Unggah-unggahan: Paling Dinanti Anak Sekolah Gehol

Di kampungku, Gehol alias Jetak sana, dahulu hanya ada dua sekolah SD. Meski kini ada sekolah SMP berbasis keagamaan, namun cuma hal yang sangat menarik menyangkut masa sekolah SD di Gehol yang hendak disharing di sini. Karena penulis adalah produk lokal edisi lama, maka kenikmatan mengecap sekolah SD tentu salah satu yang sayang untuk dilupakan.



Sebagai anak kampung, maka makan enak dengan lauk telur, daging ayam, daging kambing atau sapi sangat jarang dilakukan. Saing jarangnya, makan dengan lauk istimewa di atas bisa dihitung dengan jari. Lebaran Puasa, Lebaran Haji, Bada Bumi (sudah punah), Hajatan, ayam milik sendiri mati, dan unggah-unggahan adalah waktu dimana anak-anak kampung pasti makan lauk istimewa.

Semasa sekolah di tingkat paling dasar - saat itu TK belum menjamah kampungku - banyak hal yang seakan menjadi tradisi dan wajib dilaksanakan para siswa. Salah satu tradisi yang sangat kuat dan dinanti-nanti oleh para murid adalah hari kenaikan kelas. Jujur, meski takut tidak naik, namun bukan apakah kami naik ke kelas yang lebih tinggi atau bukan yang membuat kami sangat antusias menyambut kenaikan kelas. Yang paling kami tunggu adalah, unggah-unggahan.

Unggah-unggahan secara etimologi berasal dari kata unggah (Jawa) yang berarti naik. Tentu saja masuk akal memakai istilah tersebut (meski kampung ane berbahasa Sunda) dalam acara naik kelas. Sebab memang tujuannya adalah merayakan kenaikan kelas, alias munggah kelas.

Lalu apakah yang menyebabkan unggah-unggahan begitu ditunggu anak sekolah? Karena dalam acara ini, semua murid dibekali makanan terenak oleh orang tua masing-masing. Bisa jadi - dan pasti begitu-, anak-anak kampungku lebih kenal dengan perayaan unggah-unggahan daripada ulang tahunnya sendiri.

Makanan yang diberikan oleh orang tua masing-masing memang sengaja dibuat seenak dan semewah mungkin. Sebagai anak-anak yang berasal dari kaum miskin dan berekonomi sedang, tentu kami sangat menanti kegiatan ini. Selain karena jarang sekali mendapatkan makanan spesial, makan bersama teman sekelas (bahkan satu sekolah) adalah kenikmatan lebih.

Secara teknis, urutan unggah-unggahan sangat sederhana. Karena hari istimewa, maka sekolah sudah ramai sejak pukul 6 alias lebih cepat sekitar dua jam dari hari biasa. Selayaknya anak-anak, maka sikap pamer dengan memperlihatkan lauk dimulai sejak bertemu dengan teman sekelas atau teman satu sekolahan. Saking antusiasnya memamerkan lauk dan makanan yang dibawa, tak jarang ada juga siswa yang saling ejek dan beujung berantem. Uniknya semua diam dan reda saat makanan diperbolehkan disantap.

Lalu, kapankah makanan boleh disantap? Tentu saja menunggu perintah dari guru. Oya, guru di sekolahku juga tentu tidak akan sekedar menonton. Bagi mereka telah tersedia hidangan yang dibawa oleh murid-murid yang sudah ditunjuk untuk menyediakan. Kriterianya mudah saja, sang murid berada dan mampu menyediakan hidangan istimewa buat guru.

Santapan diperbolehkan setelah kelas masuk seperti biasa dan ada basa-basi sedikit dari guru. Basa-basi yang tidak didengarkan oleh siswanya tersebut adalah perolehan nilai, siapa yang wajib dipertahankan, harus ditingkatkan dan dicambuk agar tidak mengulangi memperoleh nilai buruk. Sebuah ceramah yang bagi kami tidak penting lagi mengingat di laci masing-masing ada santapan istimewa.

Saat-saat yang membosankan para siswa masih bertambah. Sang guru akan dengan sabar membagikan rapor mulai dari urutan pertama sementara para siswa sudah entah berapa kali mengintip bekal mereka. Saat siswa terakhir mendapatkan raportnya, maka itu adalah tanda menyantap bekal unggah-unggahan bisa dimulai. Terkadang, bagi anak yang lebih berani, makanan sudah habis dilahap bahkan sebelum bel masuk berbunyi.

Yang paling seru dari unggah-unggahan adalah saling berbagai lauk antarsesama murid. Oleh karena itu, hampir semua siswa membawa lauknya lebih dari satu. Dengan sistem pertukaran tersebut, maka makin meriahlah acara makan bersama sekaligus merayakan kenaikan kelas.  Sebuah kenangan yang sayang untuk dihapus dari ingatan.


A(k)utisme Pemimpin Parpol

“Barang siapa yang dapat menahan kemarahannya yang telah memuncak seperti menahan kereta yang sedang melaju, ia patut disebut sais sejati.
Sedangkan sais lainnya hanya sebagai pemegang kendali belaka.”
Sang Budha (Dhammapada Atthakatha)



Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, autisme adalah gangguan perkembangan pada anak yang berakibat tidak dapat berkomunikasi dan tidak dapat mengekspresikan perasaan dan keinginannya sehingga perilaku hubungan dengan orang lain terganggu. Asumsi banyak orang, gejala ini mengakibatkan penderitanya hanya sibuk dengan dunianya sendiri. Segala sesuatu dipandang dari sudutnya.

Apa yang terjadi jika sais alias pemimpin, terutama pemimpin parpol, memandang suatu masalah dari sudutnya tanpa bisa menempatkan dirinya di posisi  yang seharusnya (lawannya), maka yang terjadi adalah misekspresi. Kesalahan ekspresi sekaligus menunjukkan bahwa dia tidak menguasai masalah dan tidak memiliki solusi yang tepat terhadap permasalahan yang dihadapi.

Elit Politik

Demi menahan laju popularitas Barack Obama, John McKein menyebutnya sebagai elitis. Elit yang diasosiasikan sebagai kalangan yang tidak terjangkau diharapkan dapat membuat Obama berjarak dengan akar rumput. Meski jurus tersebut mental, tak urung kesan elitis membuat kubu Obama sempat kelimpungan.

Di negeri ini, kata elit selalu dilekatkan kepada para pemimpin. Bahkan pemimpin partai politik yang membutuhkan jasa rakyat. Tiadanya tabu dalam pemakaian istilah ini menunjukkan secara langsung bahwa para pemimpin kita sejak awal mengambil jarak dengan rakyat. Jarak ini hanya kian berkembang terutama ketika rakyat mengalami kesulitan.

Secara kasat mata para pemimpin mendekat. Namun, jika dilihat lebih seksama kedekatan mereka sebenarnya untuk menunjukkan betapa elitnya mereka jika berdekatan dengan rakyat. Para pemimpin akan bertindak bak super hero yang mampu mengatasi keadaan sekaligus menghilangkan kesulitan rakyat. Rakyat seolah duafa yang mesti dan harus menunggu uluran tangan mereka untuk dapat bebas dari kesulitan. Rakyat adalah super zero.

Padahal dengan status elitnya tersebut, para pemimpin parpol hampir bisa dipastikan tidak benar-benar menguasai permasalahan yang dihadapi rakyat. Ekspresi dan interpretasi mereka akan masalah adalah salah satu indikasi bahwa apa yang mereka tawarkan jauh panggang dari api. Partai politik yang menjadi mesin kekuasaan mereka pun, hanya mahir dalam memodifikasi kata untuk mendeskripsikan betapa program mereka sesuai.

Kesalahan Ekpresi dan Intrepertasi  Masalah

Pada awal masa kampanye, iklan-iklan parpol hampir menyamai iklan rokok dalam berkampanye. Kutipan kata-kata bertuah hingga profil-profil menyentuh nurani ditampilkan. Logika kita dituntun untuk meyakini kebenaran platform partainya. Seiring dengan perjalanan masa kampanye, iklan partai politik seperti kehilanga kretivitas, sama monotonnya dengan kampanya terbuka. Kini, iklan partai tidak lebih dari suguhan tarian dan slogan belaka.

