Kuliner Gehol

Umumnya daerah yang berpenghuni, maka daerah tersebut dipastikan memiliki kekayaan kuliner. Sayangnya Gehol sebagai sebuah peradaban yang masih dan akan terus bergerak seolah absen dalam memeriahkan dunia kuliner. Sebagai daerah yang secara sosial budaya termasuk Sunda namun secara geografis berada di Jawa, mestinya ada ciri khas yang unik dari Gehol dilihat dari sudut kuliner.

Sayangnya, hingga saat ini kuliner khas Gehol belum menonjol bahkan cenderung tenggelam. Harus diakui juga bahwa kuliner khas Gehol susah dicari, alias nihil. Jika kita mengenal ada Soto Betawi, Sate Madura, Telor Asin Brebes, Peuyeum Bandung, Coto Makassar dan lain sebagainya, maka sangat susah menemukan makanan yang bersanding dengan nama Gehol alias Jetak.

Namun sebagai putra Gehol, penulis akan mencoba menawarkan menu makanan yang sangat sulit atau bahkan tidak ada di daerah lain. Tentu saja kemungkinan makanan khas Gehol yang akan dijelaskan ada di daerah lain sangat terbuka.

1. Pais Loto (Pepes Loto)

Masakan ini terbuat dari daun keladi alias talas yang masih muda. Kemudian ditumbuk dan dicampurkan beberapa bumbu rempah. Tumbukan daun talas ini kemudian dibungkus oleh daun pisang. Setelah itu bungkusan daun talas tersebut dibakar, lebih tepatnya diasap di “jidat tungku”.

Makanan ini sangat lezat, namun jika salah memilih daun dari jenis talas tertentu maka akan berakibat cukup fatal. Jika daun tersebut berasal dari beberapa jenis talas, maka rasanya akan sangat gatal sekali. Jika ini terjadi, maka lidah pemakannya akan menebal sebagaimana umumnya reaksi alergi kulit terhadap gatal.

Loto ini sepertinya memang sangat khas Gehol. Entah apakah daerah lain ada yang menumbuk daun talas menjadi pepes seperti Loto Gehol.

2. Lalaban Pucuk Jambu Monyet dan Daun Pepaya Muda

Jika melahap salah satu dari bahan ini, maka bisa dipastikan akan sangat sedikit yang mampu dan mau melakukannya. Dari sudut rasa, daun pepaya semuda apapun pasti pahit. Sedangkan daun muda (pucuk) Jambu Monyet sangat getir.

Hebatnya jika dipadukan dan dicocol ke dalam sambel, keduanya sangat nikmat. Pahit dan getir berpadu dengan pedasnya sambal sangat nikmat menggoyang lidah. Ingat, semua daun tersebut dimakan dalam kondisi mentah! Jika ingin menikmati yang satu ini, maka Anda harus pandai memadukan keduanya. Jika salah satu bahan terlalu dominan, maka yang muncul adalah salah satu dari rasa kedua daun tadi.

Makanan di atas pasti terdengar ekstrim mengingat di jaman sekarang begitu banyaknya pilihan makanan. Namun, jika melihat kondisi Gehol dahulu bisa jadi hal ini biasa saja. Kini, kedua makanan tersebut sangat jarang ditemui bahkan di Gehol sendiri. Selain keduanya memang mewakili kaum bawah, kesulitan mendapatkan bahan dan mengolah juga menjadi salah satu sebabnya.

Tertarik menikmati Loto dan Pucuk Jambu Mede dipadu dengan Daun Pepaya? Sesekali berkunjunglah ke Gehol!


Melihat Potensi Gehol

Akhirnya ada waktu untuk Gehol.

Gehol dengan keadaannya yang serba minim, ternyata jika dilihat dengan seksama memiliki sejumlah keunggulan. Negeri yang peradabannya sangat dibantu oleh Cigunung ini ternyata memainkan peranan kunci bagi desa sekitarnya.

Salah satu yang sangat berharga dimiliki oleh Gehol adalah Cihirup. Sumber air yang hadir sepanjang tahun ini menghidupi sekitar 5 desa. Jika saja Gehol mampu melobi pemerintah daerah untuk mengelolanya atau minimal memiliki hak sebagai pemilik, maka bukan tidak mungkin hasilnya secara materil sangat besar. Bukan sekedar air gratis seperti sekarang.

Potensi air bersih ini kian tinggi seandainya Gehol dan pemerintahnya mau mengundang para investor untuk menanamkan modalnya. Dengan kapasitas mata air yang besar, maka bukan tidak mungkin industri air mineral bisa dilakukan. Selain menyerap tenaga kerja lokal, keuntungan pajak dan restribusi serta geliat ekonomi di sekitarnya bisa kian meningkat.

Hal kedua yang bisa dijadikan salah satu sarana Gehol menangguk keuntungan adalah Petahunan dan irigasi yang meliputinya. Jika selama inipemerintah desa dan daerah abai dengan hal ini dan memang begitu keadaannya, maka bisa saja pengelolaan lebih teratur bisa dilakukan pihak ketiga. Dari sinilah keuntungan itu bisa didapat. Dengan pengairan yang lebih profesional dan teratur bukan hal yang susah meminta retribusi kepada para petani. Termasuk mereka yang ada di desa lain. Melihat kemampuannya saat ini, minimal 3 desa yang bisa diairi oleh irigasi.

Yang sering disadari namun teracuhkan adalah fakta bahwa Gehol merupakan jembatan penghubung antara beberapa desa menuju kota. Dengan kondisi sebagai satu-satunya akses, seharusnya bisa dimanfaatkan Gehol untuk "membajak" kaum desa yang akan ke kota. Jika mereka ke kota hanya untuk sekedar membeli keperluan dapur, entah apa sebabnya tidak satupun warga Gehol menyediakan bumbu dapur di jalur akses tadi. Padahal dengan keuntungan mengenal karakter serta jarak yang dipangkas, maka bukan hal yang sulit merebut konsumen pedesaan yang selama ini ke kota.

Seandainya ketiga hal itu saja bisa dioptimalkan, maka kesejahteraan masyarakat Gehol bisa meningkat dari taraf yang sekarang ini. Hanya saja hal ini sangat sulit terwujud mengingat mental pamong yang sempit sekaligus miskin inovasi. Ditambah lagi pusaran ekonomi dan modal di Gehol yang feodalistik. Maka jikapun hal diatas terlaksana bisa dipastikan yang kaya akan makin kaya dan yang miskin kian terpinggirkan.

Solusi yang harus dilakukan adalah dengan mengoptimalkan desa seabagai wadah sekaligus lembaga ekonomi pelindung masyarakat. Jika saja mau, maka desa sesungguhnya bisa saja mengelola Cihirup, irigasi sekaligus meramaikan jalur akses tadi. Mengenai modal, desa tentu tidak kekuranga sebab hampir tiap tahun puluhan juta dikucurkan pemerintah. 

Jika saja modal itu dikelola dengan semangat dari, oleh dan untuk rakyat maka tidak ada lagi kabar mengenai dana pinjaman yang dipinjam rakyat namun tidak pernah kembali. Sebab dengan kemampuan desa bertransformasi menjadi mesin usaha, kecukupan dasar rakyat bisa diayomi desa. Bukankah selama ini rakyat meminjam untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka?





Tobat Blangsak!

Gehol dengan segala kekurangannya memiliki banyak hal unik secara historis. Memang kini secara individual banyak anak-anak Gehol yang mengenyam pendidikan tinggi. Tak sedikit juga yang menduduki posisi penting di pemerintahan. Sesuatu yang secara histori sulit dilakukan karena adanya kutukan: orang Gehol tak kebagian pena (baca SK).

Sebagai sebuah desa yang dahulu dikuasai tuan tanah, maka peran DNA alias keturunan juga memegang peranan penting hingga kini. Tercatat, pusaran kekuasaan tidak pernah beranjak jauh adari orang-orang yang terkait dengan orang-orang yang pernah memimpin Gehol. Sebuah catatan buruk dan harus segera diakhiri mengingat dikekinian jaman hal tersebut harusnya hilang.

Catatan sejarah buruk lainnya adalah begitu jarangnya putra daerah di masa lalu yang menjadi guru membuat stigma negative bahwa Gehol dikuasai “asing” kian kental. Keadaan selanjutnya kian menguatkan stigma tersebut, terutama saat Kepala Desa Gehol yang dipegang oleh keturunan “asing” menjabat. Segenap catatan buruk di atas yang menyingkirkan Gehol dari peradaban seolah kian lengkap.

Kini Gehol menggeliat menyeruak untuk menyingkirkan belenggu histori dan stigma “importer” pemimpin sekaligus. Sayangnya, Gehol dengan bakat-bakat individualnya justru tenggelam dalam individualitas kehidupan. Kemajuan yang dicapai individu-individu Gehol lebih digunakan sebagai ajang meninggikan diri, bukan Gehol secara keseluruhan.

Yang paling menyesakkan dada adalah masih adanya praktik feodalisme yang kental dalam kehidupan Gehol yang statis. Feodalisme ala kapitalis ini kian menguburkan bakat-bakat menonjol yang dimiliki individu-individu Gehol. Sebab, semua lahan untuk aktualisasi sekaligus mencari nafkah telah dikuasai satu tangan. Otomatis hal tersebut membuat banyak individu berbakat yang tercerabut dari Gehol. Mudah ditebak, kaum produktif berkumpul di kota guna mencukupi kebutuhan hidup.

Kosongnya generasi penerus di Gehol kian membuat peradaban Gehol terpinggirkan. Kaum tua yang telah dibelenggu sistem feodal dan tak bisa melepaskan diri dari garis DNA tentu saja kemampuannya bergerak guna memajukan Gehol sangat terbatas. Kaum tua, dimanapun berada, tentu lebih memilih diam demi keamanan hidup dan kehidupan mereka.

Satu-satunya cara untuk memperbaiki hal di atas adalah bersatu. Satukan semua individu Gehol dimanapun berada. Mencontoh bagaimana cara Yahudi dan China membangun negeri mereka meski jauh dari tanah kelahiran tak ada salahnya. Yahudi dimanapun kan membela Israel, dan bangsa China dimanapun akan dengan rela mengirimkan sebagian penghasilannya demi negeri tercinta. Pertanyaannya, kenapa kita tidak bisa?

Seharusnya dengan makin tersebarnya warga Gehol di rantau, kian banyak yang bisa dilakukan untuk memajukan Gehol. Bayangkan, jika dari sekian ribu warga Gehol diperantauan yang bersedia menyisihkan uangnya Rp 5.000,00 setiap bulan berapa uang yang terkumpul. Dana tersebut bisa digunakan untuk membantu warga tak mampu berobat ke dokter, mantri atau bidan (GC bisa bekerja sama dengan mantri dan bidan desa untuk hal ini).

Selain itu, dana tersebut juga bisa digunakan untuk menopang kegiatan organisasi desa. Bahkan, tidak salah jika digunakan untuk beasiswa siswa atau mahasiswa Gehol.

Nah dengan skema tersebut, maka kemajuan Gehol sebagaimana yang diharapkan bukan lagi impian.

Kisah Getir Beasiswa

Ingatanku tiba-tiba melayang saat masih SD dahulu. Tempat dimana menimba ilmu yang dilakukan dengan keeriaan semata. Tak peduli kau bersepatu atau tidak, masa SD adalah masa dimana segala keceriaan masa kecil dapat diraih.

Beruntung karena aku dikaruniai otak yang lumayan. Meski mereguk segenap keindahan dan keceriaan di masa lalu namun dalam menyerap pelajaran aku tak pernah ketinggalan. Meski tentu saja, jika yang lain mau dan sadar aku pasti akan dengan cepat terpinggirkan. Terpuruk duduk di pojok, sambil meratapi nilai raport yang merah dan tak layak naik kelas.

Pernah suatu saat, ketika murid-murid yang lain begitu menggemari film-film epos dari India semisal Mahabharata dan Ramayana, aku tak memiliki TV. Makanya prestasiku masih bisa bagus sebab ketika teman-teman yang lain sibuk menonton TV aku masih sibuk belajar di sekolah. Maklum, waktu SD bolos bisa dilakukan kapan saja bahkan saat tengah hari sekalipun.

Suatu saat, ada kabar gembira dari guruku. Beliau dengan gembira menyatakan bahwa aku berhak menerima beasiswa dari pemerintah. Dengan bekal pengumuman tersebut maka aku dan guruku yang baik hati tersebut pergi ke Brebes dengan berboncengan. Beasiswa sebesar Rp 25.000,00 tentu sangat besar maknanya bagiku saat itu. Selain berasal dari keluarga miskin, uang sebesar itu sanggup ditukar dengan satu gram emas. Sebuah harta impian warga di desaku.

Dalam perjalanan meengambil beasiswa tersebut, aku dan guruku berhenti makan dan mengisi bensin. Sebab jika tak makan dan tak mengisi bensis, niscaya takkan dapat pulanglah kami berdua. Aku yang lugu tentu sangat kagum dengan dedikasi guruku tersebut. Bayangkan, demi memberi kesempatan padaku untuk mendapatkan uang dengan tanpa diminta ia mengantar sekaligus mentraktirku.

Saat pulang dan sampai di sekolah, akupun diberi sebuah amplop bertuliskan Rp 25.000,00. Saat dikeluarkan guruku sudah terbayang apa saja yang akan kubeli dan berapa yang akan kuberi untuk ibuku. Sayangnya yang kuterima hanya Rp 10,000,00.

"Yang Rp 25.000,00 untuk bensis dan makan kita berdua tadi," ujar guruku ringan.

Aku yang lugu dan sudah terpesona dengan kebaikannya tentu saja hanya mampu menerima dengan rasa senang. Kau tahu, rasa senang yang kupupuk selama seminggu hingga sebelum menerima amplop takkan rela kulepaskan.

Akhirnya kuberikan semua uangku kepada Ibu. Tentu saja beliau bertanya meski entah terpaksa atau tidak ia mampu memahami alasan kenapa uang yang katanya hakku menjadi berkurang lebih dari setengahnya.

Pengalaman unik tersebut takkan kutulis seandainya kejadian serupa tak terjadi lagi di kampungku. Bayangkan di masa yang keterbukaan seolah candu, ada oknum yang mau dan tega berbuat demikian. Cuma satu yang bisa dan pantas diucapkan kepada mereka. Terlalu!

Masalahnya, pemberian kepada yang berhak tersebut dimanipulasi untuk kebutuhan yang sebenarnya sudah ditanggung pihak pemerintah. Jika guruku berasalas bensin dan makan masih bisa diterima. Namun alasan untuk membangun sekolah sungguh keterlaluan. Apalagi dengan mendorong orang tua murid agar berbohong sungguh sesuatu yang sangat tidak pantas melekat pada jiwa dan prilaku seorang guru.

Akhirnya, aku cuma bisa mengelus dada. Sebab ternyata kita masih bobrok dan dibobrokkan oleh kaum pendatang. Kaum yang sebenarnya menangguk keuntungan karena ditugaskan dikampungku.

Turut berduka cita.

Euforia


Memantau perkembangan psikologis kaum muda yang sangat haus wadah ekspresi sungguh membuat merinding. Bagaimana tidak, gelombang semangatnya seolah ombak yang menerjang batu karang di pantai. Tak putus dan tak mengenal rasa capek apalagi takut. Sayangnya, layaknya gelombang yang menghantam, efek yang ditimbulkan lebih banyak efek menghancurkan daripada memperindah pantai.

Semangat yang berlebih dan energi yang tertumpah selama sekitar seminggu ini di Facebook GC membuat merinding sekaligus menakutkan. Merinding karena antusiasmenya, namun menakutkan karena harapan yang terlalu besar sangat menakutkan jika menerima hasil yang antiklimaks.

Mengingat sosiologis masyarakat Gehol yang santai dan penuh canda, maka menghadapi semua semangat di atas dengan sikap serius bisa jadi membahayakan. Membahayakan dari segi sensitifitas humor. Sebab sebagaimana dilihat, semua semangat tersebut diekspresikan selucu mungkin sehingga membuat tersenyum audience.

Menghadapi guyonan dengan keseriusan sama saja menghadapi celotehan bayi. Harus selalu dilihat bahwa celotehan tersebut adalah bagian dari perkembangan kemampuan semata. Bukan sebagai pembuktian bahwa si bayi memiliki ide sekaligus mampu melaksanakan celotehnya.

Namun menghawatirkhan juga jika seandainya gelinding humor yang ada tidak dikelola dengan baik. Humor adalah ekspresi jiwa seseorang dalam rangka menghadapi kehidupan. Bisa saja humor adalah salah satu cara menyampaikan ide yang sebenarnya terpendam. Humor dalam kesempatan lain adalah semacam kritik yang disampaikan dengan sehalus mungkin – bahkan selucu mungkin – agar yang dikritik sekalipun bisa tersenyum.

Terlepas dari apakah semangat yang diekspresikan dalam humor serius atau tidak, ada sedikit kekhawatiran. Jika diibaratkan jatuh cinta, maka saat-saat awal adalah masa yang paling indah. Jatuh cinta adalah kondisi psikologi dimana semua masalah dan keadaan dihadapi secara subjektif belaka. Sayangnya, saat seseorang jatuh cinta tidak dibarengi dengan kesiapan putus cinta. Yang terjadi adalah, saat jatuh cinta melayang hingga ke langit, namun ketika patah hati seolah dunia sudah kiamat.

Hal yang sama sangat ditakutkan menerpa semua anggota GC yang sedang melambung terbawa semangat memilih pengurus. Saking semangatnya, rencana OL bersama kini dilakukan dengan tatap muka meski hanya bisa dilakukan anggota yang ada di daerah tertentu.

Gelora menyambut pertemuan sekaligus pemilihan baik melalui OL bersama maupun bertemu sungguh diluar perkiraan. Sayangnya hal ini tidak diimbangi dengan semangat sekaligus kesiapan anggota dalam menyelenggarakannya. Karena minimnya mengorganisir diri inilah yang menakutkan. Semangat yang sudah terekam dengan kuat sangat mungkin tak dibarengi kesiapan menerima hasil yang minim.

Tentu saja semangat yang membara jangan sampai dikecewakan. Meski dengan persiapan seadanya, bukan berarti hasilnya kemudian ala kadarnya. Jika saja semangat tersebut bisa ditularkan kepada sesama sehingga kian banyak yang memiliki sikap positif, bukan tidak mungkin kenyataan sesuai dengan asa.