Pilkada DKI oleh Si Bodoh


Permainan lempar gelang tentu hampir semua tahu. Permainan yang doleh sebagian orang dikategorikan judi ini menuntut keahlian yang mumpuni jika tak ingin rugi. Ketepatan membidik sekaligus kesabaran mungkin merupakan kuncinya. Tentu saja, keberuntungan mutlak diperlukan.

Bayangkan saja, hadiah yang disediakan adalah jejeran botol minuman ringan tanpa penghalang, botol minuman berenergi yang di atasnya diberi potongan kayu, minuman ringan berukuran besar yang diganduli rokok, hingga ponsel. Tentu saja ponsel yang dijadikan hadiah adalah handphone dengan papan ketik qwerty yang tentu saja besar. Yang pasti, dengan diameter gelang yang hanya sedikit lebih besar dari mulut botol tentu hal yang sulit agar tidak merugi.

Dengan alat yang dibuat demikian tersebut, maka peluang paling besar hanya memperebutkan hadiah berupa botol minuam ringan seharga tiga ribu rupiah. Harga yang harus ditebus untuk dapat melemparkannya adalah seribu rupiah untuk enam gelang. Jika  akurasi lemparan, kesabaran, dan keberuntungan menyatu, bukan tidak mungkin dengan uang seribu minimal mendapatkan satu botol minuman. Namun jika ketiganya jauh dari diri Anda, maka cukuplah mendapat kesenangan sebagai gantinya. Jika bukan kejengkelan.

Berkaca dari Muamba

Stop Kekerasan di TV

Saat Fabrice Muamba kolaps di lapangan, hingga kini tak ada tayangan resmi dari penyelenggara Liga Primer Inggris. Sebuah sikap terpuji yang dilakukan demi menghormati seseorang yang berjuang dengan maut. Sesuatu yang sangat jarang dilakukan oleh pers kita.

Tengok saja beberapa kasus yang memperlihatkan kekerasan yang bahkan sampai merenggut korban jiwa namun lolos dari sensor di negeri ini. Kerusuhan di Jakarta Utara saat Satpol PP hendak menggusur Makan Mbah Priuk contohnya. Dengan massiv beberapa televisi menayangkan adegan warga sipil membantai petugas yang sudah terkapar tak berdaya. Bukan hanya gambar bergerak, bahkan fotonya bertebaran di hampir semua sampul media cetak selama beberapa hari. Sadis!


Pekerjaan Mematikan di Jakarta


Pekerjaan Berbahaya

Jakarta adalah kawah candradimuka bagi manusia Indonesia. Kesuksesan di Jakarta adalah jaminan mutu untuk melanjutkan sukses di daerah. Bahkan jikapun gagal di Jakarta, bekal pengalaman di Jakarta bisa dijadikan pijakan untuk meraih sukses di daerah. Setidaknya begitulah asumsi hampir semua orang selama ini.

Maka membludaklah Jakarta dengan segenap pekerjanya mulai dari yang dianggap professional, semipro, hingga dianggap tidak professional. Kasar, kantoran, dan entah apalagi sebutannya. Semua diklasifikasikan menurut tempat, jenis pekerjaan, besaran gaji, pakaian, jam kerja, hingga daerah asal.

Dari hiruk pikuk manusia Indonesia yang mengais rezeki di Jakarta, tidak sepenuhnya risiko yang ditanggung sebanding dengan hasil yang didapat. Namun hitung-hitungan materi tak semata mampu mendefinisikan dengan jelas pekerjaan yang dilakukan. Banyak yang harus dilihat karena tidak semua yang terlihat bisa ditarik kesimpulan yang objektif.

Yang Harus Dibela, Manusia atau Monyet?


Mereka yang Kurang Beruntung

Datanglah ke Ibu Kota Indonesia, maka telah begitu banyak monyet-monyet yang menari-nari di pinggir jalan, keluar masuk gang, hingga pelataran sekolah-sekolah. Mereka bukan monyet liat tentu saja, tapi mereka adalah monyet-monyet perkasa yang berjasa pada tuannya.

Ada yang sekedar dibekali dengan motor-motoran, topeng, kuda lumping mini, hingga ada juga yang di temani dengan hangar binger musik. Pemiliknyapun beragam, ada yang bermain solo mulai dari main musik, mecut, hingga mengajarkan trik-trik mengundang decak tawa penontonnya.  Ada juga yang orkestra dengan minimal tiga orang. Biasanya ada yang khusus menangani gendang, gambang atau saron mini, dan atraksi.

Para tukang topeng monyet yang seorang diri beroperasi biasanya berlapak di tepi jalan, terutama perempatan. Sementara itu, yang berkelompok biasa menghibur anak-anak menengah ke bawah di kompleks atau gang-gang. Keduanya sama, memeras tenaga sang kera demi rupiah.

Bawangku Sayang, Bawangku Malang


Kebun Bawang
Dua puluh tahun lalu, sepulang sekolah aku punya kegiatan rutin yang bisa dibilang menyenangkan meski melelahkan. Nyenggot! Ini adalah sistem perairan demi mengairi kebun bawang merah. Sebuah komoditi paling terhormat setelah cengkeh yang rontok dan beras yang dihormati karena wajib demi memenuhi perut.

Nyenggot terjadi karena saluran irigasi tidak mungkin secara alami mengairi kebun bawang. Hal ini karena kebun bawang berada lebih tinggi daripada saluran air. Nyenggot sendiri bisa disamakan dengan mengerek air dari sumur. Hanya saja mekanisme kerjanya mirip portal di kompleks perumahan. Portal diberi beban di ujungnya dan ujung satunya diberi tali dan timba.

Saat keadaan kosong, timba dikerek agar bisa mengambil air dari saluran irigasi. Karena diujung bambu (biasanya memakai bambu yang lebih murah dan mudah) terdapat beban yang cukup berat, maka timba yang berisi air dengan sendirinya mudah diangkat. Nyenggot sendiri hanya membutuhkan keterampilan dan kemampuan tangan. Tubuh penyenggot sendiri dibuat senyaman mungkin. Biasanya disediakan tempat duduk sederhana demi menyamankan penyenggot. Karena rajin nyenggot itulah, tubuh kurusku lumayan berotot meski terkendala dengan makanan lima sehat dan empat sempurna.