Lihat Kemudahan Mengelola Akun dengan Fasilitas Twitter Analytic

Tampilan Akun Twitter


Bagi sebuah brand atau buzzer, statistik akun Twitter yang dimiliki tentu sangat membantu untuk menyusun strategi. Berdasarkan data statistik tersebut, sebuah akun dapat mengetahui sejauh mana kicauan mereka memberikan impresi kepada para followernya. 

Saya sendiri bukanlah akun buzzer karena siapalah saya sampai harus dibayar segala untuk sekedar berkicau di Twitter. Hanya saja, saya selalu penasaran saat masuk ke akun Twitter saya dan disuguhkan data statistik mengenai akun saya yang selalu hadir di sisi kanan atas sebagaimana gambar di atas.

Bermodalkan rasa penasaran tersebut, akhirnya saya mengeklik tombol "view your top Tweet". Saya penasaran tweet seperti apa yang benar-benar disukai oleh teman-teman saya di Twitter. Hasilnya lumayan lengkap dan unik. Pertama kali yang disuguhkan adalah kolom data tentang kicauan saya yang mendapatkan impresi bagus. Data tersebut terbentang hingga 28 hari terakhir dan bisa dimodifikasi waktunya di kolom tanggal dan bulan. 

Kolom Top Tweet dan Penampakan Impresi Akun dalam Sebulan
Kolom ini kemudian bisa diperinci lagi dengan melihat data-data di samping kanan yang menampilkan "engagements". Di sini, kita bisa melihat berapa banyak yang meritwit, menyukai, dan membalas kicauan kita. Artinya, interaksi kita dan orang lain terangkum dengan baik di sini. Bagi para pengelola brand, kolom ini pasti sangat berguna untuk menentukan jenis twit apa yang kemudian akan diposting di kemudian hari.
Engagement 1

Engagement 2
Jika ingin mengetahui lebih jauh bagaimana kinerja akun setiap bulannya, silakan klik "home". Di sana, kita kan melihat rangkuman kinerja akun setiap bulannya. Pada bagian ini, selain top tweet, ada juga top mention dan top follower. Jangan lupa juga melihat statistik jumlah cuitan hingga follower baru kita pada bagian kanan. Tentu hal ini penting sekali bagi siapapun yang mengelola akun sebuah brand atau buzzer. Mention teratas dan follower teratas bisa dijadikan sebagai sebuah tolok ukur bagaimana kinerja akun dalam sebulan tersebut. 
Rangkuman Sebulan
Untuk followers, klik "audiences" dan lihat perkembangan follower serta demografi mereka. Yang bagi saya menarik adalah disajikannya kolom interes pada bagian ini. Kita bisa melihat apa yang diminati oleh para follower akun kita. Ini juga tentu saja penting untuk mendapatkan impresi yang baik. Sebab apa jadinya jika 80% follower suka musik tapi kita jejali mereka dengan cuitan tentang pertanian? 
Kolom Interes (Minat) Follower
Terakhir yang cukup menarik dari alat analisis bawaan Twitter ini adalah tentang "event" atau kegiatan yang menarik. Kolom event ini berisi tentang kegiatan-kegiatan dari berbagai bidang (tema), berbagai lokasi, dan waktu tertentu. Sayangnya, lokasi Indonesia belum tercantum di sana. Padahal, bagi para buzzer tentu hal ini lumayan membantu untuk menambah impresi cuitan mereka. Semoga saja, pihak Twitter di kemudian hari akan mengakomodasi para pecinta Twitter asal Indonesia dengan memasukkan negara kita ke kolom lokasi.
Kolom Event
Semua data statistik yang disajikan oleh Twitter Analitik ini tentu saja kian memanjakan kita sebagai pemilik akun, bahkan bagi perseorangan seperti saya sekalipun. Kini kita tidak perlu lagi menganalisis kinerja akun Twitter kita di aplikasi pihak ketiga. Bagi para pemilik brand, ada fasilitas berbayar yang bisa membuat akun tersebut kian baik kinerjanya. Untuk yang satu itu, silakan klik artikel saya di sini. 

Selamat memanfaatkan Twitter Analitis wahai para pengelola brand dan buzzer!

Ngaradinan Bayi di Gehol: Ritual Bertujuan Mulia yang Kian Hilang


Menyambut kelahiran bayi bagi masyarakat Gehol tidaklah sesederhana masyarakat modern. Banyak rangkaian ritual magis yang dilakukan agar anak-anak yang lahir kemudian menjadi manusia yang luhur secara budi dan akal. Salah satu ritual yang dahulu wajib dilakukan adalah ngaradinan.

Ngaradinan sendiri memiliki kata dasar radin. Ini adalah kata yang termasuk arkaik atau kuno dan kini jarang digunakan lagi. Arti radin bisa ditelusuri dari sebuah kalimat yang ada dalam naskah kuno yang berbunyi, "caang radin di sarira". Kalimat tersebut jika diterjemahkan secara konteks maka akan muncul arti "jiwa yang terang-benderang".

Jika dikonotasikan ke dalam simbol-simbol kehidupan, maka kata terang tentu saja berkonotasi positif. Pelaksanaan ritual ngaradinan bisa dimaknai sebagai sebuah usaha dari orang tua agar sang bayi memiliki kehidupan yang baik. Kehidupan yang baik akan bisa terlaksana jika sang bayi memiliki jiwa yang bersih. Kebersihan jiwa inilah tujuan utama diadakannya ritual ngaradinan

Jangan dikira bahwa warga Gehol jaman dahulu yang melakukan ritual ini tidak memikirkan kehidupan yang akan tiba sesudah kematian datang. Ngaradinan sendiri merupakan salah satu jenis ritual magis putih atau bertujuan baik. Dalam sebuah naskah Sunda bernama Sewaka Darma, tujuan ritual yang dilakukan dengan mengalungi leher dan menggelangi kaki dan tangan dengan benang putih ini bertujuan agar sang bayi kelak menjadi manusia dengan pendirian kuat.

Makna mengikat tali pada tangan, kaki, dan leher adalah agar sang anak mampu mengendalikan tangan, kaki, penglihatan, penciuman, dan pendengaran saat dewasa nanti. Anak juga diharapkan mampu mengendalikan lisannya dari ucapan buruk sehingga hidup mereka bahagia tidak hanya di dunia yang fana ini, namun juga kelak di alam keabadian atau akhirat. Sebuah tujuan yang religius dan mulia namun karena minimnya kemampuan masyarakat modern sering kali hal ini dianggap ritual sesat.

Dalam pandangan masyarakat Gehol, kebaikan dalam menjalani hidup merupakan sebuah keniscayaan. Karena menjalani hidup dengan penuh kebaikan merupakan jalan yang paling sahih ketika seseorang kelak kembali kepada sang pemilik. Tidak mungkin seseorang akan bisa kembali kepada Tuhan yang menciptakannya jika laku lampah yang dijalani tidak sesuai dengan tuntunannya.

Hingga sebelum pergantian milenium, ritual ngaradinan masih akrab dengan masyarakat Gehol. Salah satu buktinya adalah ketika seorang anak nakal, maka biasanya keluar ucapak "jiga nu teu diradinan" dari orang-orang yang lebih tua. Kalimat tersebut secara harfiah berarti "kok kamu seperti belum pernah diradinan", artinya si anak menunjukkan perilaku yang tidak atau belum sesuai dengan tuntunan kebaikan yang diajarkan.

Kini, ngaradinan  sudah sangat jarang ditemui. Salah satunya adalah karena proses kelahiran bayi kini menggunakan jasa bidan atau dokter. Tentu saja, masyarakat modern - demikian kita mengklaim kita sendiri - tak membutuhkan segala macam ritual dalam menyambut kelahiran bayi. Bagi kita sekarang, cukuplah bayi diberi asupan gizi yang baik, disuruh ngaji, dan diberikan sekolah yang baik. Maka, jangan heran banyak anak-anak modern yang kemudian gagap menghadapi kehidupan yang keras.

Selain tuntutan modernitas, pandangan tokoh agama yang sering mengecap segala sesuatu dengan sebutan haram, kafir, dan musyrik sering kali membuat warga takut melakukan ritual. Padahal jika kita kaji, banyak nilai-nilai luhur yang bisa diambil dari ritual-ritual jaman dahulu asal kita mau mempelajarinya. Bukankah terbukti saat ini banyak kerusakan alam dan laku lampah manusia yang salah satunya adalah terlalu menyepelekan segala nasihat orang-orang jaman dahulu. Celakanya, banyak nasihat-nasihat yang dibungkus dengan ritual sehingga semuanya dianggap sebagai perilaku yang melanggar ajaran agama.

Jadi, sudahkah kalian diradinan wahai generasi masa kini?







Menguji Ketahanan Aparat Desa dari Godaan Dana Desa

Setelah menuangkan keresahan masyarakat Gehol yang bertanya-tanya tentang berapa besaran dana desa yang dikucurkan pemerintah di artikel sebelumnya berjudul Setahun Lebih Kades Gehol: Mana Dana Desa?, datanglah sebuah kabar menggembirakan. Beredar daftar besaran dana desa di wilayah Kecamatan Bantarkawung, Kabupaten Brebes.

Meski bukan pemerintahan desa yang mengabarkan hal tersebut, tentu hal ini sedikit menjadi angin segar bagi masyarakat di desa Sindangwangi. Mengetahui besaran dana yang turun bisa dijadikan tolok ukur perkembangan pembangunan. Jika besaran dana tersebut benar adanya, maka masyarakat akan dengan mudah menilai kinerja aparatur pemerintahan desa dalam memanfaatkannya.

Berdasarkan daftar yang beredar di media sosial, dana desa untuk Desa Sindangwangi sendiri mencapai Rp840.706.000, sebuah angka fantastis untuk ukuran sebuah desa. Angka ini tentu saja nyaris tak dapat dimiliki oleh sebagian besar warga Gehol meskipun telah bekerja seumur hidup mereka. Karena jumlah dana yang super jumbo tersebut, maka sudah seharusnya mata para penduduk desa waspada layaknya mata seekor elang untuk mengawasinya.

Memang saat ini sudah ada pendamping desa yang diharapkan bisa menjadi jembatan bagi aparatur desa yang belum terbiasa mengelola dana besar termasuk dalam pembukuannya. Meski demikian, masih terbuka peluang terjadinya penyelewengan dari dana yang besar tersebut. Dalam pengelolaan uang yang berlimpah, kewaspadaan dan kecurigaan wajib didahulukan. Sebab sudah hukum alam bahwa ketika ada kesempatan, seseorang yang tak berniat jahat pun bisa terjerembab.

Selain mengawasi pemakaian dananya, warga desa juga bisa berpartisipasi dalam banyak hal terkait pemanfaatan dana yang melimpah tersebut. Sudah bukan jamannya jika hanya pemerintahan desa yang dianggap berhak mengelola dana. Warga desa pun berhak mendapatkan kesempatan untuk ikut mengelola dana tersebut sepanjang demi kemaslahatan bersama. Tentu saja, ada koridor-koridor hukum dan aturan yang harus ditaati dan dijalankan bersama.

Peran pihak-pihak lain dalam mengelola dana desa memang penting agar tujuan mulia dari pengucuran dana tersebut bisa tercapai. Sebagaimana kita tahu bahwa selama ini pembangunan di negara ini terkesan dari atas ke bawah, bukan sebaliknya. Selama ini, kota seolah mendapat hak-hak istimewa dalam mengembangkan wilayahnya sementara desa seolah-olah diisolasi dengan kegiatan pembangunan yang ala kadarnya. Ditambah dengan tidak kreatifnya aparatur desa dalam mencari sumber-sumber lain dan dalam pembangunan itu sendiri, maka desa seolah-olah hanya dijadikan bantalan semata.

Kini, dana besar sudah ditangan para pengelola desa sehinga sudah tidak ada alasan lagi bila sebuah desa memiliki infrastruktur tertinggal. Aparatur desa juga tidak bisa berkelit tak ada dana saat ada warganya yang membutuhkan. Yang pasti, semoga besaran dana desa tidak membuat para pengelolanya gelap mata.

Selamat mengelola dana desa para Kades, semoga selamat sampat akhir jabatan!


Hantu Bergaun Perak (2)

Teman satu divisiku yang tergesa-gesa masuk ke dalam toilet dan menimbulkan suara nyaring pada pintu kamar mandi telah masuk ke dalam toilet di sebelahku. Sepi kemudian menguasai toilet hingga ada suara air mengguyur hajat di sampingku. Kiranya temanku yang kebelet tadi sudah membuang semua beban dari perutnya.

Aku sendiri yang duduk di toilet bukan karena hendak membuang hajat sengaja menunggu temanku keluar lebih dahulu. Memang tak lama kemudian pintu toilet di samping bergerak membuka dan sesosok tubuh keluar dari sana. Kupikir kesendirianku akan bermula lagi.

Srekkk ...
Duk ... duk ... duk ...

Namun betapa kagetnya aku saat mendengar suara yang biasa menyapaku tersebut. Dengan segera aku merapikan celanaku dan pakaianku. Aku berdiri dan segera kubuka pintu toilet tempatku pagi ini terpekur sambil memikirkan seberapa parah kondisi kantorku saat ini. 

Sebelum kubuka lebar, sejenak kuintip kondisi di luar dari celah pintu yang sedikit kubuka. 

Srekkkk ...

Kembali suara itu terdengar dan kilatan perak berkilau menerpa sudut mataku. Aku segera memburu asal kilatan tersebut sembari membuka pintu toilet dengan segera. 

Brukkkk ...

Saking tergesanya aku membuka toilet, keseimbanganku limbung sehingga aku terjatuh. Lalu kulihat perempuan bergaun perak tersebut melayang menyambar ke arahku yang saat itu telentang tak berdaya. Aku hanya bisa teriak melihat wajah yang tertutupi rambut terurai panjang tersebut. Gaun panjangnya yang berwarna perak kemudian seolah hendak menimpa wajahku. Kututup wajahku dengan kedua tanganku karena tak sanggup membayangkan tubuh perempuan yang melayang dalam kecepatan tinggi tersebut menimpa tubuhku. 

 ***
 

Sunyi menguasai diriku yang sedang memeriksa lamat-lamat suara yang ada di sekitarku. Banyak gumaman yang menyebut-nyebut namaku. Ingin sekali kusahuti gumanan tersebut namun entah kenapa bayangan perempuan bergaun perak yang sedang berdiri di ujung kakiku selalu mengisyaratkan agar aku jangan bersuara. Bahkan, saat hendak menoleh ke arah gumaman pun, perempuan itu selalu melarangku dengan memberikan gestur tubuh berupa gelengan kepala. 

"Ayah ... ayah .... Kenapa ayah tidurnya lama banget Ma?" ujar Weda ke arah istriku yang menunjukkan wajah kebingungan sambil menggandeng Dya. 

Aku berusaha memberikan senyuman kepada anak dan istriku untuk memberi tanda bahwa aku baik-baik saja. Sayangnya, kembali perempuan yang hingga kini tak mau menunjukkan wajahnya itu kembali menggeleng. Aku pun kembali memasang wajah tanpa ekspresi demi melihat hal itu. 

Aku kembali tenggelam dalam sunyi menikmati kibaran gaun perak yang dipakai perempuan yang setia berdiri di ujung kakiku menungguku. Kini, perempuan itu menghadap jendela sehingga aku berpikir bisa sedikit memberi reaksi pada gumaman yang ada di sekitarku. 

