Gunung Geulis, Penjaga Gehol yang Kian Pucat

Gehol dianugerahi banyak karunia Tuhan dari segi geografis. Dengan lokasi yang dikelilingi bukit dan dialiri sungai besar, Cigunung, maka seharusnya kemakmuran warga Gehol bukan sekedar impian.

Kebotakan G. Geulis


Sayangnya, karunia besar tersebut tidak diimbangi dengan komitmen kuat menjaga lingkungan demi masa depan. Perilaku yang serakah mengeksploitasi kekayaan alam membuat lingkungan sekitar Gehol kian menyedihkan.

Udara Gehol kini teramat panas terutama saat musim kemarau datang. Kian sedikitnya pohon yang memayungi karena dijadikan bahan bangunan, kayu bakar dan keperluan lainnya menjadi salah satu sebabnya. Keserakahan kian telihat jika melihat sebagian besar bukit yang mengelilingi Gehol tandus.

Gunung Guelis merupakan salah satu yang paling mencolok. Berdiri tegak di samping Bendungan Petahunan membuatnya mudah terlihat. Persisi seperti bidadari di tengah kerumunan kurcaci. Tegak anggun dengan pesona yang meski menua dan memudar namun tetap memikat.

Sisa-sisa Kecantikan G. Geulis

Keanggunan Gunung Geulis sekaligus juga kekhawatiran besar bagi warga Gehol. Sebab karena tandusnya, setiap kemarau sebagian bukitnya seolah akan ambruk menindih Bendungan Petahunan. Bisa dibayangkan akibatnya, jika sungai yang meski kini kian menyusut airnya, aliran yang melewati Bendungan Petahunan akan tertutup sehingga rentan menyebabkan banjir.

Dalam keadaan normal, gunung ini adalah sumber pesona Gehol yang banyak diliputi hawa mistis. Dari namanya saja, sudah terlihat betapa gunung ini erat kaitannya dengan sosok perempuan. Geulis adalah bahasa Sunda yang memiliki arti cantik.

Mistisisme memang tak pernah lepas dari kehidupan warga Gehol. Namun, semenjak warga Gehol merasa lebih beriman, maka tradisi dan tetek-bengek mistis dilupakan dan dianggap sebuah keburukan semata.

Hal itu juga yang membuat Gunung Geulis kini merana. Sebab segala tabu yang dahulu ada mengenainya diterobos dengan angkuh oleh Gehol generasi kini. Tak ada lagi hutan terlarang, tak ada lagi kawasan angker. Semua boleh dan bisa diterobos demi kebahagiaan manusia. Sebuah sikap serakah yang hanya bersifat jangka pendek.

Akhirnya Gunung Geulis terluka parah karena sikap egois dan serakah warga sekitarnya. Pepohonan telah dibabat hingga yang tertinggal hanya berupa bukit tandus botak yang menyilaukan mata tatkala pagi dan siang. Keangkerannya sebagai tempat bertapa, konon di puncaknya ada batu petapa, takluk oleh kekuatan yang lebih dahsyat. Kekuatan terdahsyat yang dimiliki manusia, yaitu keserakahan.

Dalam keadaannya yang masih meranapun, Gunung Geulis tetaplah cantik sebagaimana namanya. Letaknya yang seolah menjaga Petahunan tentu menjadikannya sangat eksotis. Semoga eksotismenya tetap ada hingga semua warga sadar akan kecantikannya.


*Terima kasih kepada teman-teman Gehol Community atas fotonya.

Wagean: Tradisi Gehol yang Hilang

Wagean (http://static.panoramio.com)

Terpujilah leluhur Gehol siapapun itu yang telah membuat tradisi wagean. Tradisi yang dilaksanakan atas kesadaran sendiri ini jika ditinjau dari berbagai segi ternyata bisa disebut sebagai bukti mulianya visi leluhur. Wagean yang dilaksanakan selepas menunaikan sholat Jum’at ini sayangnya kini telah hilang.

Wagean sendiri berasal dari kata wage yang merupakan salah satu nama hari dalam sepasar atau juga disebut dengan nama pancawara, minggu yang terdiri dari lima hari dan dipakai dalam budaya Jawa dan Bali. Tradisi ini diwujudkan melalui kebersamaan kaum lelaki “mengobrak-abrik” sungai demi mendapatkan ikan. Tentu saja mereka hanya mengandalkan tangan dan jikapun alat hanya berupa jala semata. Tanpa bahan kimia dan beracun lainnya.

Jika ditinjau dari segi sosial tentu saja wagean sangat berperan dalam mempererat tali silaturahim warga Gehol. Bayangkan, setelah aktivitas religus mereka di mesjid, mereka kemudian menyambungnya dengan kegiatan sosialisasi. Karena kegiatan ini berwujud dalam mencari ikan, maka sosialisasi ini sekaligus sebagai ajang menambah penghasilan di hari itu. Bukan untuk dijual memang, namun setidaknya mampu menambah lauk-pauk di rumah.

Uniknya tradisi wagean ini hanya dilakukan saat Jum’at Wage. Dengan melihat siklusnya, maka kegiatan ini hanya dilakukan sekali dalam 40 hari. Tentunya sebuah momen yang sangat menarik jika ditinjau dari segi sosial bahwa ada waktu berkumpul alami dari sebuah komunitas tanpa dilakukan ajakan sebelumnya. Karena wajib dicatat bahwa wagean sangat bersifat sukarela. Jam biologis dalam tubuh warga Gehol seolah tahu bahwa setiap Jumat Wage adalah waktunya kaum lelaki turun ke sungai mencari ikan sambil bercengkrama.

Selain berperan dalam mempererat tali persaudaraan, tradisi yang hilang ini sangat erat kaitannya dengan pelestaria lingkungan. Bagaimana tidak, tradisi ini mengingatkan anak-anak Gehol bahwa ikan, sungai dan alam harus tetap dipelihara. Itulah sebabnya, dalam tradisi ini dilarang memakai bahan-bahan yang berbahaya bagi ikan, air dan lingkungan. Sebuah kearifan lokal yang sulit ditemui di daerah lain bukan?

Tradisi ini juga mengajarkan kepada warga Gehol bahwa keserakahan itu harus dibuang jauh-jauh dari hati. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana masyarakat Gehol berlaku dalam wagean. Bagi yang memakai jala, maka mereka akan berada paling depan. Para pemakai jalapun akan berurutan tergantung seberapa besar lubang jala mereka.

Pemakai jala dengan lubang besar akan berada paling depan, kemudian urutannya selanjutnya adalah mereka yang memakai dengan lubang jala lebih kecil. Selain itu, para pemakai jala hanya akan ada di daerah yang airnya dalam, biasanya paling dalam sedada dan paling rendah sepinggang.

Kelompok berikutnya adalah mereka yang memakai tangan kosong alias ngemek. Pencari ikan dengan tangan ini akan berada di belakang pemakai jala dan hanya di daerah yang airnya paling tinggi sepinggang saja. Menarik bukan susunan tradisi wagean ini?

Lalu apa hubungannya dengan keserakahan? Ingat bahwa ini adalah ajang mencari ikan, jika susunan pemakai jala di balik, maka bisa dipastikan pemakai jala longgar tidak akan kebagian ikan. Bukankah pemakai jala kecil akan dengan mudah meraup semua ikan dari kecil hingga besar?

Melihat lokasi pemakai jala yang hanya di tampat air setinggi pinggang ke atas tentu saja ini memberikan kesempatan kepada pencari ikan bertangan kosong. Kemudian kenapa para pencari ikan dengan tangan kosong berada di belakang? Hal ini semata demi memberi kesempatan kepada para pemakai jala. Sebab jika para pencari ikan dengan ngemek  ada di depan, sudah pasti ikan akan kabur sehingga pemakai jala akan gigit jari. Jikapun para pemakai jala dan tangan kosong sejajar, maka para pemakai jala akan di tengah.

Yah itulah salah satu tradisi Gehol yang kini sudah hilang, wagean. Sebuah karya leluhur yang bermakna dalam jika diresapi dengan benar.

Konflik Elit: Problem Gehol dan Timnas

Ada sebuah kesamaan antara timnas sepakbola Indonesia dan Gehol, sama-sama terpuruk dan miskin prestasi. Timnas yang diguyur dana melimpah ternyata tak mampu berbicara banyak. Jangankan level dunia atau Asia, bahkan di Asia Tenggara pun timnas sepakbola Indonesia seakan Cuma sekedar figuran.


Gehol memiliki problem sama yaitu sebagai figuran alias dianggap antara ada dan tiada oleh masyarakat lainnya. Hanya saja Geho tidak dan jauh dari guyuran dana. Jikapun ada dana pemerintah, maka ia hanya mengguyur sebagian orang saja. Prestasi Geholpun setali tiga uang, jauh dari memuaskan. Meski memang secara keseluruhan tak ada kompetisi yang bisa diikuti secara berjenjang di daerah Bantarkawung, Brebes.

Tentu sangat tidak bijak menyalahkan kegagalan keduanya dengan hanya menuding pelaku saja. Banyak hal yang memengaruhi dan salah satu yang menjadi alas an utama yang patut dijadikan kambing hitam adalah konflik elit yang melanda. Tentu masih ingat bagaimana elit PSSI yang secara vulgar memperlihatkan ego masing-masing dan cenderung mengabaikan pembanguna  olahraga secara komprehensif.

