Pertarunganpun tak bisa dihindari. Ratu Balakasura dengan kalap menyerang Gusti Hening dan Pantun tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk turun dari kuda dan bicara. Ia langsung menyerang dengan segenap kekuatan. Binasalah yang ia harapkan kepada dua orang yang dianggap musuhnya tersebut.
Demi mendapat serangan membabi-buta seperti itu, Gusti Hening dan Pantun tak mau main-main. Mereka langsung juga mengeluarkan kekuatan tanpa tedeng aling-aling. Maka bukit tempat mereka bertarung pun penuh getaran-getaran dan suara menakutkan. Mereka yang melihat pertarungan ini sejatinya hanya melihat bayangan yang berkelebat kesana-kemari.
Sun Geyo yang baru tiba pun demikian. Matanya terasa pusing mengikuti kemana arah bayangan yang tak benti bergerak. Masing-masing bayangan mengeluarkan sinar yang menyilaukan. Sinar-sinar berkekuatan tinggi tersebut membuat banyak pohon kecil roboh dan tanah amblas. Sun Geyo juga kebingungan menentukian yang mana bayangan junjungannya dan mana bayangan Ratu Balakasura.
Di tengah pertarungan yang entah kapan berhenti tersebut, tiba-tiba gelegar guntur membahana. Hujan deras laksana badai mengguyur Gehol yang selama ini meranggas. Derasnya hujan dan ledakan guntur tidak menyurutkan pertarungan ketiga orang berilmu sakti tersebut. Masing-masing tetap berusaha menjatuhkan lawannya.
Pantun alias Gajah Putra Sunda telah mengeluarkan ilmu Karang demi menahan serangan berbahaya Balakasura. Gusti Hening memacu serangannya dengan dilapisi ajian Karang Kemukten, jika orang biasa siapapun yang terkena ajian ini akan hancur berantakan laksana batu kapur dihantam karang.
Balakasura tentu saja tidak tinggal diam, ia telah mengeluarkan ilmu Sagara Geni yang membuat api berkobar dimana-mana. Api abadi yang tidak padam meski hujan mengguyur. Jangankan tubuh manusia, bahkan batu pun meleleh dibuatnya.
Ketiganya terus bertarung hingga di suatu saat sebuah pukulan Gidam Alugora milik Pantun dilayangkan sekuat tenaga dan mengenai tubuh Balakasura. Kontan saja, tubuh nenek sakti tersebut melayang disertai lengking kesakitan yang dahsyat. Gusti Hening kemudian mengeluarkan ajian Karang Kemukten dengan kekuatan tenaga dalam penuh, hantamannya mengenai dada Balakasura yang membuat nenek ini megap-megap meregang nyawa.
"Tiji tibeh, aku tak sudi mati sendiri. Kalian harus ikut menemaniku menghadap para dewa," ujar Balakasura sambil memegangi dadanya yang sesak. Darah hitam kental mengucur dari sisi bibirnya yang hitam.
"Sagara Geni!" ujar Balakasura sambil melompat ke arah Pantun dan Gusti Hening. Tangannya yang mengeluarkan api mahapanas kemudian menyasar kedua musuhnya.
Entah ilmu apa yang dipakai Balakasura tiba-tiba kedua tangannya yang berapi memanjang dan membesar. Kontan saja Gusti Hening dan Pantun kelabakan. Karena tak bisa menghindar keduanya sepakat mengeluarkan ajian pamungkas dengan tenaga penghabisan.
"Karang Kemukten," teriak Gusti Hening sambil menabrakkan diri ke arah tangan Balakasura yang membesar dan berapi mahapanas.
"Palu Alugoraa," lengking Pantun seraya melakukan hal yang sama dengan Gusti Hening.
Sedetik kemudian, terdengar ledakkan yang memekakkan telinga bagi siapapun yeng mendengarnya. Ledakan beradunya kekuatan tersebut membuat tempat pertarungan berubah menjadi lubang cekung sangat besar. Sementara itu, tubuh Balakasura menclat ke arah Ci Hirup meninggalkan jalur yang dalam sehingga membuat Ci Gunung jalurnya membesar. Tubuhnya berhenti di sebuah karang yang tadinya berada di sisi sungai namun karena ledakan dan sapuan tubunya kini berada di tengah sungai. Tubuh tersebut terhenyak sembari kehilangan nyawa kemudian meledak meninggalkan sebuah lubang yang sangat dalam.
Gusti Hening juga demikian, tubuhnya menclat ke arah Timur dan meledak membuat tebing di sisi itu roboh beserta pepohonan yang tumbuh di atasnya. Akibat ledakan tersebut, bukit yang tadinya menjulang kemudian jadi landai.
Pantun yang mengeluarkan ilmu sambil menabrakkan diri ke arah Balakasura pun demikian. Tubuhnya melayang jauh ke arah utara dan membentuk lubang besar di bawah sebuah pohon kiara yang teramat besar. Anehnya, lubang tersebut mjengeluarkan air yang sangat deras dengan warna bening nan harum.
Hingga kini, bekas pertarungan ketiganya tetap ada. Bukit tempat Gusti Hening meledak dinamakan Sagara Hening. Mata air tempat Pantun jatuh dan mengeluarkan air bening dan harum dinamakan Ci Pantun. Sedangkan jalur besar Ci Gunung yang dibuat Balakasura dinamakan Petahunan. Di tempat inilah, Balakasura setahun sekali meminta korban. Demi menghindarinya, par apenduduk kemudian melakukan upacara menolak balakasura, yang lama kelamaan dinamakan jadi tolak bala.
Sementara itu Gehol kembali normal. Pembentukan lewi diteruskan dan hingga kini masih ada dan dinamakan Ci Lewi. Sun Geyo sendiri kemudian menjadi penguasa Gehol sebab para petingginya telah punah. Lalu negeri itu dinamakan Negeri Ngeyo untuk mengabadikan jasa Sun Geyo.
(tamat)
0 comments: