Kaum Muda dalam Pusaran

Setelah seharian bergelut dengan artikel, saatnya menulis untuk Gehol.

Melihat dunia dari sudut perkembangan teknologi informasi (IT) tentu sangat menakjubkan. Gemerlap pasar dan pengembangannya seolah tak kenal kata prediksi. Sebab apa yang hari ini ada dalam angan-angan, tiba-tiba sekian jam atau detik berikutnya sudah ada dalam bentuk beta, tahap pengembangan bahkan dirilis ke publik.

Tengok betapa sengit Samsung dan Apple berebut pasar dan haki demi mengukuhkan diri sebagai yang terbesar. Tengok juga betapa tertatihnya RIM, Nokia, SonyEriccson dan vendor lainnya oleh serangan ponsel China. Lihat juga bagaimana Google mencaplok Motorolla, Facebook yang menjadi mainstream dalam tata pergaulan masyarakat dunia hingga serangan tablet yang mengubur popularitas PC dan laptop. Lalu, bagaimana dan dimanakah posisi kita?

Hingar bingarnya mungkin membuat kita tak habis pikir. Namun melihat ceruk pasar yang disasar, tentu bukan hal yang aneh jika sekian banyak yang bertarung memperebutkan. Kita, adalah sekelompok penonton, penikmat sekaligus ceruk yang mereka peertaruhkan. Anehnya, kita nyaman dan damai saja menjadi bahan untuk diperas. Bahkan merasa bangga jika berhasil diperas oleh Sang Juara.

Tengok saja perilaku kita, demi gengsi entah berapa banyak yang kita korbankan. Uang serasa bukan masalah demi mendapatkan gadget impian. Tak keren rasanya jika anak muda jaman sekarang tidak aktif dalam Facebook dan tidak menenteng HP dengan kemampuan browsing yang mumpuni.

Gelimang pergaulan kian diperparah dengan gemerlapnya sajian tontonan yang disuguhkan televisi. Tentu saja banyak yang tidak masuk akal sebenarnya, namun pengaruhnya sudah meresap dalam otak sehingga apapun yang dilakukan idola sedapat mungkin ingin ditiru.

Keinginan berlebih agar mampu hidup sesuai standar masa kini telah mengorbankan hal-hal fundamental yang seharusnya dimiliki dan dikembangkan oleh kita. Teknologi yang maju telah membentuk kita mendapatkan sesuatu serba instan. Sebuah gaya hidup yang kini disandang sekian banyak kaum muda di negeri ini. Tentu saja Gehol ada didalamnya.

Efek dari instanisme tersebut adalah rendahnya kinerja dan kreatifitas kita dalam mencapai cita-cita. Bahkan kini cita-cita kian menyempit pilihannya. Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah idaman tertinggi kaum muda kita saat ini. Sebab dengan jadi PNS, maka segala sesuatu yang terkait instan dapat diperoleh. Efeknya, kemauan mengolah dan meningkatkan daya pikir menjadi sesuatu yang tidak diutamakan lagi.

Tentu saja hal ini menjadikan kaum muda kita kian terpuruk. Potensi yang seharusnya muncul terkubur karena nafsu hidup mulia dengan sedikit kerja. Hal ini dimanfaatkan kaum feodal untuk mempertahankan eksistensi mereka menguasai sarana dan prasarana yang ada. kaum muda akhirnya hanya dimanfaatkan sebagai pasar. Bilapun terpaksa, maka peran mereka akan menjadi semacam tentara bag kepentingan kaum feodal.

Solusi untuk keluar dari instanisme tersebut adalah dengan memberikan sebanyak mungkin informasi agar mereka mau berpikir. Senyampang dengan hal tersebut, berilah kaum muda sesuatu yang menawarkan gairah kehidupan. Sebab, sebesar apapun nafsu kaum muda keinginan mereka mengaktualisasikan lebih besar.

Pertanyaannya, sanggupkah kita memberikannya?

AD/ART GEHOL Community








Siapkah Kaum Muda Gehol Mandiri?

Nulis apa ya hari ini?

Setelah melihat beberapa pertandingan sepakbola di beberapa liga, aku mencoba mengambil beberapa pelajaran yang mungkin bisa dijadikan alasan kenapa stagnasi ada di Gehol.

Melihat bagaimana MU memecundangi Chelsea dan Barcelona begitu perkasa dalam beberapa musim, aku teringat betapa Gehol - dan negeri ini secara umum - dalam berbagai bidang wajib meniru langkah mereka. Langkah tersebut adalah pembinaan usia dini dan memberi kesempatan kepada para pemuda dalam berbagai bidang sehingga mampu memberikan perbedaan yang signifikan dalam memajukan Gehol.

Negeri ini pernah mengenal Gajah Mada, ikon penyatuan nusantara di masa lalu. Betapa besar dia di masanya. Kebesarannya hingga kini dan entah sampai kapan akan selalu diingat manusia yang ada di negeri ini, bahkan dunia. Namun Gajah Mada besar sendirian, setelah ia tua, maka kemahsyuran yang ia bangun menua dan sirna sebagaimana tua dan sirnanya ia. hal yang sama terjadi juga pada beberapa bahkan banyak tokoh di negeri ini. tengoklah Soekarno, Soeharto, Wali Songo, Gus Dur dan sederet lainnya. Mereka besar, bahkan sangat besar, namun tak ada satupun dari mereka yang mewariskannya pada generasi muda.

Gehol pun mengalami hal yang sama. Secara pendidikan dan kapasitas, banyak anak muda yang sebenarnya mampu. Namun kesempatan untuk mereka sangatlah minim, bahkan nyaris tidak ada. Akhirnya para pemuda menyalurkannya dengan cara lain, brutalitas.

Namun begitulah pintarnya kaum tua melanggengkan kekuasaan mereka. Brutalitas yang akarnya adalah tiadanya kesempatan yang diberikan kepada mereka menjadikan alasan kaum tua untuk tidak memercayai kaum muda. Sehingga tarik-menarik kekuasaan antara kaum muda dan kaum tua menjadi lingkaran setan.

Solusi yang tepat untuk mengatasi hal tersebut tiada lain adalah dengan gigihnya kaum muda membuktikan bahwa mereka mampu. Mandiri adalah hal mutlak yang harus dilakukan oleh kaum muda. Sebab  kemandirian adalah satu-satunya jalan agar kaum tua percaya sekaligus modal kaum muda untuk berbuat. Sebab hukum alam selalu berlaku: yang mandiri akan dilihat begitu berarti.

Pertanyaannya, siapkah Kaum Muda Gehol Mandiri?




Sejauh Apa Melangkah?

Melihat Gehol di kekinian jaman terasa tiada jauh berbeda dengan jaman ketika aku mulai bisa mengingat. Persamaannya satu, masih belum memiliki jati diri yang sempurna yang bisa diindetikan dengan Gehol.

Gehol sendiri bukan nama asli daerah tempat aku dilahirkan. Nama asli daerah tersebut adalah Jetak, Sindangwangi, Bantarkawung, Brebes, Jawa Tengah, Indonesia. Gehol sendiri seingatku adalah nama klub sepakbola yang mewakili kampung di setiap pertandingan antarkampung. 

Mengenai perubahan di Gehol, mungkin yang paling drastis adalah ketika tahun 1990-an saat listrik masuk desa dan Muhammadiyah membuat pesantren. Dari segi sosial masyarakat, masuknya Muhammadiyah mengubah peta pergaulan masyarakat, terutama dalam beragama. Jauh sebelum Muhammadiyah ada, NU sudah mengharu biru dalam mengayomi masyarakat Gehol mengasah hati dan iman.

Saat belum ada, secara religi kebanyakan masyarakat Gehol biasa-biasa saja. Namun dengan adanya Muhammadiyah kesadaran kian tinggi. Meski secara sosial munculnya "paham baru" membuat suhu sedikit memanas.

Sementara itu, masuknya listrik telah membuat masyarakat Gehol kian egois. Sebelum ada listrik, hampir seluruh masyarakat berkumpul di teras. Karena antarteras rumah sangat berdekatan, maka menjelang malam selalu penuh dengan canda tawa seluruh penghuni kampung. 

Anak-anak dan remaja tentu saja yang sangat diuntungkan dengan minimnya listrik. Sebab mereka bebas bermain setelah pulang dari mengaji di Pesantren, Mushala, Mesjid bahkan di rumah kyai. Saat purnama, permainan berkelompok selalau dilakukan oleh anak-anak kampung Gehol. Hanya panggilan dari mak masing-masing yang mampu menghentikan permainan tersebut. 

Suatu kenangan yang sangat sulit ditemui sekarang. Ibu-ibu dan anak-anak kini tidak berkumpul dengan tetangga. Mereka berkumpul di rumah sendiri sambil memperebutkan tayangan favorit di TV.  Kini, sesudah Isya-pun jangan harap melihat anak-anak bermain di luar rumah.

Yang paling parah adalah tercerabutnya anak-anak dan remaja dari kecintaannya terhadap Gehol. TV dan tayangannya telah mentransformasi anak-anak dan remaja menjadi begitu ingin meniru idolanya. Maka, setelah mereka sekolah tujuan utamanya tentu saja merantau. Sesuatu yang memang wajar sekali terjadi sekarang ini.

Ritual pulang kampung tentu saja menjadi sebuah tradisi yang dinanti seluruh warga Gehol. Saat pulang tersebut, maka satu pertanyaan yang wajib dijawab perantau adalah "Sejauh apa kalian melangkah?"

Pertanyaan tersebut tentu saja sebenarnya bermakna, sesukses apa wahai kalian para perantau?


Pemuja Gehol