Sebagaimana timnas, Gehol pun sama. Terlalu lama elit Gehol larut dalam konflik terselubung. Konflik yang dipendam bak bara ini kemudian dijadikan warisan kepada generasi muda Gehol. Pada akhirnya, konflik tersebut menghambat banyaknya potensi yang bisa diraih oleh kaum muda Gehol.

Pertarungan yang tiada henti ini kemudian menjadikan berbagai kegiatan di Gehol mandek bahkan mati. Kesibukan elit berkonflik akhirnya menghabiskan energi mereka. Karena energi mereka sudah habis, maka kerja untuk publikpun terkesampingkan. Kerja para elit hanya satu: bagaimana melanjutkan kekuasaan ada di tangan mereka tak peduli apapun akibatnya.

Jika timnas memiliki kompetisi sekaligus institusi yang harus berbenah agar kembali berjaya, maka Gehol memiliki pilkades sebagai ajang perbaikan diri. Gehol tentu harus memanfaatkan momentum tersebut untuk perbaikan dalam segala bidang.

Sudah saatnya para elit kembali menginjak ke bumi. Lihatlah generasi muda yang kini terombang-ambing akibat tidak adanya panutan yang layak. Lihat juga bagimana sulitnya kaum muda berkarya akibat tersedotnya perhatian elit dalam putaran konflik. Tenaga, pikiran dan materi yang seharusnya mampu menyediakan media ekspresi bagi kaum muda justru digunakan untuk berkutat dengan konflik.

Mengingat 2012 adalah tahun pergantian pucuk pimpinan Gehol, maka bukan tidak mungkin konflik akan kian memanas. Padahal, momen ini adalah momen harapan bagi rakyat kebanyakan dalam memperbaiki kehidupan mereka. Bagaimanapun, pergantian pemimpin selalu memberikan harapan baru bagi yang dipimpin. Lalu, tegakah harapan itu terhapus atau semu belaka dengan tingkah elit yang rajin berkonflik.

Sebagai masyarakat biasa sekaligus sebagai bagian dari kaum muda, tentu banyak harapan tersemat dalam pergantian pemimpin ini. Tak peduli siapapun yang terpilih, yang penting bagaimana ia mampu mengelaborasi potensi Gehol agar mampu kembali berbicara di berbagai ajang. 

Harapan juga tersemat kepada kaum muda dan publik secara umum. Semoga mereka masih mau peduli dan memperjuangkan perubahan untuk kehidupan mereka. Bagaimanapun, mereka adalah pihak yang paling dirugikan oleh adanya konflik abadi kaum elit. Jadi, wajar saja jika kemudian mereka memilih apatis dan tak peduli.

Harapan agar kaum muda dan publik memilih pemimpin yang benar-benar tepat tentu harus tetap dipertahankan. Semoga di 2012, tahun yang digadang-gadang akan terjadi kiamat, benar-benar menjadi kiamat bagi keterpurukan Gehol.

Mengais Peluang di Gehol

Melihat Gehol di kekinian jaman tentu tak lepas dari meninjau Indonesia secara keseluruhan. Jika dilihat dari segi budaya instant, maka Gehol dan Indonesia umumnya tentu mencemaskan. Namun percayalah bahwa kecemasan tersebut bisa dijadikan tambang emas bagi yang mampu memanfaatkannya.

Hampir semua hal diinginkan terjadi dengan serta merta oleh hampir setiap orang. Gaya hidup adalah salah satu manifestasi dari instanisme yang paling mencolok. Tentu saja hal ini dibalut dengan tingginya gengsi yang disandang. Lalu, peluang apakah yang bisa diraih?

Bagaimanapun cepatnya masyarakat Gehol mencoba up to date, harus diakui bahwa masih ada pemisah baik itu jarak, waktu maupun pemahaman tentang gaya hidup yang ingin ditiru. Untuk lebih berfokus terhadap peluang yang diambil, maka kita khususkan tinjauannya melalui teknologi. Sebab, teknologi adalah salah satu instumen sekaligus ikon dari gaya hidup yang instan.

Kehadiran jejaring sosial kembali harus diakui sebagai faktor penting yang membuat budaya instan kian merebak bahkan di desa sekalipun. Masalahnya, kecepatan desa dalam menduplikasi budaya di perkotaan melalui media apapun masih lambat. Disinilah peluang tersebut terbuka, menyediakan sebuah media atau alat agar masyarakat di desa kian mampu mengejar ketertinggalan budaya.

Bisnis teknologi dimanapun berada adalah bisnis yang paling menggiurkan. Selain ceruk pasar yang masih terbuka, Gehol sebagai sebuah bagian dari dunia global baik maya maupun nyata tentu membutuhkannnya. Masalahnya sejauh mana kita menguasai teknologi untuk kemudian kita terapkan sebagai potensi bisnis. Penguasaan teknologi dan informasi tentu sangat penting demi penguasaan pasar yang sangat potensial ini.