Para pemimpin politik pun kerap kali terlalu bersemangat mengekspresikan gagasannya. Marah misalnya, telah menjadi ekspresi tak terkendali yang melekat pada pemimpin politik. Panasnya suasana dan tekanan yang kiat berat membuat interpretasi mereka terhadap masalah berujung pada ekspresi yang melukai pemilik masalah. Makian yang tidak sepantasnya dialamatkan kepada rakyat.

Melihat ekspresi yang tidak mendidik tersebut, dapat disimpulkan sejauh mana kepekaan pemimpin parpol terhadap rakyat pemilik masalah dan masalah itu sendiri. Dengan mengambil pandangannya sendiri kemudian diterapkan kepada rakyat, maka marah adalah satu-satunya yang bisa dilakukan. Sang pemimpin parpol tidak atau enggan memahami bahwa satu bagi dia tidak sama nilainya bagi rakyat. Ketidaktahuan perbedaan nilai ini semakin menunjukkan kesan elitis para pemimpin parpol. Sayangnya dengan klaim sebagai pewaris negeri sebab leluhurnya berjasa, semakin menunjukkan bahwa ia adalah bukan solusi tepat. Anehnya gaung rayuan ini lebih besar daripada program yang ditawarkan.

Kritik nan Dangkal

Kemarahan dan ketidakmampuan menentukan perbedaan nilai dalam masyarakat kian menunjukkan bahwa secara konsep para pemimpin parpol tidak lebih tahu dari rakyatnya. Kemarahan ini juga dilakukan melalui kritik membabi buta atas kinerja pemerintah. Sayangnya kritik masih dalam tataran praktis belum menyentuh akar masalah yang sebenarnya. Akhirnya solusi yang ditaarkanpun hanya delusi yang berpusat pada terminologi yang ia bangun.

Solusi pribadi ini dibungkus dengan klaim dan janji-janji yang jika ditanyakan konsepnya masih berupa garis-garis putus-putus. Janji yang ditawarkan tidak sesuai dengan keadaan rakyat yang sebenarnya. Solusinya bersifat ego, dimana sasarannya adalah memenangkan simpati rakyat, bukan memperbaiki nasib rakyat. Maka bertebaranlah hal-hal yang dibutuhkan rakyat untuk sejenak menghindar dari sesaknya masalah. Kampanye pun hanya menjadi sebuah hiburan bagi masyarakat, bukan sarana mendidik.

Keakuan dalam melihat sebuah negeri merupakan tanda-tanda pemimpin parpol mengalami gangguan dalam berkomunikasi dengan rakyat. Karena tidak bisa menyasar apa dan siapa sebenarnya rakyat, maka alat yang digunakan untuk komunikasi pun menggunakan alat yang bersifat universal. Musik, pawai, dan pengumpulan massa adalah komunikasi purba dalam peradaban masyarakat. Keampuhan musik, terutama, dalam menyampaikan pesan memang telah diakui keberhasilannya.
Akan tetapi, dalam lingkup menawarkan solusi bagi perbaikan nasib rakyat, hal tersebut justru membuat para pemimpin parpol kehilangan fokus. Fokus mereka dalam menawarkan program demi rakyat yang lebih baik adalah buaian semata. Sama membuainya musik bagi pendengarnya.

Sekali lagi rakyat dianggap membutuhkan bukan dibutuhkan. Segala sesuatu mulai dari solusi dan cara penyampaian solusi adalah wewenang pemimpin parpol. Para pemimpin parpol adalah kaum elit yang memandang segala sesuatu dari “aku”nya.

Karena ini gejala nasional, maka jangan heran jika menemukannya di Gehol. Elit merasa harus dilibatkan, bukan demi meringankan derita rakyat akan tetapi lebih kepada untuk menaikkan gengsi. Ironis!

Selain Bertani, Adakah Potensi Gehol?


