Menjawab Kang Hermawan Aksan: Apakah Mengkritisi Orang Lain Jalan Lain untuk Bunuh Diri?
Sejak beberapa waktu belakangan
ini, mengkritisi para pejabat semakin sulit. Bukan karena kebebasan berbicara
yang diredam, bukan itu masalahnya! Namun geliat para pendukung yang
membabi-buta menyerang siapapun yang mengkritisi yang jadi akar masalah.
Mereka akan membela para
junjungan mereka dengan kalimat sakti, “Bisanya hanya kritik, memang kamu
mampu?”. Awalnya, pola pikir ini bisa saya terima, meski sebenarnya membunuh nalar
kita sebagai rakyat. Ya, memang mungkin kita tak mampu seperti mereka yang kita
kritisi. Namun setidaknya, kita tidak mencalonkan diri menjadi pejabat sambil
umbar janji.
Para pendukung seharusnya paham
bahwa mereka yang mengucapkan aneka janji saat merayu rakyat untuk memilih
adalah pihak tertagih yang bisa dimintai pertanggungjawaban kapan pun. Selama
janji belum terlaksana, siapapun yang pernah memilih atau bahkan tidak
memilihnya berhak menagih. Dengan nalar “memangnya kamu mampu”, maka
pemberangusan kritik secara tak sadar sedang dibangun dalam alam bawah sadar kita.
Ke depan, para pejabat yang tak
mampu menunaikan janjinya akan dengan mudah mengingkari dengan balik bertanya, “memangnya
kamu mampu?”. Jika nalar “memangnya kamu mampu” sudah jadi budaya, jangan harap
mental pejabat akan normal saat berbuat kesalahan. Kredo “memangnya kamu mampu”
akan langsung terucap tatkala ada pihak-pihak – terutama rakyat kecil – meminta
pejabat yang bersangkutan mundur.
Merambah ke Dunia Seni?
Dalam jagad sepak bola, para
komentator yang menghabiskan masa mudanya sebagai pesohor lapangan hijau tentu
sangat minim. Mereka yang waktu mudanya meliuk-liuk di lapangan sambil berebut
bola kebanyakan menjadi pelatih. Maka, jangan heran jika para komentator yang
kadang menguliti strategi tim-tim kesangan kita dengan kata-kata pedas adalah
mereka yang bukan dari kalangan sepak bola. Demikian juga dengan jurnalis.
Pertanyaannya, apakah karena
mereka bukan pemain top – bahkan banyak yang tidak pernah menjadi pemain bola
profesional sama sekali – tidak bisa diterima segala kritiknya akan strategi
sebuah tim sepak bola? Banyak para pundit dan jurnalis olahraga yang ciamik
menguliti kedalaman sebuah tim tanpa terlibat dengan olahraga yang dikulitinya.
Dalam dunia seni, kritikus juga
banyak yang tidak bergelut di bidang yang dikritiknya. Yang penting si kritikus
memiliki wawasan yang memadai mengenai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan karya
seni yang dikritisinya. Sayangnya, di negara ini sebauh kritik apalagi yang
disampaikan langsung sering kali tak dihargai, bahkan dimaki. Konon, pendidikan
di negeri ini adalah pangkal musababnya.
Saya teringat waktu semester awal
kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di UNJ hampir satu dekade lalu.
Saat itu, setiap mahasiswa diberi kesempatan untuk menilai bagaimana Pram dan
karyanya yang fenomenal, Bumi Manusia. Saat itu, saya sendiri tahu Pram namun
tidak begitu detail. Saya ingat pendapat saya tentang Pramoedya Ananta Toer ini
dengan mengatakan bahwa idealismenya dia adalah idealisme di atas kertas.
Apakah sang dosen membantah argumen
dangkal saya waktu itu? Tidak sama sekali, meski tentu saja dia tahu pendapat
saya terlalu ceroboh karena didasari ketidaktahuan saya mengenai diri Pram. Dia
hanya menjawab, “Mungkin kamu benar dia idealis di atas kertas, sebab memang
dia jarang bergaul dengan masyarakat. Bukankah ia dipenjara hampir sepanjang
hidupnya?”.
Ingatan saya lainnya adalah
ketika bertandang ke TIM menemui Jose Rizal Manua yang kala itu baru pulang
dari luar negeri dengan menyabet aneka penghargaan terkait kegiatannya
mengembangkan teater anak-anak. Pertanyaan yang saya lontarkan adalah, “Kenapa
seniman begitu sulit dipahami oleh kami yang awam. Apakah karena mereka
memiliki ide yang lebih maju daripada kami?”. Dengan santun Beliau menjawab, “Mungkin
justru kami yang salah, yang tidak bisa menyediakan apa yang dibutuhkan
masyarakat. Mungkin kami yang terlalu sempit pergaulan, hanya sesama seniman,
sehingga gagap dengan dunia sesungguhnya, dunia masyarakat.”
Apa poin utama dari kedua cerita
yang saya alami di atas? Menurut saya mereka berdua tidak mencoba menjatuhkan
saya dengan kecerobohan dan pandangan saya akan dunia sastra atau seni. Saya
yang bukan siapa-siapa dan tentu saja masih bodoh – kalau yang ini hingga kini
masih – dibimbing dengan baik agar tidak jatuh dalam kesimpulan salah tanpa
membuat harga diri saya jatuh.
Dari semua tulisan ini, saya
hanya ingin menanggapi status salah seorang sastrawan yang begitu menghargai
kritikan setiap orang. Meski yang mengkritiknya bukan seseorang yang punya
karya. Semoga, saat saya berusaha mengapresiasi – tak berani mengkritisi – saya
tak lantas disemprot dengan kalimat, “emang kamu mampu” atau “mana karyamu”. Lalu diposting di dunia maya dan panen bullyan
dari para pendukungnya.
Semoga ...
0 comments: