Tobat Blangsak!

Gehol dengan segala kekurangannya memiliki banyak hal unik secara historis. Memang kini secara individual banyak anak-anak Gehol yang mengenyam pendidikan tinggi. Tak sedikit juga yang menduduki posisi penting di pemerintahan. Sesuatu yang secara histori sulit dilakukan karena adanya kutukan: orang Gehol tak kebagian pena (baca SK).

Sebagai sebuah desa yang dahulu dikuasai tuan tanah, maka peran DNA alias keturunan juga memegang peranan penting hingga kini. Tercatat, pusaran kekuasaan tidak pernah beranjak jauh adari orang-orang yang terkait dengan orang-orang yang pernah memimpin Gehol. Sebuah catatan buruk dan harus segera diakhiri mengingat dikekinian jaman hal tersebut harusnya hilang.

Catatan sejarah buruk lainnya adalah begitu jarangnya putra daerah di masa lalu yang menjadi guru membuat stigma negative bahwa Gehol dikuasai “asing” kian kental. Keadaan selanjutnya kian menguatkan stigma tersebut, terutama saat Kepala Desa Gehol yang dipegang oleh keturunan “asing” menjabat. Segenap catatan buruk di atas yang menyingkirkan Gehol dari peradaban seolah kian lengkap.

Kini Gehol menggeliat menyeruak untuk menyingkirkan belenggu histori dan stigma “importer” pemimpin sekaligus. Sayangnya, Gehol dengan bakat-bakat individualnya justru tenggelam dalam individualitas kehidupan. Kemajuan yang dicapai individu-individu Gehol lebih digunakan sebagai ajang meninggikan diri, bukan Gehol secara keseluruhan.

Yang paling menyesakkan dada adalah masih adanya praktik feodalisme yang kental dalam kehidupan Gehol yang statis. Feodalisme ala kapitalis ini kian menguburkan bakat-bakat menonjol yang dimiliki individu-individu Gehol. Sebab, semua lahan untuk aktualisasi sekaligus mencari nafkah telah dikuasai satu tangan. Otomatis hal tersebut membuat banyak individu berbakat yang tercerabut dari Gehol. Mudah ditebak, kaum produktif berkumpul di kota guna mencukupi kebutuhan hidup.

Kosongnya generasi penerus di Gehol kian membuat peradaban Gehol terpinggirkan. Kaum tua yang telah dibelenggu sistem feodal dan tak bisa melepaskan diri dari garis DNA tentu saja kemampuannya bergerak guna memajukan Gehol sangat terbatas. Kaum tua, dimanapun berada, tentu lebih memilih diam demi keamanan hidup dan kehidupan mereka.

Satu-satunya cara untuk memperbaiki hal di atas adalah bersatu. Satukan semua individu Gehol dimanapun berada. Mencontoh bagaimana cara Yahudi dan China membangun negeri mereka meski jauh dari tanah kelahiran tak ada salahnya. Yahudi dimanapun kan membela Israel, dan bangsa China dimanapun akan dengan rela mengirimkan sebagian penghasilannya demi negeri tercinta. Pertanyaannya, kenapa kita tidak bisa?

Seharusnya dengan makin tersebarnya warga Gehol di rantau, kian banyak yang bisa dilakukan untuk memajukan Gehol. Bayangkan, jika dari sekian ribu warga Gehol diperantauan yang bersedia menyisihkan uangnya Rp 5.000,00 setiap bulan berapa uang yang terkumpul. Dana tersebut bisa digunakan untuk membantu warga tak mampu berobat ke dokter, mantri atau bidan (GC bisa bekerja sama dengan mantri dan bidan desa untuk hal ini).

Selain itu, dana tersebut juga bisa digunakan untuk menopang kegiatan organisasi desa. Bahkan, tidak salah jika digunakan untuk beasiswa siswa atau mahasiswa Gehol.

Nah dengan skema tersebut, maka kemajuan Gehol sebagaimana yang diharapkan bukan lagi impian.

Kisah Getir Beasiswa

Ingatanku tiba-tiba melayang saat masih SD dahulu. Tempat dimana menimba ilmu yang dilakukan dengan keeriaan semata. Tak peduli kau bersepatu atau tidak, masa SD adalah masa dimana segala keceriaan masa kecil dapat diraih.

Beruntung karena aku dikaruniai otak yang lumayan. Meski mereguk segenap keindahan dan keceriaan di masa lalu namun dalam menyerap pelajaran aku tak pernah ketinggalan. Meski tentu saja, jika yang lain mau dan sadar aku pasti akan dengan cepat terpinggirkan. Terpuruk duduk di pojok, sambil meratapi nilai raport yang merah dan tak layak naik kelas.

Pernah suatu saat, ketika murid-murid yang lain begitu menggemari film-film epos dari India semisal Mahabharata dan Ramayana, aku tak memiliki TV. Makanya prestasiku masih bisa bagus sebab ketika teman-teman yang lain sibuk menonton TV aku masih sibuk belajar di sekolah. Maklum, waktu SD bolos bisa dilakukan kapan saja bahkan saat tengah hari sekalipun.

Suatu saat, ada kabar gembira dari guruku. Beliau dengan gembira menyatakan bahwa aku berhak menerima beasiswa dari pemerintah. Dengan bekal pengumuman tersebut maka aku dan guruku yang baik hati tersebut pergi ke Brebes dengan berboncengan. Beasiswa sebesar Rp 25.000,00 tentu sangat besar maknanya bagiku saat itu. Selain berasal dari keluarga miskin, uang sebesar itu sanggup ditukar dengan satu gram emas. Sebuah harta impian warga di desaku.

Dalam perjalanan meengambil beasiswa tersebut, aku dan guruku berhenti makan dan mengisi bensin. Sebab jika tak makan dan tak mengisi bensis, niscaya takkan dapat pulanglah kami berdua. Aku yang lugu tentu sangat kagum dengan dedikasi guruku tersebut. Bayangkan, demi memberi kesempatan padaku untuk mendapatkan uang dengan tanpa diminta ia mengantar sekaligus mentraktirku.

Saat pulang dan sampai di sekolah, akupun diberi sebuah amplop bertuliskan Rp 25.000,00. Saat dikeluarkan guruku sudah terbayang apa saja yang akan kubeli dan berapa yang akan kuberi untuk ibuku. Sayangnya yang kuterima hanya Rp 10,000,00.

"Yang Rp 25.000,00 untuk bensis dan makan kita berdua tadi," ujar guruku ringan.

Aku yang lugu dan sudah terpesona dengan kebaikannya tentu saja hanya mampu menerima dengan rasa senang. Kau tahu, rasa senang yang kupupuk selama seminggu hingga sebelum menerima amplop takkan rela kulepaskan.

Akhirnya kuberikan semua uangku kepada Ibu. Tentu saja beliau bertanya meski entah terpaksa atau tidak ia mampu memahami alasan kenapa uang yang katanya hakku menjadi berkurang lebih dari setengahnya.

Pengalaman unik tersebut takkan kutulis seandainya kejadian serupa tak terjadi lagi di kampungku. Bayangkan di masa yang keterbukaan seolah candu, ada oknum yang mau dan tega berbuat demikian. Cuma satu yang bisa dan pantas diucapkan kepada mereka. Terlalu!

Masalahnya, pemberian kepada yang berhak tersebut dimanipulasi untuk kebutuhan yang sebenarnya sudah ditanggung pihak pemerintah. Jika guruku berasalas bensin dan makan masih bisa diterima. Namun alasan untuk membangun sekolah sungguh keterlaluan. Apalagi dengan mendorong orang tua murid agar berbohong sungguh sesuatu yang sangat tidak pantas melekat pada jiwa dan prilaku seorang guru.

Akhirnya, aku cuma bisa mengelus dada. Sebab ternyata kita masih bobrok dan dibobrokkan oleh kaum pendatang. Kaum yang sebenarnya menangguk keuntungan karena ditugaskan dikampungku.

Turut berduka cita.

Euforia


Memantau perkembangan psikologis kaum muda yang sangat haus wadah ekspresi sungguh membuat merinding. Bagaimana tidak, gelombang semangatnya seolah ombak yang menerjang batu karang di pantai. Tak putus dan tak mengenal rasa capek apalagi takut. Sayangnya, layaknya gelombang yang menghantam, efek yang ditimbulkan lebih banyak efek menghancurkan daripada memperindah pantai.

Semangat yang berlebih dan energi yang tertumpah selama sekitar seminggu ini di Facebook GC membuat merinding sekaligus menakutkan. Merinding karena antusiasmenya, namun menakutkan karena harapan yang terlalu besar sangat menakutkan jika menerima hasil yang antiklimaks.

Mengingat sosiologis masyarakat Gehol yang santai dan penuh canda, maka menghadapi semua semangat di atas dengan sikap serius bisa jadi membahayakan. Membahayakan dari segi sensitifitas humor. Sebab sebagaimana dilihat, semua semangat tersebut diekspresikan selucu mungkin sehingga membuat tersenyum audience.

Menghadapi guyonan dengan keseriusan sama saja menghadapi celotehan bayi. Harus selalu dilihat bahwa celotehan tersebut adalah bagian dari perkembangan kemampuan semata. Bukan sebagai pembuktian bahwa si bayi memiliki ide sekaligus mampu melaksanakan celotehnya.

Namun menghawatirkhan juga jika seandainya gelinding humor yang ada tidak dikelola dengan baik. Humor adalah ekspresi jiwa seseorang dalam rangka menghadapi kehidupan. Bisa saja humor adalah salah satu cara menyampaikan ide yang sebenarnya terpendam. Humor dalam kesempatan lain adalah semacam kritik yang disampaikan dengan sehalus mungkin – bahkan selucu mungkin – agar yang dikritik sekalipun bisa tersenyum.

Terlepas dari apakah semangat yang diekspresikan dalam humor serius atau tidak, ada sedikit kekhawatiran. Jika diibaratkan jatuh cinta, maka saat-saat awal adalah masa yang paling indah. Jatuh cinta adalah kondisi psikologi dimana semua masalah dan keadaan dihadapi secara subjektif belaka. Sayangnya, saat seseorang jatuh cinta tidak dibarengi dengan kesiapan putus cinta. Yang terjadi adalah, saat jatuh cinta melayang hingga ke langit, namun ketika patah hati seolah dunia sudah kiamat.

Hal yang sama sangat ditakutkan menerpa semua anggota GC yang sedang melambung terbawa semangat memilih pengurus. Saking semangatnya, rencana OL bersama kini dilakukan dengan tatap muka meski hanya bisa dilakukan anggota yang ada di daerah tertentu.

Gelora menyambut pertemuan sekaligus pemilihan baik melalui OL bersama maupun bertemu sungguh diluar perkiraan. Sayangnya hal ini tidak diimbangi dengan semangat sekaligus kesiapan anggota dalam menyelenggarakannya. Karena minimnya mengorganisir diri inilah yang menakutkan. Semangat yang sudah terekam dengan kuat sangat mungkin tak dibarengi kesiapan menerima hasil yang minim.

Tentu saja semangat yang membara jangan sampai dikecewakan. Meski dengan persiapan seadanya, bukan berarti hasilnya kemudian ala kadarnya. Jika saja semangat tersebut bisa ditularkan kepada sesama sehingga kian banyak yang memiliki sikap positif, bukan tidak mungkin kenyataan sesuai dengan asa.

Mencoba

Kadang jika tanpa mencoba kita akan tetap jalan di tempat. Namun, mencoba sesuatu yang dahulu dijalani orang lain dan gagal seharusnya menjadikan kita lebih arif memilih jalan yang sama.

Dalam suasana mencoba inilah, Gehol kembali merajut asa melalui Gehol Community. Mungkin kali ini akan gagal seperti sebelumnya, namun tidak menutup kemungkinan bahwa keberhasilan akan memayungi. Kuncinya adalah, tetapkah akan mencoba dengan kesiapan untuk gagal atau berhenti.

Kegagalan walau pahit, adalah sesuatu yang pasti akan dialami tiap makhluk di dunia. Kata yang dibenci ini pada dasarnya akan lebih memperkuat pribadi-pribadi yang merasakannya. Demikian juga dengan Gehol. Sekian banyak kegagalan di masa lalu - tentu ada juga masa berhasil - seyogyanya kian memperkuat Gehol di masa kini.

Gehol yang telah bermetamorfosa menjadi lebih banyak kaum urban yang tersebar membuat kesempatan untuk bertemu antar warganya kian sempit. Beruntung, warga Gehol adalah warga yang cepat belajar termasuk dari segi teknologi. Dengan adanya jejaring sosial dan kian terjangkaunya HP membuat komunikasi antar Gehol kian intens. Mestinya hal baik ini bisa diimplementasikan menjadi lebih nyata bagi kemajuan Gehol secara keseluruhan.

Berkaca dari komunitas online yang ada, maka hal tersebut tentu bisa dilakukan.Hanya tinggal mengetuk pintu hati Kaum Muda Gehol.

Mimpi Gehol, Mungkinkah?

Saat ini, kita sudah dihabisi oleh kebutuhan dan sistem. Bahkan untuk sekedar menikmati dan memanjakan diri di kampung halamapun kita nyaris tak sempat. Jikapun ada, Lebaran adalah satu-satunya media untuk mengekspresikan kebutuhan kita akan berkumpul sekaligus menikmati tanah kelahiran.

Dalam rentang setahun sekali tersebut, Lebaran kian istimewa karena sekaligus dijadikan ajang "unjuk gigi" semua orang. Sayangnya "unjuk gigi" yang dilakukan terlampau egois dan materialis semata. Lebaran yang tadinya ajang mempererat ketangguhan sosial bermetamorfosa menjadi ajang "pamer".

Sesungguhnya dari "ajang pamer" ini sedikit terbersit impian untuk "pamer" bersama. Tentu saja bukan sekadar menonjolkan kesuksesan individual dan komersial belaka. Impian yang tertanam dibenakku adalah bagaimana jika Gehol memamerkan Gehol dengan segenap keunggulannya ke dunia luar. Momen Lebaran yang kian jauh dari rasa sosial dijadikan ajang menunjukkan Gehol. Hal ini pas mengingat di saat-saat tersebut, banyak juga pengunjung Gehol untuk sekedar berwisata di Petahunan. Jadi, impianku adalah menyelenggarakan Pekan Petahunan.

Sebagai perbandingan, marilah kita melihat ajang PRJ alias Pekan raya Jakarta. Pekan Petahunan hanya meniru seculi dari kemegahan PRJ tersebut. Yang penting, secara budaya, ekonomi dan sosial Gehol bisa dijadikan rujukan bagi masyarakat sekitar.

Impianku, dalam Pekan Petahunan ada banyak para pedagang, seniman dan tentu saja masyarakat menikmati Gehol dengan Petahunannya. Bukankah hal ini lebih menguntungkan semua pihak daripada sekedar adu jotos yang sudah jadi tradisi setiap Lebaran?

Impianku dalam Pekan Petahunan, segenap masyarakat GEhol dan sekitarnya berkumpul menikmati aneka kesenian. Pedagang dari berbagai sudut menggelar dagangannya. Lalu pemerintah desa menjadikannya sebagai ajang tahunan. Di Pekan Petahunan juga, aparat bisa sekalian melayani masyarakat dengan membuat KTP, akte dan tetek bengek administrasi dalam waktu singkat. Jika diselenggarakan dalam sehari, maka cukup dengan model karnaval waktu jaman perayaan HUT RI di masa lalu.

Impian ini mungkin terlalu muluk bagi sebagian orang, namun bagiku bisa diwujudkan asal ada kemauan. Melihat dari "gagal"-nya membentuk kepengurusan Gehol Community, justru aku melihat adanya peluang. Bagaimanapun, Gehol dengan goroyok Jetaknya akan lebih mudah dikumpulkan dalam rangka mengadakan acara daripada dikumpulkan untuk acara "seremonial" belaka. Dengan kata lain, membentuk pengurus GC sekaligus sebagai panitia Pekan Petahunan seharusnya bisa lebih mudah dilakukan.

Menjadikan Pekan Petahuna sebagai proyek tentu saja akan kian menambah keuletan GC dalam berkarya. GC dengan segenap potensinya sebenarnya mampu melakukan hal demikian tentu saja jika dibarengi dengan kemauan yang konsisten. Selama ini, semangat berkarya kita kebanyakan dilatarbelakangi goroyok Jetak yang hangat-hangat tai ayam. Itulah mengapa ide ini kucetuskan untuk dilaksanakan setahun kemudian dari sekarang. Sebab, waktu akan menguji siapakah yang konsisten dan siapa pula yang sekedar ikut-ikutan.

Sayangnya aku harus sadar bahwa kini aku harus kembali ke kenyataan. Impian di atas dan banyak lagi yang belum kuungkapkan sangat sulit terwujud. Sekedar mengumpulkan awak GC untuk membentuk pengurus saja susahnya minta ampun apatah lagi impian-impianku.

Semoga kenyataan segera menyambut impian.