Ngaradinan Bayi di Gehol: Ritual Bertujuan Mulia yang Kian Hilang

9:30:00 AM Unknown 0 Comments


Menyambut kelahiran bayi bagi masyarakat Gehol tidaklah sesederhana masyarakat modern. Banyak rangkaian ritual magis yang dilakukan agar anak-anak yang lahir kemudian menjadi manusia yang luhur secara budi dan akal. Salah satu ritual yang dahulu wajib dilakukan adalah ngaradinan.

Ngaradinan sendiri memiliki kata dasar radin. Ini adalah kata yang termasuk arkaik atau kuno dan kini jarang digunakan lagi. Arti radin bisa ditelusuri dari sebuah kalimat yang ada dalam naskah kuno yang berbunyi, "caang radin di sarira". Kalimat tersebut jika diterjemahkan secara konteks maka akan muncul arti "jiwa yang terang-benderang".

Jika dikonotasikan ke dalam simbol-simbol kehidupan, maka kata terang tentu saja berkonotasi positif. Pelaksanaan ritual ngaradinan bisa dimaknai sebagai sebuah usaha dari orang tua agar sang bayi memiliki kehidupan yang baik. Kehidupan yang baik akan bisa terlaksana jika sang bayi memiliki jiwa yang bersih. Kebersihan jiwa inilah tujuan utama diadakannya ritual ngaradinan

Jangan dikira bahwa warga Gehol jaman dahulu yang melakukan ritual ini tidak memikirkan kehidupan yang akan tiba sesudah kematian datang. Ngaradinan sendiri merupakan salah satu jenis ritual magis putih atau bertujuan baik. Dalam sebuah naskah Sunda bernama Sewaka Darma, tujuan ritual yang dilakukan dengan mengalungi leher dan menggelangi kaki dan tangan dengan benang putih ini bertujuan agar sang bayi kelak menjadi manusia dengan pendirian kuat.

Makna mengikat tali pada tangan, kaki, dan leher adalah agar sang anak mampu mengendalikan tangan, kaki, penglihatan, penciuman, dan pendengaran saat dewasa nanti. Anak juga diharapkan mampu mengendalikan lisannya dari ucapan buruk sehingga hidup mereka bahagia tidak hanya di dunia yang fana ini, namun juga kelak di alam keabadian atau akhirat. Sebuah tujuan yang religius dan mulia namun karena minimnya kemampuan masyarakat modern sering kali hal ini dianggap ritual sesat.

Dalam pandangan masyarakat Gehol, kebaikan dalam menjalani hidup merupakan sebuah keniscayaan. Karena menjalani hidup dengan penuh kebaikan merupakan jalan yang paling sahih ketika seseorang kelak kembali kepada sang pemilik. Tidak mungkin seseorang akan bisa kembali kepada Tuhan yang menciptakannya jika laku lampah yang dijalani tidak sesuai dengan tuntunannya.

Hingga sebelum pergantian milenium, ritual ngaradinan masih akrab dengan masyarakat Gehol. Salah satu buktinya adalah ketika seorang anak nakal, maka biasanya keluar ucapak "jiga nu teu diradinan" dari orang-orang yang lebih tua. Kalimat tersebut secara harfiah berarti "kok kamu seperti belum pernah diradinan", artinya si anak menunjukkan perilaku yang tidak atau belum sesuai dengan tuntunan kebaikan yang diajarkan.

Kini, ngaradinan  sudah sangat jarang ditemui. Salah satunya adalah karena proses kelahiran bayi kini menggunakan jasa bidan atau dokter. Tentu saja, masyarakat modern - demikian kita mengklaim kita sendiri - tak membutuhkan segala macam ritual dalam menyambut kelahiran bayi. Bagi kita sekarang, cukuplah bayi diberi asupan gizi yang baik, disuruh ngaji, dan diberikan sekolah yang baik. Maka, jangan heran banyak anak-anak modern yang kemudian gagap menghadapi kehidupan yang keras.

Selain tuntutan modernitas, pandangan tokoh agama yang sering mengecap segala sesuatu dengan sebutan haram, kafir, dan musyrik sering kali membuat warga takut melakukan ritual. Padahal jika kita kaji, banyak nilai-nilai luhur yang bisa diambil dari ritual-ritual jaman dahulu asal kita mau mempelajarinya. Bukankah terbukti saat ini banyak kerusakan alam dan laku lampah manusia yang salah satunya adalah terlalu menyepelekan segala nasihat orang-orang jaman dahulu. Celakanya, banyak nasihat-nasihat yang dibungkus dengan ritual sehingga semuanya dianggap sebagai perilaku yang melanggar ajaran agama.

Jadi, sudahkah kalian diradinan wahai generasi masa kini?






0 comments: