Belulang di Mungkal Tumpang (6)

Pramponama mengambil jubah kebesarannya dan memakainya secepat kilat. Ia juga mengambil tongkat Kiai Kunclungan yang selalu setia kemana ia pergi. Ia kemudian menggeser lemari bukunya kea rah kiri. Di balik lemari dengan buku, rontal, dan gulungan papyrus  tersebut terdapat sebuah lorong yang memiiki sebuah kotak berongga. Kotak itu dimasukinya dan dengan menyentuh sebuah tombol di samping kiri, meluncurlah kotak tersebut ke arah bawah.

Kotak yang mampu menggantikan peran tangga ini biasa ia gunakan saat akan menuju tempat persemediannya di Gua Jatindra. Kotak ini menyambungkan langsung kamarnya di puncak bangunan utama Padepokan Swargalega ke Gua Jatindra. Keajaiban kotak ini bukan hanya bisa meluncur dari atas ke bawah, namun juga sebaliknya.

Bagi sebagian murid Swargalega, kecepatan turun dan naik Pramponama sangat mengesankan. Padahal, tanpa kota tersebut, lelaki setengah baya yang gila teks ini pasti akan ngos-ngosan turun naik ke kamarnya dengan tangga. Namun, demi meninggikan pamornya, keberadaan kotak yang ia buat dengan mempelajari teks-teks kuno tersebut tetap ia rahasiakan.

Kini kotak tersebut telah sampai di ujung lorong yang menghubungkan Gua Jatindra sekaligus perpustakaan pribadi dengan bagian paling bawah dari bangunan utama tempat ia tinggal. Dengan bergegas ia menyalakan obor yang menempel sepanjang dinding lorong. Suasana kemudian berubah jadi terang benderang dan jalan menuju Gua Jatindra di lorong tersebut kian jelas.

Kehebatan Pramponama dalam menelaah teks-teks kuno bukan terletak pada ketekunannya membaca, namun melaksanakan apa yang ia baca. Penerangan yang menyala sepanjang lorong tersebut adalah salah satu hasil ia membaca teks tua. Ia cukup menyalakan salah satu obor, maka obor-obor yang lain akan menyala dengan sendirinya.

Sementara itu, Sarju dan Jatianom terkejut demi melihat berkas cayaha dari salah satu ujung lorong. Mereka tanpa sengaja menyentuh salah satu lukisan bergambar binatang yang belum mereka temui. Tekanan mereka pada lukisan membuat tombol yang ada di belakangnya tertekan dan membukalah sebuah pintu yang bergeser menyamping.

Antara kagum dan terkejut, Sarju dan Jatianom kemudian segera berlari mengarungi lorong yang penuh dengan jajaran rak-rak berisi berbagai macam benda.

“Sebelah sini,” ujar Sarju saat menemukan sebuah celah gelap dalam ruangan yang terasa sangat luas tersebut.

Mereka kemudian menyandarkan diri pada dinding ruangan yang terasa agak dingin dan lembab tersebut. Sayup-sayup mereka mendengar suara langkah kaki berirama dengan ditingkahi ketukan kayu. Itu adalah suara langkah Pramponama yang ditopang dengan tongkat kebesarannya yang diberi nama Kiai Kunclungan.
Sementara Sarju dan Jatianom kian mengkerutkan diri agar tidak dilihat oleh siapapun yang memasuki ruangan, Pramponama telah sampai di pintu. Ia yang tahu cara membukanya langsung saja menyentuh lukisan bergambar gajah berbulu yang dalam teks-teks kuno disebut Mammoth.

Pintu terbuka dan ia segera memasuki ruangan tempat ia menyimpan segala bentuk tulisan dan artefak-artefak yang mengaitkan dengan masa lalu. Ia langsung hendak menuju meja besarnya yang menampilkan hamparan peta dunia masa lalu.

Namun, ia menghentikan langkah demi mendapatkan penanda yang ia pasang untuk mengetahui apakah ada orang masuk atau tidak kini tidak dalam posisi seperti seharusnya. Penanda tersebut berupa cendawan yang memancarkan cahaya saat keadaan ruangan gelap. Saat ini, cendawan yang ia pasang dibawah karpet yang membatasi pintu masuk dan ruangan terlihat ada beberapa bagian yang tidak menyala. Ia sadar betul telah ada yang menginjak cendawan tersebut sehingga beberapa bagian jadi tidak menyala.

Pramponama kemudian memutuskan untuk bersikap biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa. Meski ia sangat mengagumi semua yang ada dalam ruangan tersebut, namun ia sadar bahwa di masa kini, sangat kecil kemungkinan ada orang berniat jahat terhadap teks-teks kuno. Saat semua manusia ditakut-takuti dengan kisah-kisah menyeramkan, hanya ia saja yang mau membaca hal-hal yang benar-benar berkaitan dengan kejayaan dan peradaban masa lalu.

Ia kemudian tetap melanjutkan langkahnya menuju meja kebesarannya. Ia juga yakin, bahwa orang atau makhluk apapun yang memasuki ruangan tersebut masih ada dalam ruangan itu juga. Ia tersenyum kemudian duduk menekur di atas gambaran peta peradaban dunia di masa lalu.

Tepat di ujung ruangan yang tidak tersentuh cahaya, Sarju dan Jatianom kian mengerutkan badan demi melihat ada Pramponama masuk. Dari tongkat dan jubah yang dipakai, kedua makhluk berbeda ras ini tahu bahwa di depan mereka ada pemilik tempat yang mereka susupi tanpa ijin.

(bersambung)

Belulang di Mungkal Tumpang (5)

Sarju dan Jatianom segera menyusuri daerah yang merupakan daerah paling gelap di kompleks Swargalega. Mereka berusaha agar sejauh mungkin menjauhi cahaya yang dipasang di setiap sudut bangunan. Mereka berjalan sedekat mungkin dengan dinding bukit kecil yang ada di puncak Cikadingding tersebut.

“Cepat masuk!” ujar Sarju pada Jatianom saat menemukan sebuah celah di bukit tersebut. 

Tanpa mereka sadari, mereka telah memasuki tempat paling dilarang di Kompleks Swargalega. Ya, celah yang mereka masuki adalah jalan masuk lain ke gua tempat Pramponama semedi dan mempelajari teks-teks kuno yang berisi sejarah dan ilmu pengetahuan dari masa lalu.

Lulu: Nama Semua Bayi di Gehol

Untitled Document
Tradisi menamai di Gehol sudah ada dalam artikel sebelumnya yang berjudul Cara Unik Menamai Anak di Gehol. Nah, jika sebelumnya hanya bercerita tentang huruf awal yang direkomendasikan dipakan berdasarkan hari, maka kali ini akan diulas mengenai perlakuan orang tua pada anak yang baru lahir.
Di Gehol, setiap anak yang lahir akan diperlakukan dengan sangat istimewa. Jika saat lahir dan perlakuan terhadap ari-ari hamper sama dengan semua tradisi di Indonesia, maka penamaan menunjukkan cirri khas yang sukar ditemui di tempat lain.
Bayi-bayi yang lahir di Gehol dipandang suci sesuci-sucinya. Selama empat puluh hari, si bayi akan ditunggui orang tuanya setiap malam. Selama empat puluh hari itu, setiap malam para orang tua yang tinggal seatap dengan si bayi akan bergiliran menjaga. Tak jarang, tetangga ikut juga menemani.
Acara lek-lekan ini dilakukan salah satunya untuk menjaga agar si bayi tetap selamat. Warga Gehol berpendapat bahwa waktu paling rawan bagi para bayi adalah empat puluh hari pertama seja ia dilahirkan. Untuk itu, demi menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan, maka menjaga bayi di malam hari menjadi tradisi dan kewajiban kaum lelaki.
Selain itu, di Gehol dahulu kala banyak berkeliaran pemilik teluh yang mengincar nyawa bayi. Karena bayi masih suci, nyawa mereka sangat diinginkan oleh kaum yang berserikat dengan iblis alias muja. Biasanya, teluh ini berbentuk cahaya yang malang-melintang di langit Gehol. Karena bentuknya seperti meteor, maka saat meteor asli memperlihatkan wujud sering pula warga berteriak-teriak teluh.
Nah, yang paling unik adalah selama empat puluh hari tersebut si jabang bayi tidak akan diberi nama. Para bayi yang lahir di Gehol akan diberi nama sementara, Lulu. Otomatis, nama Lulu adalah nama semua bayi yang ada di Gehol. Entah kenapa nama ini yang dipakai untuk menamai selama empat puluh hari awal hidup mereka.
Nama Lulu sendiri akhirnya sangat jarang ditemui pada warga asli Gehol. Jika si Lulu yang paling dikenal masyarakat Jakarta adalah adik dari Lupus, maka di Gehol Lulu adalah nama yangt pasti dilekatkan pada bayi yang baru lahir. Otomatis, tak ada anak-anak, dewasa, dan orang tua yang memiliki nama Lulu. Karena semua warga yang lahir di Gehol pada awalnya adalah Lulu.
Unik bukan? Sulit ditemukan di bagian lain di bumi ini yang menjalankan tradisi ini. Jadi, jika Anda menanyakan siapa nama bayi yang baru lahir di Gehol, sebanyak apapun bayi yang lahir, nama mereka adalah Lulu. Si Lulu.

Belulang di Mungkal Tumpang (4)



Padepokan Swargalega memiliki kompleks yang sangat megah. Kemegahannya hanya bisa disejajarkan dengan Kompleks Istana Geholsraya. Meski harus diakui bahwa cita rasa seni Pramponama jauh lebih kuat dan agung dari Sukamdani, penguasa Geholsraya.

Keagungan seni yang ditunjukkan Pramponama dalam bangunan Padepokan Swargalega terlihat amat megah. Lihat saja letak bangunan yang menjulang pada sebuah kawasan yang pintu masuknya harus melalui pesisir Cigunung. Bangunan tersebut terletak di sebuah batu karang yang berukuran sangat luas, hamper setengah Gehol ibukota Geholsraya. Daerah yang dinamakan Cikadingding tersebut adalah wilayah yang sangat dihindari setelah hutan Tumaregol.

Belulang di Mungkal Tumpang (3)

Sarju dan Jatianom sama-sama tertarik dengan dongeng-dongeng lama. Mereka yakin bahwa dongeng yang diceritakan leluhur mereka memiliki akurasi kebenaran yang mengagumkan.

“Di masa lalu, ketika semua bangsa masih suka kedamaian, bangsamu, bangsaku, dan bangsa-bangsa yang kini dianggap cuma mitos bersatu dan saling membantu,” ujar Sarju.

“Sayang, semua hilang hanya karena berebut batu.” Sarju meneruskan ceritanya.