Melihat data dari pemerintah Brebes dan berbagai situs privat lainnya, maka Gehol praktis hanya memiliki potensi bidang pertanian. Padi dan jagung adalah produk yang bisa diandalkan warga Gehol demi melangsungkan peradaban. Bahkan dalam situs resmi pemerintah Brebes-pun, Gehol tak memiliki produk unggulan yang layak diinfokan.

Ilustrasi


Kajian menarik didapat dari Suara Merdeka, yang menyoroti potensi Brebes Selatan. Sebuah pemerintahan administratif hasil pemekaran Brebes yang digagas Kecamatan Salem, Bantarkawung, Bumiayu, Tonjong, Sirampog, dan Paguyangan. Sebuah gagasan yang hingga kini masih belum menemukan titik terang.

Lihat saja hasil dari pemetaan yang dilakukan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Teknologi Bandung (LPPM-ITB) bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Brebes berikut ini. Hasilnya menyatakan bahwa wilayah selatan Kabupaten Brebes memiliki potensi sangat besar di bidang SDA. Potensi itu antara lain batubara, emas, logam dasar (perak, tembaga, timbal dan seng), batu apung, pasir dan batu (sirtu), batu belah, tanah liat, trass, minyak bumi, dan gas bumi.

Kembali menyoroti Gehol dan potensinya, ternyata kita masih harus memikirkan secara matang apa yang bisa di gali. Dari sekian banyak potensi mulai dari industri, pertambangan dan perdagangan, Gehol masih harus gigit jari. Anugerah barang tambang di Gehol masih belum terendus. Memang ada Ranca Minyak, yang dalam bahasa Indonesia berarti rawa berisi minyak, namun kajian yang minim membuatnya jauh dari harapan untuk dieksploitasi.

Industri Gehol masih dalam tahap pemikiran dan perencanaan yang entah hingga kapan menemui bentuk. Selain bahan baku, infrastruktur yang masih belum memadai adalah faktor utamanya. Industri yang bisa dikembangkan kemungkinan tidak bisa massif dan massal. Kemungkinan hanya berupa industri perorangan dengan penyerapan tenaga kerja yang minim. Perdaganganpun tentu masih terkait dengan potensi yang sudah ada. Pertanian.

Ada memang potensi sumber daya alam berupa air bersih. Namun itupun harus berjibaku dulu dengan pemerintah daerah jika ingin hasil lebih untuk Gehol. Sebab meski berada tepat di Jetak alias Gehol, pengembangannya telah dikuasai oleh pemerintah. Entah melalui tangan siapa, atau perusahaan siapa. Yang jelas, warga Gehol harus antri menikmati airnya. Maklum gratis!

Pertanian yang paling memungkinkan dikembangkan dengan serius adalah padi dan jagung. Terdapat juga beberapa sentra bawang merah. Namun sayangnya, kondisi musim yang kian tak teratur membuat produksinya kian menurun. Bahkan sawah irigasipun kian mengkhawatirkan. Kondisi irigasi yang kurang pasokan air dan pemeliharaan yang tak maksimal membuat banyak petani merugi. Hal yang sama juga terjadi dalam industri peternakan.

Mencoba beralih ke potensi wisata dengan mengandalkan adanya bendunganpun sangat sulit. Sebab menikmati keindahan alam tentulah sebaiknya gratis. Bukankah alam adalah anugerah Tuhan. Jadi tak pantas rasanya mengkomersilkan alam apalagi bendungan tersebut adalah milik umum dan sangat penting bagi kehidupan petani. Jikapun mungkin, maka potensi perikanan air tawar seharusnya bisa dikembangkan.

Potensi lainnya yang masih mungkin dikembangkan dengan baik tentu saja kekayaan alam berupa sirtu (pasir dan batu) sungai. Sayangnya hal ini berisiko terhadap kerusakan lingkungan Gehol. Namun hal tersebut bisa diminimalisir asal menjalankannya dengan kajian yang matang.

Dengan minimnya potensi yang bisa dikembangkan, maka perlu kajian mendalam agar Gehol bisa selangkah lebih maju dari kampung lainnya. Potensi yang sudah ada seperti perikanan air tawar dan penambangan batu dan pasir harus dikedepankan kajiannya. Tambahan lainnya berupa industri perkayuan dengan bahan baku melimpah milik Perhutani.




Gunung Geulis, Penjaga Gehol yang Kian Pucat

Gehol dianugerahi banyak karunia Tuhan dari segi geografis. Dengan lokasi yang dikelilingi bukit dan dialiri sungai besar, Cigunung, maka seharusnya kemakmuran warga Gehol bukan sekedar impian.

Kebotakan G. Geulis


Sayangnya, karunia besar tersebut tidak diimbangi dengan komitmen kuat menjaga lingkungan demi masa depan. Perilaku yang serakah mengeksploitasi kekayaan alam membuat lingkungan sekitar Gehol kian menyedihkan.

Udara Gehol kini teramat panas terutama saat musim kemarau datang. Kian sedikitnya pohon yang memayungi karena dijadikan bahan bangunan, kayu bakar dan keperluan lainnya menjadi salah satu sebabnya. Keserakahan kian telihat jika melihat sebagian besar bukit yang mengelilingi Gehol tandus.

Gunung Guelis merupakan salah satu yang paling mencolok. Berdiri tegak di samping Bendungan Petahunan membuatnya mudah terlihat. Persisi seperti bidadari di tengah kerumunan kurcaci. Tegak anggun dengan pesona yang meski menua dan memudar namun tetap memikat.

Sisa-sisa Kecantikan G. Geulis

Keanggunan Gunung Geulis sekaligus juga kekhawatiran besar bagi warga Gehol. Sebab karena tandusnya, setiap kemarau sebagian bukitnya seolah akan ambruk menindih Bendungan Petahunan. Bisa dibayangkan akibatnya, jika sungai yang meski kini kian menyusut airnya, aliran yang melewati Bendungan Petahunan akan tertutup sehingga rentan menyebabkan banjir.

Dalam keadaan normal, gunung ini adalah sumber pesona Gehol yang banyak diliputi hawa mistis. Dari namanya saja, sudah terlihat betapa gunung ini erat kaitannya dengan sosok perempuan. Geulis adalah bahasa Sunda yang memiliki arti cantik.

Mistisisme memang tak pernah lepas dari kehidupan warga Gehol. Namun, semenjak warga Gehol merasa lebih beriman, maka tradisi dan tetek-bengek mistis dilupakan dan dianggap sebuah keburukan semata.

Hal itu juga yang membuat Gunung Geulis kini merana. Sebab segala tabu yang dahulu ada mengenainya diterobos dengan angkuh oleh Gehol generasi kini. Tak ada lagi hutan terlarang, tak ada lagi kawasan angker. Semua boleh dan bisa diterobos demi kebahagiaan manusia. Sebuah sikap serakah yang hanya bersifat jangka pendek.

Akhirnya Gunung Geulis terluka parah karena sikap egois dan serakah warga sekitarnya. Pepohonan telah dibabat hingga yang tertinggal hanya berupa bukit tandus botak yang menyilaukan mata tatkala pagi dan siang. Keangkerannya sebagai tempat bertapa, konon di puncaknya ada batu petapa, takluk oleh kekuatan yang lebih dahsyat. Kekuatan terdahsyat yang dimiliki manusia, yaitu keserakahan.

Dalam keadaannya yang masih meranapun, Gunung Geulis tetaplah cantik sebagaimana namanya. Letaknya yang seolah menjaga Petahunan tentu menjadikannya sangat eksotis. Semoga eksotismenya tetap ada hingga semua warga sadar akan kecantikannya.


*Terima kasih kepada teman-teman Gehol Community atas fotonya.

Wagean: Tradisi Gehol yang Hilang

Wagean (http://static.panoramio.com)

Terpujilah leluhur Gehol siapapun itu yang telah membuat tradisi wagean. Tradisi yang dilaksanakan atas kesadaran sendiri ini jika ditinjau dari berbagai segi ternyata bisa disebut sebagai bukti mulianya visi leluhur. Wagean yang dilaksanakan selepas menunaikan sholat Jum’at ini sayangnya kini telah hilang.

Wagean sendiri berasal dari kata wage yang merupakan salah satu nama hari dalam sepasar atau juga disebut dengan nama pancawara, minggu yang terdiri dari lima hari dan dipakai dalam budaya Jawa dan Bali. Tradisi ini diwujudkan melalui kebersamaan kaum lelaki “mengobrak-abrik” sungai demi mendapatkan ikan. Tentu saja mereka hanya mengandalkan tangan dan jikapun alat hanya berupa jala semata. Tanpa bahan kimia dan beracun lainnya.

Jika ditinjau dari segi sosial tentu saja wagean sangat berperan dalam mempererat tali silaturahim warga Gehol. Bayangkan, setelah aktivitas religus mereka di mesjid, mereka kemudian menyambungnya dengan kegiatan sosialisasi. Karena kegiatan ini berwujud dalam mencari ikan, maka sosialisasi ini sekaligus sebagai ajang menambah penghasilan di hari itu. Bukan untuk dijual memang, namun setidaknya mampu menambah lauk-pauk di rumah.

Uniknya tradisi wagean ini hanya dilakukan saat Jum’at Wage. Dengan melihat siklusnya, maka kegiatan ini hanya dilakukan sekali dalam 40 hari. Tentunya sebuah momen yang sangat menarik jika ditinjau dari segi sosial bahwa ada waktu berkumpul alami dari sebuah komunitas tanpa dilakukan ajakan sebelumnya. Karena wajib dicatat bahwa wagean sangat bersifat sukarela. Jam biologis dalam tubuh warga Gehol seolah tahu bahwa setiap Jumat Wage adalah waktunya kaum lelaki turun ke sungai mencari ikan sambil bercengkrama.

Selain berperan dalam mempererat tali persaudaraan, tradisi yang hilang ini sangat erat kaitannya dengan pelestaria lingkungan. Bagaimana tidak, tradisi ini mengingatkan anak-anak Gehol bahwa ikan, sungai dan alam harus tetap dipelihara. Itulah sebabnya, dalam tradisi ini dilarang memakai bahan-bahan yang berbahaya bagi ikan, air dan lingkungan. Sebuah kearifan lokal yang sulit ditemui di daerah lain bukan?

Tradisi ini juga mengajarkan kepada warga Gehol bahwa keserakahan itu harus dibuang jauh-jauh dari hati. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana masyarakat Gehol berlaku dalam wagean. Bagi yang memakai jala, maka mereka akan berada paling depan. Para pemakai jalapun akan berurutan tergantung seberapa besar lubang jala mereka.

Pemakai jala dengan lubang besar akan berada paling depan, kemudian urutannya selanjutnya adalah mereka yang memakai dengan lubang jala lebih kecil. Selain itu, para pemakai jala hanya akan ada di daerah yang airnya dalam, biasanya paling dalam sedada dan paling rendah sepinggang.

Kelompok berikutnya adalah mereka yang memakai tangan kosong alias ngemek. Pencari ikan dengan tangan ini akan berada di belakang pemakai jala dan hanya di daerah yang airnya paling tinggi sepinggang saja. Menarik bukan susunan tradisi wagean ini?

Lalu apa hubungannya dengan keserakahan? Ingat bahwa ini adalah ajang mencari ikan, jika susunan pemakai jala di balik, maka bisa dipastikan pemakai jala longgar tidak akan kebagian ikan. Bukankah pemakai jala kecil akan dengan mudah meraup semua ikan dari kecil hingga besar?

Melihat lokasi pemakai jala yang hanya di tampat air setinggi pinggang ke atas tentu saja ini memberikan kesempatan kepada pencari ikan bertangan kosong. Kemudian kenapa para pencari ikan dengan tangan kosong berada di belakang? Hal ini semata demi memberi kesempatan kepada para pemakai jala. Sebab jika para pencari ikan dengan ngemek  ada di depan, sudah pasti ikan akan kabur sehingga pemakai jala akan gigit jari. Jikapun para pemakai jala dan tangan kosong sejajar, maka para pemakai jala akan di tengah.

Yah itulah salah satu tradisi Gehol yang kini sudah hilang, wagean. Sebuah karya leluhur yang bermakna dalam jika diresapi dengan benar.