumnya silakan baca Petahunan dan Legendanya dan Petahunan: Kisah yang Tak Tercantum. Cileuwi sendiri adalah bendungan buatan masyarakat yang sangat sederhana. Air hanya dibendung oleh kumpulan batu yang ditumpuk berbaris demi menahan arus air. Cileuwi tepat berada di bawah Jembatan Cigunung. Tahukah kawan, jembatan yang tingginya lebih dari 4 meter ini adalah ajang adu nyali bocah Gehol. Kami – saya tidak berani melakukannya :p – naik ke rangka jembatan dan melakukan terjun bebas ke arah Cileuwi. Sepuluh meter sebelum jembatan, ada juga arena terjun bebas ke sungai Cigunung, hanya saja jaraknya paling tinggi 3 meter – di sini saya baru berani :d.

Nah yang mau melakukan rafting, alias ngalun dalam bahasa Gehol, mesti sudah mahir berenang, tidak malu dan punya stamina tinggi. Hal ini penting mengingat acara ini kami lakukan saat air sungai meluap alias banjir. Hanya saja banjirnya tidak ekstrim, batu-batu tinggi masih terlihat dan belum terlalu dianggap membahayakan oleh kami para bocah. Keadaan aman biasanya ditandai dengan masih adanya aktivitas warga di sungai.

Rafting dimulai

Air sudah tinggi dan baju sudah ditanggalkan – waktu itu kami belum sunat jadi telanjang masih biasa :d – maka saatnya rafting ala bocah Gehol dimulai. Alat yang dibutuhkan sederhana, yang penting bisa mengapung di air yang sudah coklat karena saking banyaknya lumpur tersebut. Alat favorit kami adalah ban dalam mobil – kalau bisa ban dalam bus karena memuat sampai lima tubuh kecil kami -, jerigen – hanya bisa dipakai sendiri -, hingga rakit yang dibuat dari pohon pisang – yang ini biasanya malas dibuat karena susah dibawa kembali ke hulu.

Setelah alat tersedia dan tentunya kawan sepermainan sudah berkumpul, maka kami akan menentukan rute permainan. Rute ini penting sebab kami harus mengatur stamina saat kembali lagi ke hulu. Jika terlalu jauh, maka perjalanan ke hulu bisa menguras stamina. Namun kalau rutenya terlalu dekat, maka saat mengarungi sungai terasa sangat sebentar. Biasanya jarak yang paling jauh kami tempuh sekitar satu kilometer saja. Ini adalah jarak yang lumayan saat mengarungi arus sungai juga tak terlalu melelahkan bagi kami para bocah saat kembali ke hulu.

Satu hal lagi yang wajib kami sepakati bersama adalah: tidak ada yang cengeng. Jika ada bocah yang saat mengarungi arus menangis karena takut atau terbentur batu, maka jangan harap bisa melakukannya bersama kami untuk kedua kalinya. Sikap berani ini penting sebab jika sudah ada yang panik saat rafting, maka bocah yang lain akan kurang berkonsentrasi. Akibatnya lumayan mengganggu karena bisa saja salah satu dari kami lepas dari ban. Jika salah satu sudah lepas, maka kami semua akan melepaskan diri agar tidak ada yang ketinggalan. Jika sudah begini, maka bersiaplah terbentur atau tergores batu-batu. Sebagai catatan, batu-batu di Sungai Cigunung tidak semuanya mulus, banyak yang disebut Mungkal Bangkong alias Batu Kodok. Permukaan Batu Kodok mirip seperti kodok yang benjut-benjut.

Satu hal lagi yang sangat penting adalah waktu rafting. Waktu yang dipilih biasanya pagi menjelang siang atau siang menjelang sore. Jangan pernah melakukan rafting saat aktivitas penduduk Gehol sudah berhenti atau jeda. Ini demi keamanan saja, sebab jika terjadi sesuatu yang fatal bisa segera diketahui warga. Warga akan dengan segera tahu karena dipinggir sungai selain pemukiman juga terdapat sawah-sawah yang sedang digarap warga.

Nah, apakah ada yang berani melakukan rafting ala bocah Gehol? Syaratnya mudah dan murah. Satu ban dalam mobil, seperangkat nyali dan sanggup telanjang. Yang terakhir tidak disarankan bagi yang sudah dewasa.

4 comments:

  1. berkunjung sob..salam blogger
    sukses selalu yah..:)

    ReplyDelete
  2. siap bro ...
    terima kasih kunjungannya ...

    ReplyDelete
  3. nice info sodara.....


    komment balik yaaa.
    n follow jg yaa

    ReplyDelete
  4. nice pengalaman bro ...

    oke .... makasih dah mampir dan komen

    ReplyDelete