Bersyukur dan Sukurin!
Bersyukurlah, begitu ungkap dan pesan setiap orang tua Gehol pada anaknya. Sesulit apapun kehidupan, kata syukur selalu tersemat. Tak peduli kau NU, Muhammadiyah, atau kaum yang jauh dari Mesjid model aku ini, kata syukur senantiasa wajib disebut.
Kata itu pula yang menguatkan kami, anak-anak Gehol dan tentu saja semua warga Gehol dimanapun berada. Tak peduli BBM naik, PNPM tak sampai, raskin di garong orang, atau e-KTP yang melelahkan tak kunjung jadi, warga Gehol tetap bisa tersenyum. Syukur masih bisa hidup dan menikmati hidup jauh lebih indah daripada si Paul Cumming yang kisahnya "mengerikan".
Bagi warga Gehol, sesungguhnya kehadiran kebahagiaan telah melekat sejak mereka lahir dan besar di Gehol sana. Sistem yang sudah disematkan leluhur sesungguhnya dengan apik telah menyediakan kebahagiaan dalam arena kehidupan. Namun sistem itu diperkosa oleh cekokan materi. Maka, kini Gehol sudah mulai dirasuki hal-hal serba materi.
Jika dulu kau akan bahagia mengerjakan sawah dan kebun bersama tetanggamu, kini kau harus rajin menghitung seberapa anggaran untuk mereka. Liliuran yang diciptakan dengan penuh rasa syukur dan cinta sesama berubah menjadi ngabedug yang sejatinya komersialisasi tetangga sendiri. Miris. Begitu juga saat kau membangun rumah, tak ada lagi kajak dimana tetanggamu berkumpul sebab ikut bersyukur kau mampu bangun tempat berteduh yang layak. Kini, kajak diperkosa dengan sistem kerja harian yang sekali lagi menilai pekerjaan tetanggamu dari seberapa uang yang menurut umum layak diberikan.
Tapi, liciknya para pemerkosa sistem ini adalah kemampuan tetap mewajibkan warga Gehol bersyukur. Jika liliuran dan kajak dikomersialisasi antartetangga, maka kerid yang sejatinya adalah kewajiban pemerintah menyediakan fasilitas yang layak bagi warga Gehol justru dibebankan kepada warga Gehol itu sendiri. Sedih! Kerid dengan jumawa telah memaksa warga Gehol untuk aktif berpartisipasi membangun desa, sebuah kewajiban yang seharusnya dilakukan pemerintah.
Kini, ketika nestapa begitu sering menyapa kaum miskin, termasuk warga Gehol, pemerintah bisa jadi punya kerjaan. Tidak sengaja memang, mungkin juga tak ada niat. Seburuk-buruknya pemerintah, toh ada juga warga Gehol yang menjadikan dirinya abdi negeri ini. Menyandang status jempolan sebagai PNS, dimana masa depannya ditanggung peluh dan lelah warga Gehol yang taat pajak. Namun, banyak hal yang seharusnya mampu ditangani pemerintah yang justru terjadi kekosongan.
Kemana pemerintah saat warga Gehol berdiaspora ke kota-kota besar karena kebutuhan pekerjaan yang layak susah diperoleh di desa? Entah di mana pemerintah saat warga Gehol terpaksa blekukan menelusuri jalanan aspal berlumpur hanya sekedar untuk membuat akte lahir demi memastikan anaknya diakui negara? Lenyap, beserta janji-janji yang ditebar saat hendak menjabat.
Tapi, bukan warga Gehol namanya jika tak sanggup bertahan dari nestapa. Jika dilihat dari sejarah yang kuingat, warga Gehol yang bunuh diri sebab cengeng menghadapi kehidupan tak terangkum dalam sensus penduduk. Maka, saat pemerintah dengan lantang ingin menaikkan BBM, warga Gehol relatif tenang dan optimis menghadang masa depan. Jika sehari-hari mereka biasa ditinggal aparat, kenapa pula mesti menggantungkan harapan pada mereka yang terbukti keparat?
Sampai kapanpun, warga Gehol tetap akan tersenyum dan bersyukur, tanpa mengucapkan kata "sukurin" saat para perangkai nestapa terkena bala. Sukurin!