Kulihat Weda dan Dya masih bergelayut manja pada istriku yang sedang bersenandung membacakan ayat-ayat suci. Demi melihat hal tersebut akupun tersenyum dan berusaha menyapa mereka.

"Ayah sehat sayang, kalian sungguh baik mau menemani ayah di toilet" kataku sembari sedikit terkikik. 

"Alhamdulillah kamu sudah sadar," kata istriku, "Seminggu lebih kamu pingsan sejak terjatuh di toilet kantor."

Aku pun tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasan istriku yang tak masuk akal tersebut. Di ujung kakiku, kulihat perempuan bergaun perak kembali memutar badannya menghadap ke arahku. Tangannya terjulur seolah mengajakku pergi. 

"Ayah ... Ayo maen berantem-beranteman," kata Weda dan Dya. Tangan mereka meraih kedua tanganku yang terjulur hendak meraih tangan perempuan bergaun perak.

Kekecewaaan besar sepertinya amat dirasakan oleh perempuan bergaun perak di ujung kakiku. Perlahan-lahan, ia bergerak menjauh dari ranjang tempatku tidur. Sekuat tenaga aku mencoba melepaskan tangan anak-anakku namun mendadak aku seperti lumpuh. Gumaman lantunan ayat suci dari mulut istriku sepertinya kian memperlebar jarak antara aku dan perempuan yang kini hendak memberi tahu bentuk wajahnya tersebut.

Perlahan sekali perempuan itu mengangkat wajahnya dan menyibakkan rambutnya yang sangat panjang itu. Kening dan matanya kemudian muncul membuat pupil mataku kian membesar. Kemudian seluruh wajahnya terlihat jelas meski kini ia melayang menjauhiku dan kian dekat ke jendela. Kulihat dengan seksama seraut wajah dengan jidat bersih, mata bening, pipi tirus, dan bibir tipis namun pucat itu. Meski kian menjauh dan perlahan samar karena munculnya cahaya dari jendela namun keseluruhan bentuknya tetap kuingat.

***
Duk ... duk ... duk ...

Suara tersebut datang dari Weda dan Dya yang sedang bermain "engkle" di teras. Mereka telah terlebih dahulu membuat bentuk kotak-kotak yang diberi nomor satu hingga sepuluh. Jika kuperhatikan, bentuknya menyerupai seseorang dengan kepalanya memakai kopiah. 

Aku sendiri sedang menyeruput kopi buatan istriku di ruang kerjaku. Sudah seminggu aku di rumah sejak aku sadar dari tidur panjang ditemani perempuan bergaun perak. Kulihat kedua anakku yang sedang meloncat-loncat di kotal-kotak permainan "engkle" yang sedang mereka mainkan. Kulihat kepala "engkle" yang dilempar "gaco" oleh Weda seperti menggeleng.

Kukerjapkan mata demi melihat hal yang mustahil tersebut. Kulihat gelengan kepala "engkle" semakin sering dan serius seolah minta dibebaskan. Namun injakan yang dilakukan Weda kemudian menghentikan gelengan tersebut. 

Lalu sunyi dan damain menyelubungi hatiku. Kedua anakku segera beralih padaku setelah mereka bosan meloncat-loncat di kotak permainan "engkle". Dya kemudian menghapus kotak-kotak tersebut yang kulihat tak berdaya meski dengan sekuat tenaga memberi kode padaku agar aku mencegah apa yang dilakukan Dya padanya. 

Lalu semua keriuhan dalam hatiku hilang demi melihat teras yang kembali bersih. 

(Tamat)


Mengurai Mitos Samagaha dalam Masyarakat Gehol

Fenomena gerhana matahari total menyita perhatian hampir separuh negeri. Mereka berlomba menjadikan fenomena yang konon datang setiap 33 tahun sekali ini sebagai ajang meraup keuntungan. Bukan saja keuntungan ekonomi, keuntungan lain dalam bidang politik pun sering dikait-kaitkan.

Namun, tak usahlah terlalu berharap bahwa kita akan mendapatkan keuntungan uang melimpah dan politik yang mujur dengan adanya gerhana matahari ini. Bagi saya, menikmatinya dalam kesendirian atau bersama orang tercinta tanpa membahayakan mata sudah cukup. Tak perlu terlalu berharap terhadap hal-hal yang tak biasa karena bisa-bisa kita dituduh subversif terhadap keyakinan yang sudah mapan.


Setahun Lebih Kades Gehol: Mana Dana Desa?

Setahun lebih kepada desa Sindangwangi menduduki jabatannya. Banyak sudah yang ia perbuat, meski tentu saja masih banyak yang harus ditingkatkan. Lalu, seberapa efektif pembangunan di kampung Gehol tersebut setelah dana desa bergulir?

Menikmati Gehol sekarang tentu kau takkan lepas dari kemajuan jaman. Di mana kendaraan roda dua dan roda empat sudah tak asing lagi melewati jalanan kampung. Jika dahulua ada segerombolan anak-anak kecil mengikuti mobil bak demi berpegangan sebentar dan menikmati laju mobil, saat ini hal tersebut sudah sangat sulit ditemukan. Anak-anak kecil di Gehol punya aktivitas sendiri-sendiri yang segudang, sekolah, mengaji, maen gadget, dan voli. 

Infrastruktur desa juga lumayan baik, meski saya tak habis pikir kenapa jalanan di kecamatanku kurang greget dibandingkan dengan jalanan kecamatan Bumiayu dan Salem. Kini, warga desa juga dikenalkan dengan sistem pengairan semi kapitalis. Berkat bantuan dari pemerintah daerah, pejabat desa kemudian membentuk perusahaan air minum yang bagi siapa saja peminatnya harus mendaftar dengan jumlah tertentu dan membayar iuran setiap bulannya.

Jalanan juga perlahan-lahan mulai dibangun di dukuh-dukuh yang membutuhkan. Bahkan, tersiar kabar bahwa desaku akan dilalui jalan tengah Kabupaten Brebes guna mengurai kemacetan saban tahun. Konon jalanan itu akan menjadi alternatif dari jalan yang sudah ada sekarang ini. Nantinya, para pemudik dari Brebes menuju Bumiayu akan diberi pilihan, tetap memakai jalur tradisional atau menelusuri indahnya pemandangan jalan baru. 

Lalu, dimanakah dana desa yang kata pemerintahan Jokowi sudah disebar ke desa-desa guna dimanfaatkan membangun dan mensejahterakan desa? Kabarnya, dana desa di kampungku hanya ada tiga orang yang tahu dan Tuhan. Jika tiga orang ini punya istri, kemungkinan para istri-istri mereka juga tahu. Dan jika ketiga istrinya punya karib tempat berbagi segala hal, maka bisa bertambah pula mereka yang mengetahui dana desa di desaku. Daftarnya akan kian panjang, namun hingga kini jumlah dana desa di kampungku masih misteri bagi kebanyakan orang.

Sayangnya, para pamong praja pengurus desa cuma bisa menduga-duga berapa besarnya. Begitupun dengan orang-orang yang tergabung dalam aneka lembaga desa. Mereka cuma bisa menduga-duga berapa besarnya dana desa yang ada dalam kas desa. Setali tiga uang dengan para pejabat kelurahan dan lembaga desa, rakyatpun tak ada yang tahu. Jika jumlahnya saja tidak tahu, lalu bagaimana dengan penggunaannya?

Sejatinya, undang-undang memang mengatur kepala desa untuk melaporkan keuangannya kepada kepala daerah dan rakyatnya. Sayangnya, jikapun ia tak melaporkannya, yang bisa memberi sanksi hanyalah kepala daerah saja. Sementara rakyat, tidak bisa menuntut banyak selain menggerutu dalam hati. Atau jika punya nyali maka akan menggeruduk desa beramai-ramai. Sayang seribu sayang, warga sudah terlalu sibuk memikirkan kesulitan akibat ulah pemerintah daripada memikirkan dana desa.

Mekanisme yang lebih beradab menurut undang-undang adalah dengan mengadakan musyawarah desa. Ini akan terjadi jika BPD menginisiasinya dengan membentuk panitia dan mengundang seluruh stake holder yang ada di desa. Untuk yang satu ini, sepertinya takkan pernah terjadi sebab para anggota BPD yang seharusnya bernyali justru tak bisa berbuat apa-apa.

Lalu, kenapa undang-undang desa tidak berkutik ketika menghadapi kepala desa yang masih bergaya feodal? Ya karena masyarakat desa merupakan entitas yang masih lekat dengan budaya tersebut. Sekali seseorang sudah memegang jabatan, tak peduli seberapa pandirnya ia, selamanya rakyat takut padanya. Meski tentu saja, di belakang menertawai hingga susah bernapas.

Lalu, bagaimana cara masyarakat mengetahui berapa besaran dana desa yang mengucur? Mungkin perlu pendekatan lebih kepada para istri pejabata yang berwenang. Konon, di negeri ini jika ada seorang lelaki menduduki jabatan tinggi sejatinya istrinyalah yang mengendalikan semua hal. 

Gertrude Bell: Perempuan Penentu Sejarah Jazirah Arab

Apa yang akan kau lakukan saat kau kaya, cantik, pintar, dan lahir di negara dengan jajahan terluas di dunia? Berleha-leha sampai menemukan jodoh tiba atau berpetualang menuju wilayah yang belum ramai dijamah manusia? Pilihan pertama mungkin akan saya ambil, tapi tidak dengan perempuan bernama Gertrude Bell ini. Ia pergi menuju dunia yang hingga kini masih sedikit sekali memberikan kebebasan kepada kaum perempuan, Arab!

Perempuan bernama lengkap Gertrude Margaret Lowthian Bell ini lahir di Inggris pada 14 Juli 1968. Ia merupakan salah satu siswa perempuan paling cemerlang di Oxford University. Pergi menjelajah menuju suku-suku terasing di sepanjang gurun yang terhampar di Arab. Sebuah pilihan unik bagi perempuan di masa itu. Sebagaimana kita tahu, kawasan Arab saat Miss Bell menjelajahinya masih dalam genggaman Dinasti Ottoman yang sayangnya tinggal menunggu waktu untuk jatuh. 

