Yang Harus Dibela, Manusia atau Monyet?


Mereka yang Kurang Beruntung

Datanglah ke Ibu Kota Indonesia, maka telah begitu banyak monyet-monyet yang menari-nari di pinggir jalan, keluar masuk gang, hingga pelataran sekolah-sekolah. Mereka bukan monyet liat tentu saja, tapi mereka adalah monyet-monyet perkasa yang berjasa pada tuannya.

Ada yang sekedar dibekali dengan motor-motoran, topeng, kuda lumping mini, hingga ada juga yang di temani dengan hangar binger musik. Pemiliknyapun beragam, ada yang bermain solo mulai dari main musik, mecut, hingga mengajarkan trik-trik mengundang decak tawa penontonnya.  Ada juga yang orkestra dengan minimal tiga orang. Biasanya ada yang khusus menangani gendang, gambang atau saron mini, dan atraksi.

Para tukang topeng monyet yang seorang diri beroperasi biasanya berlapak di tepi jalan, terutama perempatan. Sementara itu, yang berkelompok biasa menghibur anak-anak menengah ke bawah di kompleks atau gang-gang. Keduanya sama, memeras tenaga sang kera demi rupiah.

Bawangku Sayang, Bawangku Malang


Kebun Bawang
Dua puluh tahun lalu, sepulang sekolah aku punya kegiatan rutin yang bisa dibilang menyenangkan meski melelahkan. Nyenggot! Ini adalah sistem perairan demi mengairi kebun bawang merah. Sebuah komoditi paling terhormat setelah cengkeh yang rontok dan beras yang dihormati karena wajib demi memenuhi perut.

Nyenggot terjadi karena saluran irigasi tidak mungkin secara alami mengairi kebun bawang. Hal ini karena kebun bawang berada lebih tinggi daripada saluran air. Nyenggot sendiri bisa disamakan dengan mengerek air dari sumur. Hanya saja mekanisme kerjanya mirip portal di kompleks perumahan. Portal diberi beban di ujungnya dan ujung satunya diberi tali dan timba.

Saat keadaan kosong, timba dikerek agar bisa mengambil air dari saluran irigasi. Karena diujung bambu (biasanya memakai bambu yang lebih murah dan mudah) terdapat beban yang cukup berat, maka timba yang berisi air dengan sendirinya mudah diangkat. Nyenggot sendiri hanya membutuhkan keterampilan dan kemampuan tangan. Tubuh penyenggot sendiri dibuat senyaman mungkin. Biasanya disediakan tempat duduk sederhana demi menyamankan penyenggot. Karena rajin nyenggot itulah, tubuh kurusku lumayan berotot meski terkendala dengan makanan lima sehat dan empat sempurna.

Misteri Kepala dalam Jembatan


Jembatan Cigunung
Saat negeri ini masih mengandalkan rakit untuk menyeberang sungai, maka datanglah insunyur-insinyur Barat. Para insinyur tersebut memperkenalkan pembangunan jembatan. Karena kebanyakan dari mereka adalah orang Belanda maka nama jembatan  di kampungku bernama brug. Kata ini berasal dari burg, yang di Negeri Kincir Angin sana berarti jembatan.

Lalu berlombalah seluruh negeri membangun brug, eh jembatan. Sayangnya karena minimnya pengalaman dan tenaga ahli, maka jembatan yang dibuat masih lebih sering rusak dan tak tahan lama. Maka bertanyalah warga kepada para meneer tersebut.

“Bagaimana cara yang ampuh agar kami bisa membangun jembatan yang kuat dan awet?” demikian ungkap salah satu tetua kampung yang paling disegani dan punya keberanian berbicara dengan Bangsa Bule.

“Dengan ini!” jawab salah seorang meneer yang juga insinyur tersebut sambil menempelkan jari telunjuknya tepat di jidatnya.

Asal-Usul Jetak?



Jika dirunut berdasarkan arti, maka sebuah nama sesederhana apapun seyogyanya memiliki makna. Meski ada ungkapan apalah arti sebuah nama, faktanya setiap hendak menamai seseorang, maka sederet doa dan harapan ikut disematkan.

Tak sekedar nama orang, demikian juga dengan nama sebuah tempat. Bahkan dari penamaan tersebut, bisa jadi langkah awal guna menemukan benda-benda berharga. Tentu saja dengan terlebih dahulu meminta izin yang punya tempat.

Mari tengok seberapa kaya daerah Anda dengan memerhatikan penamaan yang telah disematkan leluhur. Bukan dengan tujuan demi mendapatkan harta karun tentu saja, namun dengan mengatahui makna tempat kita berpijak setidaknya akan makin memperbesar kecintaan terhadap tempat kelahiran.

Perjalanan Akhir Sang Guru

Ilustrasi Perjalanan Hidup

Setiap anak, saat sekolah, bisa dipastikan lebih banyak menyoroti ketidaksesuaian pengajar alias guru mereka. Sedikit saja sang guru memberikan bebas, maka caci maki kadang diam-diam dialamatkan padanya. Doa-doa buruk dialamatkan demi melampiaskan kejengkelan. Namun segala kebaikan yang ditanam seolah keharusan alias tugas sang guru sehingga tak perlu dikomentari. Apalagi diikuti ucapan terima kasih.

Mungkin itu juga yang menyebabkan Guruku yang kini entah kemana tak terdeteksi keberadaannya. Dia adalah ikon akan ketegasan di sekolahku dahulu. Sebuah sekolah yang sebelum dijadikan “penjara” – dikelilingi tembok setinggi dua meter – adalah tempat yang membebaskan siswanya mereguk karunia alam saat instirahat. Di sekolahku, sebelum pagar mengelilingi, pergi ke sisi sungai sambil membawa mangkuk para penjual berisi jajanan adalah kenikmatan yang susah disetarai.