Hantu Bergaun Perak (2)
Teman satu divisiku yang tergesa-gesa masuk ke dalam toilet dan menimbulkan suara nyaring pada pintu kamar mandi telah masuk ke dalam toilet di sebelahku. Sepi kemudian menguasai toilet hingga ada suara air mengguyur hajat di sampingku. Kiranya temanku yang kebelet tadi sudah membuang semua beban dari perutnya.
Aku sendiri yang duduk di toilet bukan karena hendak membuang hajat sengaja menunggu temanku keluar lebih dahulu. Memang tak lama kemudian pintu toilet di samping bergerak membuka dan sesosok tubuh keluar dari sana. Kupikir kesendirianku akan bermula lagi.
Srekkk ...
Duk ... duk ... duk ...
Namun betapa kagetnya aku saat mendengar suara yang biasa menyapaku tersebut. Dengan segera aku merapikan celanaku dan pakaianku. Aku berdiri dan segera kubuka pintu toilet tempatku pagi ini terpekur sambil memikirkan seberapa parah kondisi kantorku saat ini.
Sebelum kubuka lebar, sejenak kuintip kondisi di luar dari celah pintu yang sedikit kubuka.
Srekkkk ...
Kembali suara itu terdengar dan kilatan perak berkilau menerpa sudut mataku. Aku segera memburu asal kilatan tersebut sembari membuka pintu toilet dengan segera.
Brukkkk ...
Saking tergesanya aku membuka toilet, keseimbanganku limbung sehingga aku terjatuh. Lalu kulihat perempuan bergaun perak tersebut melayang menyambar ke arahku yang saat itu telentang tak berdaya. Aku hanya bisa teriak melihat wajah yang tertutupi rambut terurai panjang tersebut. Gaun panjangnya yang berwarna perak kemudian seolah hendak menimpa wajahku. Kututup wajahku dengan kedua tanganku karena tak sanggup membayangkan tubuh perempuan yang melayang dalam kecepatan tinggi tersebut menimpa tubuhku.
***
Sunyi menguasai diriku yang sedang memeriksa lamat-lamat suara yang ada di sekitarku. Banyak gumaman yang menyebut-nyebut namaku. Ingin sekali kusahuti gumanan tersebut namun entah kenapa bayangan perempuan bergaun perak yang sedang berdiri di ujung kakiku selalu mengisyaratkan agar aku jangan bersuara. Bahkan, saat hendak menoleh ke arah gumaman pun, perempuan itu selalu melarangku dengan memberikan gestur tubuh berupa gelengan kepala.
"Ayah ... ayah .... Kenapa ayah tidurnya lama banget Ma?" ujar Weda ke arah istriku yang menunjukkan wajah kebingungan sambil menggandeng Dya.
Aku berusaha memberikan senyuman kepada anak dan istriku untuk memberi tanda bahwa aku baik-baik saja. Sayangnya, kembali perempuan yang hingga kini tak mau menunjukkan wajahnya itu kembali menggeleng. Aku pun kembali memasang wajah tanpa ekspresi demi melihat hal itu.
Aku kembali tenggelam dalam sunyi menikmati kibaran gaun perak yang dipakai perempuan yang setia berdiri di ujung kakiku menungguku. Kini, perempuan itu menghadap jendela sehingga aku berpikir bisa sedikit memberi reaksi pada gumaman yang ada di sekitarku.
Kulihat Weda dan Dya masih bergelayut manja pada istriku yang sedang bersenandung membacakan ayat-ayat suci. Demi melihat hal tersebut akupun tersenyum dan berusaha menyapa mereka.
"Ayah sehat sayang, kalian sungguh baik mau menemani ayah di toilet" kataku sembari sedikit terkikik.
"Alhamdulillah kamu sudah sadar," kata istriku, "Seminggu lebih kamu pingsan sejak terjatuh di toilet kantor."
Aku pun tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasan istriku yang tak masuk akal tersebut. Di ujung kakiku, kulihat perempuan bergaun perak kembali memutar badannya menghadap ke arahku. Tangannya terjulur seolah mengajakku pergi.
"Ayah ... Ayo maen berantem-beranteman," kata Weda dan Dya. Tangan mereka meraih kedua tanganku yang terjulur hendak meraih tangan perempuan bergaun perak.
Kekecewaaan besar sepertinya amat dirasakan oleh perempuan bergaun perak di ujung kakiku. Perlahan-lahan, ia bergerak menjauh dari ranjang tempatku tidur. Sekuat tenaga aku mencoba melepaskan tangan anak-anakku namun mendadak aku seperti lumpuh. Gumaman lantunan ayat suci dari mulut istriku sepertinya kian memperlebar jarak antara aku dan perempuan yang kini hendak memberi tahu bentuk wajahnya tersebut.
Perlahan sekali perempuan itu mengangkat wajahnya dan menyibakkan rambutnya yang sangat panjang itu. Kening dan matanya kemudian muncul membuat pupil mataku kian membesar. Kemudian seluruh wajahnya terlihat jelas meski kini ia melayang menjauhiku dan kian dekat ke jendela. Kulihat dengan seksama seraut wajah dengan jidat bersih, mata bening, pipi tirus, dan bibir tipis namun pucat itu. Meski kian menjauh dan perlahan samar karena munculnya cahaya dari jendela namun keseluruhan bentuknya tetap kuingat.
***
Duk ... duk ... duk ...
Suara tersebut datang dari Weda dan Dya yang sedang bermain "engkle" di teras. Mereka telah terlebih dahulu membuat bentuk kotak-kotak yang diberi nomor satu hingga sepuluh. Jika kuperhatikan, bentuknya menyerupai seseorang dengan kepalanya memakai kopiah.
Aku sendiri sedang menyeruput kopi buatan istriku di ruang kerjaku. Sudah seminggu aku di rumah sejak aku sadar dari tidur panjang ditemani perempuan bergaun perak. Kulihat kedua anakku yang sedang meloncat-loncat di kotal-kotak permainan "engkle" yang sedang mereka mainkan. Kulihat kepala "engkle" yang dilempar "gaco" oleh Weda seperti menggeleng.
Kukerjapkan mata demi melihat hal yang mustahil tersebut. Kulihat gelengan kepala "engkle" semakin sering dan serius seolah minta dibebaskan. Namun injakan yang dilakukan Weda kemudian menghentikan gelengan tersebut.
Lalu sunyi dan damain menyelubungi hatiku. Kedua anakku segera beralih padaku setelah mereka bosan meloncat-loncat di kotak permainan "engkle". Dya kemudian menghapus kotak-kotak tersebut yang kulihat tak berdaya meski dengan sekuat tenaga memberi kode padaku agar aku mencegah apa yang dilakukan Dya padanya.
Lalu semua keriuhan dalam hatiku hilang demi melihat teras yang kembali bersih.
(Tamat)