Harus diakui bahwa Gehol dalam hal penguasaan teknologi masih jauh tertinggal. Selain karena begitu cepatnya perkembangan yang ada, infrastruktur yang adapun tidak atau belum mendukung. Oleh karena itu, sungguh aneh ada program internet masuk di desa. Sebuah program yang selain menghamburkan uang juga sangat minim efek positifnya bagi warga Gehol yang sebagian besar adalah petani.

Jika saja mau berinvestasi lebih, maka mendirikan usaha berbasis IT di Gehol tentu sangat menjanjikan. Sasaran utama dari bisnis ini bisa ditujukan kepada para kawula muda Gehol yang demam teknologi dan informasi. Hanya saja, perlu dibatasi juga asupan informasi yang disediakan agar konflik dengan masyarakat bisa diminimalisir. Yang pasti, melakukan edukasi sosial sebelum pendirian bisnis IT adalah hal mutlak.

Setelah jelas pangsa yang dituju, sekali lagi pastikan bahwa penyedia bisnis harus juga bertindak sebagai ahli atau minimal lebih tahu dari masyarakat awam. Hal ini sangat dibutuhkan mengingat kehadiran "barang baru" dalam sebuah komunitas akan sangat mengagetkan baik secara psikologis maupun kultural. Kemampuan teknis ini selain sebagai preventif terhadap operasional bisnis juga sangat jitu dalam meredam gejolak konflik yang timbul akibat berubahnya kultur dan tradisi.

Mengenai modal tentu bukan hal yang sulit saat ini untuk mendapatkannya. Bahkan desa sebagai sebuah pemerintahanpun menyediakannya. Hal ini bisa didapat melalui paket PNPM Mandiri. Sebuah program yang di Gehol bisa dikategorikan sebagai program yang jauh dari tujuan awal. Dengan adanya program ini, yang hingga kini masih dianggap uang gratis, seseorang yang ingin menjadi pengusaha betulan seharusnya lebih mudah mendapat akses.

Nah, dengan ceruk pasar yang terbuka, kemampuan teknis yang jumpuni dan kemudahan mendapatkan modal bukankah bisnis ini layak dijalani? Selamat mencoba!

Kuliner Gehol II: Pecak Botor

Membahas kuliner Gehol tentu masih banyak yang terpendam dan belum muncul kepermukaan. Selain kian tenggelam oleh aneka makanan cepat saji yang dijajakan oleh pedagang keliling. Kerepotan sekaligus bahan yang kian sulit didapat adalah alasan kenapa kuliner Gehol kian tidak dikenal oleh anak jaman sekarang. Apalagi, hal-hal yang berbau tradisi seolah merenggut gengsi.

Salah satu kekayaan kuliner Gehol yang sangat akrab pada masa lalu adalah Pecak Botor. Botor adalah biji dari kecipir atau Psophocarpus tetragonolobus (L. D.Cang.) yang merupakan tumbuhan merambat polong mudanya dimanfaatkan sebagai sayuran. Kecipir berasal dari Indonesia bagian timur. Di Sumatera dikenal sebagai kacang botol atau kacang belingbing. Nama lainnya adalah jaat (bahasa Sunda), kelongkang (bahasa Bali), serta biraro (Ternate).

Kecipir sendiri memang biasa dijadikan lalaban oleh masyarakat Gehol. Yang muda bisa dijadikan coel saat masih mentah. Jika tak suka mentah, maka kecipir muda cukup direbus dan siap dijadikan lalapan. Jika sudah agak tua, maka bisa dijadikan sayur oseng.

Biji kecipir sendiri biasanya dijadikan benih untuk melangsungkan siklus hidup kecipir. Namun, karena di masa lalu sering terjadi paceklik, maka benihnyapun terkadang dijadikan lauk yang menggoda. Cukup sangrai hingga matang, lalu campurkan dengan sambal. Maka jadilah Pecak Botor.

Kenikmatan pecak botor tentu saja sulit ditandingi, karena meski sederhana, perpaduan bumbu pecak yang khas Sunda berpadu dengan wangi sekaligus renyahnya biji Botor. Botor yang dipecak tidak dalam bentuk bulat-bulat lagi. Botor telah digerus bersama sambal yang biasanya terdiri dari cabe, garam, bawang merah, bawang putih, dan terasi. Pedas gurihnya Pecak Botor biasa disajikan sebagai teman nasi panas dan disantap di siang hari saat istirahat di sawah atau kebun.

Nah, ingin menikmati Pecak Botor khas Gehol? Datanglah ke Gehol, tempat yang dijaga oleh dua bukit cantik dan kekar, Gunung Geulis dan Gunung Cikadingding. Siapa tahu masih banyak masyarakat yang menjadikan Pecak Botor sebagai santapan teman nasi.