Mengurai Mitos Samagaha dalam Masyarakat Gehol

9:43:00 AM Unknown 0 Comments

Fenomena gerhana matahari total menyita perhatian hampir separuh negeri. Mereka berlomba menjadikan fenomena yang konon datang setiap 33 tahun sekali ini sebagai ajang meraup keuntungan. Bukan saja keuntungan ekonomi, keuntungan lain dalam bidang politik pun sering dikait-kaitkan.

Namun, tak usahlah terlalu berharap bahwa kita akan mendapatkan keuntungan uang melimpah dan politik yang mujur dengan adanya gerhana matahari ini. Bagi saya, menikmatinya dalam kesendirian atau bersama orang tercinta tanpa membahayakan mata sudah cukup. Tak perlu terlalu berharap terhadap hal-hal yang tak biasa karena bisa-bisa kita dituduh subversif terhadap keyakinan yang sudah mapan.


Di Gehol sendiri, gerhana biasa disebut samagaha. Sayangnya, hingga tulisan ini dibuat arti kata samagaha secara pasti belum saya ketahui. Saat samagaha terjadi, masyarakat konon akan memukul benda-benda yang berbunyi nyaring agar matahari lepas kembali. Menurut kepercayaan orang dahulu, gerhana terjadi ketika raksasa Batara Kala hendak menelan matahari. Memukul benda-benda yang berbunyi nyaring dimaksudkan agar Batara Kala merasa bising sehingga segera memuntahkan kembali sang matahari.

Selain itu, masyarakat disarankan untuk bersembunyi di kolong meja dan dilarang melihat langsung kejadian pemangsaan matahari oleh sang raksasa. Saat ini, ilmu pengetahuan membuktikan bahwa melihat langsung gerhana matahari memang membahayakan. Mereka yang hendak melihat proses gerhana matahari, disarankan memakai alat khusus agar tidak membahayakan organ mata. 

Apakah kepercayaan tersebut salah dianut oleh masyarakat jaman dahulu? Tentu saja jika ditinjau pengetahuan kita yang sekarang mengenai bagaimana proses gerhana terjadi maka yang muncul adalah sinisme sekaligus tertawa mengejek. Namun bagi saya, hal itu merupakan sebuah jawaban yang mampu diberikan oleh leluhur kita. Ingat, para leluhur kita adalah orang-orang yang sibuk dengan pekerjaannya sehingga tak banyak waktu untuk memberikan jawaban kepada setiap pertanyaan anak-anaknya. 

Para orang tua kita harus pergi pagi dan pulang menjelang malam demi melangsungkan kehidupan anak dan istri mereka. Coba bayangkan jika kau lelah dan menerima sederet pertanyaan memusingkan anak-anak kecil yang tak kunjung habis? Maka, bisa dimengerti kenapa mereka menjelaskannya lewat mitos-mitos yang membuat anak-anak kemudian harus bersembunyi ke ketiak bapaknya.

Tentu saja berbeda dengan bangsa Barat yang memang sudah terbiasa mengutamakan membaca, menulis, dan mempelajari fenomena alam dari sudut pandang logis. Itu pun bisa dilakukan pasca mereka lepas dari cengkeraman gereja yang begitu kuat memberangus pemikiran logis waktu itu. Bangsa kita, selain cengkeraman kaum beriman yang begitu kuat memagari pertanyaan logis, juga ada cengkeraman kaum bangwasan yang tak menghendaki rakyat jelata bisa berpikir logis. Maka jangan heran jika rakyat jelata kemudian membenamkan atau dibenamkan dalam mitos-mitos tak keruan agar nalar mereka tersumbat sehingga rela menjadi abdi tanpa banyak tanya.

Otoritas-otoritas yang otoriter inilah yang kemudian akan menafsirkan segala fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Mereka pulalah yang kemudian akan memegang kuncci solusi sehingga kaum proletar model masyarakat Gehol tempo dulu kian terkungkung dalam genggaman. Sayangnya, kungkungan kaum priyayi hingga kini pun sulit lepas. Tengok saja betapa masih banyak yang membungkuk hormat kepada para pemilik pangkat meski yang berpangkat tersebut berotak dungu dan berkelakuan paria.


0 comments: