Heboh LGBT, Cerminan Masyarakat Kepo Selangkangan

Beberapa bulan terakhir, kisruh abadi antara syiah dan sunni tetiba menghilang berganti dengan saling nyinyir antara pro hak-hak LGBT dan penentangnya. Aneka argumen mulai dari sains hingga keyakinan diumbar ke publik. Sungguh luar biasa, urusan selangkangan bisa semeriah ini menyedot energi bangsa.

Sebelum ikut meramaikan khasanah perselangkangan LGBT di Indonesia, ada baiknya menengok dulu sekitaran sepuluh hingga dua puluh tahun lalu di Gehol. Desa tempatku lahir tersebut mungkin lebih maju dalam urusan selangkangan terkait LGBT ini.

Apakah di desaku ada LGBT, tentu saja ada meski tidak terang-terangan. Namun, mereka yang berbeda tampilan atau biasa kita sebut banci tentu ada dan tak perlu malu mengakuinya. Semua penduduk maklum belaka akan keadaannya. Tidak ada yang memaksanya harus menjadi laki-laki dengan alasan dibenci Tuhan dan sebagainya. Kena bully iya, namun siapa sih di dunia ini yang tidak pernah terkena bully?

Apakah masyarakat Gehol kemudian menjadikan si banci sebagai bahan menyebarkan kebaikan Tuhan? Setahuku tidak, pengajian yang digelar memang sesekali menyinggung tentang azab Allah SWT kepada kaum-kaum yang menyimpang. Tapi bukan hanya kaum Nabi Luth yang sering jadi bahan pelajaran, bagaimana kejahatan Firaun dan tamaknya Karun juga sering jadi bahan ajar pengajian. Seingatky, kelaliman dan keserakahan dua contoh terakhir lebih sering diperdengarkan. 

Melihat masyarakat Gehol yang cenderung lembut kepada penderita LGBT apakah membuat golongan ini merajalela? Berkali-kali pulang kampung, yang banci tidak bertambah dan orangnya tetao itu-itu juga. Yang gay dan lesbian? Entahlah apakah ada atau tiada. Yang jelas, tinggal satu dua kawan sepermainanku yang belum menikah. Apakah mereka memiliki preferensi seks berbeda dari umumnya masyarakat? Yang kutahu faktor uang, penampilan, dan pilih-pilih pasangan adalah alasan utama kenapa masih sendiri.

Maka aku heran bagaimana media sosial begitu menggebu menghakimi kaum LGBT. Aku juga takjub tatkala kelompok LGBT dan mereka yang mendeklarasikan diri pembela begitu getol mengatakan banyaknya pelanggaran HAM. Bagiku, kehebohan ini adalah cerminan masyarakat yang terlalu lebay mengurusi selangkangan orang lain.

Wahai para pencaci LGBT, apakah dengan tampilnya para pemilik orientasi seksual tidak umum ini akan meruntuhkan peradaban dunia? Hal tersebut tentu saja masih jauh dari kebenaran. Jikalau masalah populasi yang akan menurun dengan tampilnya kaum LGBT dirisaukan, bukti-bukti imliahnya masihlah sangat minim. Setahuku, hanya Jepang yang statistik demografinya berupa piramida terbalik. Konon, masalah ekonomi menjadi momok bagi para penduduk Negeri Matahari Terbit ini sehingga mereka takut beranak-pinak. 

Lalu kepada kalian pembela LGBT, apakah ada hak-hak dari kalian yang diabaikan pemerintah dan diinjak-injak masyarakat NKRI? Setahuku tidak ada bidang kehidupan pun di negara ini yang menyatakan larangan untuk dimasuki kaum LGBT. Apakah administrasi pemerintahan menghalangi kaum LGBT? Belum pernah dengar berita semacam itu. Apakah pesantren, masjid, gereja, dan tempat ibadah lainnya menolak kehadiran ummatnya yang berbeda ini? Tak pernah ada yang bercerita demikian. Mungkin mereka rentan bully, ya itu memang benar. Tapi, di dunia ini siapa sih yang tak pernah di bully.

Jadi, kesimpulanku tetap sama bahwa ini adalah reaksi lebay para pembela hak dan pencaci LGBT. Tak ada niat untuk menyembuhkan dari para pencaci, pun dari pendukung. Yang ada hanyalah ajang adu argumen dan adu eksistensi. Bukankah sosial media adalah ladang sempurna untuk hal ini?


Saya Benci Jokowi dan Saya Percaya Ramalan Dukun

Setelah tahun 2016 datang, aku pikir kebencian kepada Jokowi yang telah meluluhlantakan harapanku dan junjunganku akan luluh. Nyatanya, hal tersebut semakin menjadi bahkan tak hilang meski kuselingi dengan membabat semua peserta debat sosial media yang pro LGBT, Imlek, dan Valentine.

Sudah semua literatur aku baca - tentu saja berasal dari akun-akun pendekar - guna mempekuat logikaku dalam menyerang segala kebijakan pemerintah. Maka, senang tak terkira ketika aku menemukan beberapa perusahaan yang menjatuhkan PHK kepada para buruhnya. Sejenak, aku memuja Said Iqbal yang menjadi presiden organisasi para buruh yang sering menjelajahi kota dengan mobil mewahnya. Setidaknya, presiden buruh tidak pencitraan dengan pura-pura berkeliling kota naik bajaj. Lihat, sekedar sepeda motor saja sang presiden buruh harus punya yang gede. 

Sayangnya, perusahaan yang angkat kaki tersebut memang dasarnya sudah tak kuat bersaing sejak beberapa waktu lalu. Tak heran aku kembali menelan pil pahit karena gelombang PHK yang digembar-gemborkan para akun rekan seperjuanganku dalam membenci Jokowi tak kunjung terjadi. Ini artinya, salah satu penguat argumenku untuk membenci Presiden RI yang bukan turunan orang besar ini hilang. Maka, sejenak kembali aku menghajar siapa saja yang menulis status mendukung hari kasih sayang. 

Alhamdulillah dapat angin segar dari berdemonya kaum buruh dan guru honorer. Seumur-umur, aku tak peduli akan nasib mereka, namun kali ini beda rasanya jika aku tak mendukung demo mereka. Maka, aku berusaha menulis status seheroik mungkin bahwa aku ada dalam barisan buruh dan PNS honorer. Semua status aku bumbui bahwa pemerintah sudah jatuh dalam lembah kegagalan yang terdalam sehingga yang bisa membangkitkannya cuma revolusi. Cuma, semua revolusi harus tanpa aku terlibat di garis depan. Aku cukup pandangi media sosial dan peranku harus dianggap luar biasa.

Saat semua fakta di atas kembali ada bantahan dari para pendukung Presiden Jokowi yang biasa disebut cebonger, aku sangat beruntung punya paranormal sekelas Permadi dan Ki Gendeng Pamungkas. Mereka berdua meniupkan angin segar sehingga kebencianku yang sudah tepupuk sekian lama seolah akan mencapai klimaksnya. Bagaimana tidak, analisis keduanya memiliki kesimpulan yang sama bahwa kekuasaan Presiden Jokowi akan runtuh dalam hitungan bulan, hari, jam, menit, dan detik yang tak lama lagi.

Dengan brilian Permadi sang paranormal pujaan hatiku yang dahulu begitu dekat dengan Megawati itu berkata bahwa goro-goro akan segera terjadi. Semua elemen masyarakat akan segera bersatu dalam kekecewaan yang sama sepertiku untuk menumbangkan rezim Jokowi. Luar biasa kakek ini, setiap presiden di Indonesia diprediksikan olehnya akan mendapat goro-goro. Sayangnya, goro-goro di jaman presiden yang lalu tak kunjung jadi. Tapi, bukankah tak ada keledai yang jatuh pada lubang yang sama? Artinya kali ini prediksinya sudah pasti jempolan.

Tak kalah menyejukkannya apa yang diungkapkan oleh Ki Gendeng Pamungkas. Tokoh ini dahulu yang bertekad membuat Bush terkulai terkena santetnya saat berkunjung ke Indonesia. Sayang, rupanya bahasa Inggris Ki Gendeng kurang faseh sehingga santetnya kurang berhasil, bahkan tidak berhasil sama sekali. Tapi beruntung, peramal pujaanku nomor dua ini mencalonkan diri menjadi Bupati Bogor dan akhirnya ..... Gagal! 

Tapi untuk akurasi tentang Jokowi dan anaknya aku percaya hingga mendekati yakin dan mengimani. Bagaimana tidak, Ki Gendeng Pamungkas bisa dengan bernas menjelaskan kepemilikan ruang khusus Ratu Kidul yang dimiliki Jokowi di Istana Bogor. Apalagi hal tersebut ditambah fakta dengan adanya pernikahan Jokowi dan Nyi Ratu Kidul tersebut. Yang terakhir, Ki Gendeng seolah dengan mata kepala sendiri menggambarkan ritual yang dijalani Gibran sebelum menikah. Akhirnya, semua diakhiri dengan tujuan hidupku, tumbangnya rezim Jokowi. 

Sekarang, aku sedang menunggu dengan penuh harap sembari menyerang kaum JIL dan merayu simpati para ITJ dan simpatisan Ongen. Semoga saja dua dukun jagoanku kali ini berhasil membuktikan ramalan-ramalan mereka. Semoga!







Aku Benci Skripsi, Terutama Olah Data

Sekian lama menuntut ilmu di Universitas, terantuk halangan bernama skripsi. Beragam cara sudah kutempuh untuk meluluhkan ketegasan dosenku, berulang kali aku kecewa. Yang ada revisi lagi, revisi lagi, revisi lagi.

Aku pun akhirnya memutuskan untuk berselingkuh dari dosen pembimbingku. Dengan bantuan teman, aku akhirnya bisa membuat bagian yang selalu direvisi bisa lolos dari jeratan mata elang dan mulut pedas dosenku. Apa bagian yang selalu direvisi tersebut? Tak lain dan tak bukan adalah olah data.

Sebagai seorang mahasiswa ilmu sosial, alias sastra, aku sudah menjauhi hitung-hitungan dan tetek bengek angka sekira 3,5 tahun lamanya. Meski sudah dipoles dengan beberapa SKS mata kuliah statistik, namun tetap saja perhitungan data-data yang kulakukan sering meleset. Bahkan kata meleset terlalu baik untukku saat itu, ngaco lebih tepat. 

Kesimpulan ngaco lebih tepat tentu saja kudapatkan dari dosen pembimbing. Kian yakin aku dengan ngaconya perhitungan olah data yang kulakukan setelah diamini oleh kawanku yang menimba ilmu di jurusan eksakta. Memang beruntung aku, masih punya kawan akrab dari golongan tukang hitung yang mau menghitung ke dalam angka jawaban-jawaban respondenku saat itu.

Dari situ aku mendapat pelajaran bahwa mengerjakan skripsi memang terkadang menimbulkan kebencian. Kebencian yang tumbuh bukan saja dilampiaskan kepada dosen, namun juga kepada apa yang dikerjakan. Apalagi kalau bukan skripsi itu sendiri. Dan bagiku, olah data adalah bagian paling menyebalkan dari skripsi.

Meski sesudah lulus aku berpikir, bahwa jika saja saat itu aku tak membenci skripsi dan olah data di dalamnya, mungkin saja aku bisa lulus lebih awal. Sayang, memang masa muda lebih mudah menimbulkan emosi, termasuk benci. Cinta, tentu saja!

Kapan Ummat Islam Bangkit? Saat Sandal di Mesjid Rapi

Menjadi ummat dengan jumlah mayoritas dan menurut klaim beberapa pihak pertumbuhannya di Eropa, Australia, dan Amerika Serikat kian meningkat tak membuat ummat Islam pede. Saking tak percaya dirinya, banyak postingan hoax untuk meningkatkan kepercayaan diri serta iman sebagian pemeluknya.
Lihat saja aneka postingan yang mengabarkan artis luar negeri mulai dair Jackie Can, Paris Hilton, hingga Paus Paulus masuk Islam. Seolah kebenaran Islam akan makin nyata jika nama-nama beken di belahan dunia lain ikut menjadi penganutnya. Mungkin, ini salah satu konspirasi Wahyudi dan Mamarika yang mendoktrin alam bawah sadar kita bahwa suatu kebenaran adalah milik mereka yanhg paling banyak penganutnya. Maka, ummat Islam yang berjamaah di Facebook, Twitter, dan jejaring sosial lainnya harus memasukkan sebanyak mungkin pesohor demi Islam yang benar.
Tak hanya sampai di situ, krisis kepercayaan sebagian ummat Islam kian kronis tatkala harus berhadapan dengan sains yang sementara ini dinahkodai orang-orang non-Muslim. Maka, serangkaian pembenaran yang ada dalam Al-Qur'an didapuk untuk mementahkan aneka penemuan sains. Jika penemuan ilmu teknologi atau alam semesta sesuai dengan keyakinan, maka ummat Islam yang minder akan mengatakan bahwa "Al-Qur'an juga sudah bilang .....". Begitu seterusnya.

Pesta Pora Penyebar Hoax

Karena banyaknya euforia ingin meninggikan derajat Islam yang tercabik-cabik oleh sebagian perilaku ummatnya yang dijadikan bahan propaganda jahat media besar, maka para penyebar hoax berpesta pora. Mereka dengan mudah menyebarkan hal-hal yang bahkan pada kenyataannya tidak terkait agama apapun kemudian dibungkus dengan embel-embel Islam. Bukan itu saja, level hoax juga sudah meningkat pada pemalsuan identitas yang kemudian digunakan untuk mendiskreditkan Islam.
Tengok saja akun-akun palsu yang dengan gagah berani mencaci Islam kemudian bermetamorfosis jadi pembela Islam nomor satu. Sebagian lagi menjadi akun paling Islami saat masih memiliki sedikit teman. Setelah kemudian mendapatkan impresi luar biasa di jagat maya, mereka kemudian bertranformasi menjadi akun-akun dagang. Dengan kata lain, para penyebar hoax memainkan psikologis sebagian ummat Islam jamaah sosial media untuk kepentingan mereka. Bisa jadi, para petualang politik melakukan hal yang sama untuk membenturkan kekuatan politik yang ada. Mungkin, rivalitas Jokowi-Prabowo adalah bentuk nyata dari pesta pora penyebar hoax ini.
Dengan mudahnya sebagian ummat Islam diacak-acak seperti ini, bahkan hanya di dunia maya, maka timbul pertanyaan kapankah ummat Nabi Muhammad SAW ini akan kembali menemukan kejayaan? Betapa rindu ummat Islam akan kejayaan masa lampau hingga akhirnya menjadi para pendekar sosmed demi membalikkan kejayaan agama yang dirahmati Allah SWT ini. Bahkan, saking inginnya mengembalikan kejayaan Islam, sebagian ummat bertengkar dengan sesama pembawa bendera Islam sambil saling mengafirkan.
Mungkin, ummat Islam memang perlu mawas diri lebih dalam daripada terus-menerus membanggakan keagungan masa lalu. Karena salah satu kunci utama kemajuan adalah disiplin, maka sebaiknya ummat menyadari kekurangan ini. Lihat saja saat Jumatan tiba, betapa berserakan sandal dan sepatu jamaah yang hendak menunaikan sholat. Jikapun hendak rapi, semua sudah diambil alih para kapitalis, alias harus bayar. Mungkin, jika ummat Islam mampu menyimpan sandal dengan rapi saat hendak berjamaah, saat itulah kejayaan Islam akan kembali. Sebab sesudah mampu menjalankan kedisiplinan dalam level hal-hal sepele, bukankah itu berarti dalam hal yang lebih besar juga sudah bisa menerapkannya?

Menjawab Kang Hermawan Aksan: Apakah Mengkritisi Orang Lain Jalan Lain untuk Bunuh Diri?

Sejak beberapa waktu belakangan ini, mengkritisi para pejabat semakin sulit. Bukan karena kebebasan berbicara yang diredam, bukan itu masalahnya! Namun geliat para pendukung yang membabi-buta menyerang siapapun yang mengkritisi yang jadi akar masalah.

Mereka akan membela para junjungan mereka dengan kalimat sakti, “Bisanya hanya kritik, memang kamu mampu?”. Awalnya, pola pikir ini bisa  saya terima, meski sebenarnya membunuh nalar kita sebagai rakyat. Ya, memang mungkin kita tak mampu seperti mereka yang kita kritisi. Namun setidaknya, kita tidak mencalonkan diri menjadi pejabat sambil umbar janji.

Para pendukung seharusnya paham bahwa mereka yang mengucapkan aneka janji saat merayu rakyat untuk memilih adalah pihak tertagih yang bisa dimintai pertanggungjawaban kapan pun. Selama janji belum terlaksana, siapapun yang pernah memilih atau bahkan tidak memilihnya berhak menagih. Dengan nalar “memangnya kamu mampu”, maka pemberangusan kritik secara tak sadar sedang dibangun dalam alam bawah sadar kita. 

Ke depan, para pejabat yang tak mampu menunaikan janjinya akan dengan mudah mengingkari dengan balik bertanya, “memangnya kamu mampu?”. Jika nalar “memangnya kamu mampu” sudah jadi budaya, jangan harap mental pejabat akan normal saat berbuat kesalahan. Kredo “memangnya kamu mampu” akan langsung terucap tatkala ada pihak-pihak – terutama rakyat kecil – meminta pejabat yang bersangkutan mundur. 

Merambah ke Dunia Seni?

Dalam jagad sepak bola, para komentator yang menghabiskan masa mudanya sebagai pesohor lapangan hijau tentu sangat minim. Mereka yang waktu mudanya meliuk-liuk di lapangan sambil berebut bola kebanyakan menjadi pelatih. Maka, jangan heran jika para komentator yang kadang menguliti strategi tim-tim kesangan kita dengan kata-kata pedas adalah mereka yang bukan dari kalangan sepak bola. Demikian juga dengan jurnalis.

Pertanyaannya, apakah karena mereka bukan pemain top – bahkan banyak yang tidak pernah menjadi pemain bola profesional sama sekali – tidak bisa diterima segala kritiknya akan strategi sebuah tim sepak bola? Banyak para pundit dan jurnalis olahraga yang ciamik menguliti kedalaman sebuah tim tanpa terlibat dengan olahraga yang dikulitinya. 

Dalam dunia seni, kritikus juga banyak yang tidak bergelut di bidang yang dikritiknya. Yang penting si kritikus memiliki wawasan yang memadai mengenai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan karya seni yang dikritisinya. Sayangnya, di negara ini sebauh kritik apalagi yang disampaikan langsung sering kali tak dihargai, bahkan dimaki. Konon, pendidikan di negeri ini adalah pangkal musababnya.

Saya teringat waktu semester awal kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di UNJ hampir satu dekade lalu. Saat itu, setiap mahasiswa diberi kesempatan untuk menilai bagaimana Pram dan karyanya yang fenomenal, Bumi Manusia. Saat itu, saya sendiri tahu Pram namun tidak begitu detail. Saya ingat pendapat saya tentang Pramoedya Ananta Toer ini dengan mengatakan bahwa idealismenya dia adalah idealisme di atas kertas. 

Apakah sang dosen membantah argumen dangkal saya waktu itu? Tidak sama sekali, meski tentu saja dia tahu pendapat saya terlalu ceroboh karena didasari ketidaktahuan saya mengenai diri Pram. Dia hanya menjawab, “Mungkin kamu benar dia idealis di atas kertas, sebab memang dia jarang bergaul dengan masyarakat. Bukankah ia dipenjara hampir sepanjang hidupnya?”. 

Ingatan saya lainnya adalah ketika bertandang ke TIM menemui Jose Rizal Manua yang kala itu baru pulang dari luar negeri dengan menyabet aneka penghargaan terkait kegiatannya mengembangkan teater anak-anak. Pertanyaan yang saya lontarkan adalah, “Kenapa seniman begitu sulit dipahami oleh kami yang awam. Apakah karena mereka memiliki ide yang lebih maju daripada kami?”. Dengan santun Beliau menjawab, “Mungkin justru kami yang salah, yang tidak bisa menyediakan apa yang dibutuhkan masyarakat. Mungkin kami yang terlalu sempit pergaulan, hanya sesama seniman, sehingga gagap dengan dunia sesungguhnya, dunia masyarakat.”

Apa poin utama dari kedua cerita yang saya alami di atas? Menurut saya mereka berdua tidak mencoba menjatuhkan saya dengan kecerobohan dan pandangan saya akan dunia sastra atau seni. Saya yang bukan siapa-siapa dan tentu saja masih bodoh – kalau yang ini hingga kini masih – dibimbing dengan baik agar tidak jatuh dalam kesimpulan salah tanpa membuat harga diri saya jatuh.

Dari semua tulisan ini, saya hanya ingin menanggapi status salah seorang sastrawan yang begitu menghargai kritikan setiap orang. Meski yang mengkritiknya bukan seseorang yang punya karya. Semoga, saat saya berusaha mengapresiasi – tak berani mengkritisi – saya tak lantas disemprot dengan kalimat, “emang kamu mampu” atau “mana karyamu”.  Lalu diposting di dunia maya dan panen bullyan dari para pendukungnya. 

Semoga ...