Masa Bell menjelajahi Arab bersamaan dengan waktu Lawrence of Arabia diselundupkan ke daerah tersebut untuk memetakan dunia baru titipan imperialis Barat. Sayangnya, dunia lebih mengenal peran Lawrence dibandingkan perempuan yang kurang beruntung dalam percintaan ini. Padahal dalam film yang mengisahkan Miss Bell, Lawrence sendiri merekomendasikan Getrie - panggilan akrab diantara mereka - sebagai orang yang paling memahami suku-suku Badui di Jazirah Arab.

Pernyataan Lawrence ini kemudian diamini oleh para pemimpin Arab di kemudian hari. Ibu Saud yang kemudian mengklaim kekuasaan di Arab Saudi adalah salah satu buah pemikiran dari Miss Bell. Iraq bisa disebut sebagai anak kandung Miss Bell. Setelah perang dunia kesatu berkecamuk, daerah ini masih merupakan provinsi-provinsi dari Kerajaan Ottoman. Kawasan yang dahulu bernama Mesopotamia ini terdiri dari tiga provinsi yaitu Basra, Mosul, dan Baghdad yang jika berdiri sendiri takkan mampu. Maka Gertrude kemudian menggabungkannya sehingga terbentuklah Iraq.

Sejatinya Gertrude sendiri menjelajahi Jazirah Arab karena ketertarikannya pada keindahan dan misteriusnya daerah tersebut. Pertama kali ke Jazirah ini pada tahun 1892, tepatnya ke Tehran dimana pamannya yang bernama Sir Frank Lascelles menjadi pejabat Kerajaan Inggris di sana. Ternyata, jauh sebelumnya ia memang sudah berminat pada Arab, salah satunya melalui puisi-puisi karya Ummar Khayam. Setelah perjalanan ke tempat yang sekarang menjadi Ibukota Iran ini, Arab menjadi minatnya hingga akhir hayat.

Ketertarikan dan kecerdasan Miss Bell dalam menjelajah dan mendekatkan diri dengan suku-suku terasing di Arab pada waktu itu menjadikannya sangat diminati pemerintahan Kerajaan Inggris. Ia yang dianggap lebih memahami karakter dan kepribadian suku-suku Badui kemudian diminta menjadi mata-mata bagi kepentingan Kerajaan. Hanya saja, Miss Bell selalu menolak hal itu dan menegaskan bahwa ia adalah ilmuwan, pecinta sastra, penjelajah, arkeologis, dan penulis, bukan mata-mata. Hanya saja, sejarah kemudian mencatat bahwa memang kegiatannya kemudian digunakan sebagai alat spionase bagi pemerintahnya. Hal ini terutama saat ia dan Lawrence of Arabia bergandengan tangan dalam menstabilkan daerah yang kini kita kenal sebagai Jordania dan Iraq.

Lalu kenapa Miss Bell dianggap lebih memahami Arab dan orang-orang di dalamnya dibanding Lawrence of Arabia yang mahsyur itu? Mungkin salah satu adegan dalam film Queen of the Desert yang diilhami oleh sosoknya bisa menjelaskan kehaliannya tersebut. Misalnya saja saat ia diminta jadi hareem seorang Emir salah satu suku Badui ia mengaku sebagai seorang wanita bersuami dan dengan lantang ia menjelaskan bahwa Nabi Muhammad tidak pernah mengajarkan seorang lelaki untuk menyentuh seorang perempuan yang bersuami. Sontak, Sang Emir tak bisa tidak untuk mengikuti dan mengamini apa yang diucapkan oleh Miss Bell.

Hingga akhir hayatnya, Miss Bell tidak menikah dan meninggal di Baghdad pada 12 Juli 1926. Dialah yang memmelopori beridirinya Museum Nasional Iraq yang kemudian rusak dan mengalami penjarahan saat Amerika Serikat menginvansi negeri tersebut pada 2003. Meski bertabur jasa bagi dunia Arab, Miss Bell ternyata tidak bahagia saat. Ia meninggal karena mengonsumsi terlalu banyak obat tidur alias dianggap bunuh diri. Konon, kombinasi penyakit yang menggerogotinya dan kematian kakaknya menjadi salah satu alasan kenapa ia melakukan bunuh diri.









Heboh LGBT, Cerminan Masyarakat Kepo Selangkangan

Beberapa bulan terakhir, kisruh abadi antara syiah dan sunni tetiba menghilang berganti dengan saling nyinyir antara pro hak-hak LGBT dan penentangnya. Aneka argumen mulai dari sains hingga keyakinan diumbar ke publik. Sungguh luar biasa, urusan selangkangan bisa semeriah ini menyedot energi bangsa.

Sebelum ikut meramaikan khasanah perselangkangan LGBT di Indonesia, ada baiknya menengok dulu sekitaran sepuluh hingga dua puluh tahun lalu di Gehol. Desa tempatku lahir tersebut mungkin lebih maju dalam urusan selangkangan terkait LGBT ini.

Apakah di desaku ada LGBT, tentu saja ada meski tidak terang-terangan. Namun, mereka yang berbeda tampilan atau biasa kita sebut banci tentu ada dan tak perlu malu mengakuinya. Semua penduduk maklum belaka akan keadaannya. Tidak ada yang memaksanya harus menjadi laki-laki dengan alasan dibenci Tuhan dan sebagainya. Kena bully iya, namun siapa sih di dunia ini yang tidak pernah terkena bully?

Apakah masyarakat Gehol kemudian menjadikan si banci sebagai bahan menyebarkan kebaikan Tuhan? Setahuku tidak, pengajian yang digelar memang sesekali menyinggung tentang azab Allah SWT kepada kaum-kaum yang menyimpang. Tapi bukan hanya kaum Nabi Luth yang sering jadi bahan pelajaran, bagaimana kejahatan Firaun dan tamaknya Karun juga sering jadi bahan ajar pengajian. Seingatky, kelaliman dan keserakahan dua contoh terakhir lebih sering diperdengarkan. 

Melihat masyarakat Gehol yang cenderung lembut kepada penderita LGBT apakah membuat golongan ini merajalela? Berkali-kali pulang kampung, yang banci tidak bertambah dan orangnya tetao itu-itu juga. Yang gay dan lesbian? Entahlah apakah ada atau tiada. Yang jelas, tinggal satu dua kawan sepermainanku yang belum menikah. Apakah mereka memiliki preferensi seks berbeda dari umumnya masyarakat? Yang kutahu faktor uang, penampilan, dan pilih-pilih pasangan adalah alasan utama kenapa masih sendiri.

Maka aku heran bagaimana media sosial begitu menggebu menghakimi kaum LGBT. Aku juga takjub tatkala kelompok LGBT dan mereka yang mendeklarasikan diri pembela begitu getol mengatakan banyaknya pelanggaran HAM. Bagiku, kehebohan ini adalah cerminan masyarakat yang terlalu lebay mengurusi selangkangan orang lain.

Wahai para pencaci LGBT, apakah dengan tampilnya para pemilik orientasi seksual tidak umum ini akan meruntuhkan peradaban dunia? Hal tersebut tentu saja masih jauh dari kebenaran. Jikalau masalah populasi yang akan menurun dengan tampilnya kaum LGBT dirisaukan, bukti-bukti imliahnya masihlah sangat minim. Setahuku, hanya Jepang yang statistik demografinya berupa piramida terbalik. Konon, masalah ekonomi menjadi momok bagi para penduduk Negeri Matahari Terbit ini sehingga mereka takut beranak-pinak. 

Lalu kepada kalian pembela LGBT, apakah ada hak-hak dari kalian yang diabaikan pemerintah dan diinjak-injak masyarakat NKRI? Setahuku tidak ada bidang kehidupan pun di negara ini yang menyatakan larangan untuk dimasuki kaum LGBT. Apakah administrasi pemerintahan menghalangi kaum LGBT? Belum pernah dengar berita semacam itu. Apakah pesantren, masjid, gereja, dan tempat ibadah lainnya menolak kehadiran ummatnya yang berbeda ini? Tak pernah ada yang bercerita demikian. Mungkin mereka rentan bully, ya itu memang benar. Tapi, di dunia ini siapa sih yang tak pernah di bully.

Jadi, kesimpulanku tetap sama bahwa ini adalah reaksi lebay para pembela hak dan pencaci LGBT. Tak ada niat untuk menyembuhkan dari para pencaci, pun dari pendukung. Yang ada hanyalah ajang adu argumen dan adu eksistensi. Bukankah sosial media adalah ladang sempurna untuk hal ini?


Saya Benci Jokowi dan Saya Percaya Ramalan Dukun

Setelah tahun 2016 datang, aku pikir kebencian kepada Jokowi yang telah meluluhlantakan harapanku dan junjunganku akan luluh. Nyatanya, hal tersebut semakin menjadi bahkan tak hilang meski kuselingi dengan membabat semua peserta debat sosial media yang pro LGBT, Imlek, dan Valentine.

Sudah semua literatur aku baca - tentu saja berasal dari akun-akun pendekar - guna mempekuat logikaku dalam menyerang segala kebijakan pemerintah. Maka, senang tak terkira ketika aku menemukan beberapa perusahaan yang menjatuhkan PHK kepada para buruhnya. Sejenak, aku memuja Said Iqbal yang menjadi presiden organisasi para buruh yang sering menjelajahi kota dengan mobil mewahnya. Setidaknya, presiden buruh tidak pencitraan dengan pura-pura berkeliling kota naik bajaj. Lihat, sekedar sepeda motor saja sang presiden buruh harus punya yang gede. 

Sayangnya, perusahaan yang angkat kaki tersebut memang dasarnya sudah tak kuat bersaing sejak beberapa waktu lalu. Tak heran aku kembali menelan pil pahit karena gelombang PHK yang digembar-gemborkan para akun rekan seperjuanganku dalam membenci Jokowi tak kunjung terjadi. Ini artinya, salah satu penguat argumenku untuk membenci Presiden RI yang bukan turunan orang besar ini hilang. Maka, sejenak kembali aku menghajar siapa saja yang menulis status mendukung hari kasih sayang. 

Alhamdulillah dapat angin segar dari berdemonya kaum buruh dan guru honorer. Seumur-umur, aku tak peduli akan nasib mereka, namun kali ini beda rasanya jika aku tak mendukung demo mereka. Maka, aku berusaha menulis status seheroik mungkin bahwa aku ada dalam barisan buruh dan PNS honorer. Semua status aku bumbui bahwa pemerintah sudah jatuh dalam lembah kegagalan yang terdalam sehingga yang bisa membangkitkannya cuma revolusi. Cuma, semua revolusi harus tanpa aku terlibat di garis depan. Aku cukup pandangi media sosial dan peranku harus dianggap luar biasa.

Saat semua fakta di atas kembali ada bantahan dari para pendukung Presiden Jokowi yang biasa disebut cebonger, aku sangat beruntung punya paranormal sekelas Permadi dan Ki Gendeng Pamungkas. Mereka berdua meniupkan angin segar sehingga kebencianku yang sudah tepupuk sekian lama seolah akan mencapai klimaksnya. Bagaimana tidak, analisis keduanya memiliki kesimpulan yang sama bahwa kekuasaan Presiden Jokowi akan runtuh dalam hitungan bulan, hari, jam, menit, dan detik yang tak lama lagi.

Dengan brilian Permadi sang paranormal pujaan hatiku yang dahulu begitu dekat dengan Megawati itu berkata bahwa goro-goro akan segera terjadi. Semua elemen masyarakat akan segera bersatu dalam kekecewaan yang sama sepertiku untuk menumbangkan rezim Jokowi. Luar biasa kakek ini, setiap presiden di Indonesia diprediksikan olehnya akan mendapat goro-goro. Sayangnya, goro-goro di jaman presiden yang lalu tak kunjung jadi. Tapi, bukankah tak ada keledai yang jatuh pada lubang yang sama? Artinya kali ini prediksinya sudah pasti jempolan.

Tak kalah menyejukkannya apa yang diungkapkan oleh Ki Gendeng Pamungkas. Tokoh ini dahulu yang bertekad membuat Bush terkulai terkena santetnya saat berkunjung ke Indonesia. Sayang, rupanya bahasa Inggris Ki Gendeng kurang faseh sehingga santetnya kurang berhasil, bahkan tidak berhasil sama sekali. Tapi beruntung, peramal pujaanku nomor dua ini mencalonkan diri menjadi Bupati Bogor dan akhirnya ..... Gagal! 

Tapi untuk akurasi tentang Jokowi dan anaknya aku percaya hingga mendekati yakin dan mengimani. Bagaimana tidak, Ki Gendeng Pamungkas bisa dengan bernas menjelaskan kepemilikan ruang khusus Ratu Kidul yang dimiliki Jokowi di Istana Bogor. Apalagi hal tersebut ditambah fakta dengan adanya pernikahan Jokowi dan Nyi Ratu Kidul tersebut. Yang terakhir, Ki Gendeng seolah dengan mata kepala sendiri menggambarkan ritual yang dijalani Gibran sebelum menikah. Akhirnya, semua diakhiri dengan tujuan hidupku, tumbangnya rezim Jokowi. 

Sekarang, aku sedang menunggu dengan penuh harap sembari menyerang kaum JIL dan merayu simpati para ITJ dan simpatisan Ongen. Semoga saja dua dukun jagoanku kali ini berhasil membuktikan ramalan-ramalan mereka. Semoga!







Aku Benci Skripsi, Terutama Olah Data

Sekian lama menuntut ilmu di Universitas, terantuk halangan bernama skripsi. Beragam cara sudah kutempuh untuk meluluhkan ketegasan dosenku, berulang kali aku kecewa. Yang ada revisi lagi, revisi lagi, revisi lagi.

Aku pun akhirnya memutuskan untuk berselingkuh dari dosen pembimbingku. Dengan bantuan teman, aku akhirnya bisa membuat bagian yang selalu direvisi bisa lolos dari jeratan mata elang dan mulut pedas dosenku. Apa bagian yang selalu direvisi tersebut? Tak lain dan tak bukan adalah olah data.

Sebagai seorang mahasiswa ilmu sosial, alias sastra, aku sudah menjauhi hitung-hitungan dan tetek bengek angka sekira 3,5 tahun lamanya. Meski sudah dipoles dengan beberapa SKS mata kuliah statistik, namun tetap saja perhitungan data-data yang kulakukan sering meleset. Bahkan kata meleset terlalu baik untukku saat itu, ngaco lebih tepat. 

Kesimpulan ngaco lebih tepat tentu saja kudapatkan dari dosen pembimbing. Kian yakin aku dengan ngaconya perhitungan olah data yang kulakukan setelah diamini oleh kawanku yang menimba ilmu di jurusan eksakta. Memang beruntung aku, masih punya kawan akrab dari golongan tukang hitung yang mau menghitung ke dalam angka jawaban-jawaban respondenku saat itu.

Dari situ aku mendapat pelajaran bahwa mengerjakan skripsi memang terkadang menimbulkan kebencian. Kebencian yang tumbuh bukan saja dilampiaskan kepada dosen, namun juga kepada apa yang dikerjakan. Apalagi kalau bukan skripsi itu sendiri. Dan bagiku, olah data adalah bagian paling menyebalkan dari skripsi.

Meski sesudah lulus aku berpikir, bahwa jika saja saat itu aku tak membenci skripsi dan olah data di dalamnya, mungkin saja aku bisa lulus lebih awal. Sayang, memang masa muda lebih mudah menimbulkan emosi, termasuk benci. Cinta, tentu saja!