Melunturnya Nilai Aktivis

4:19:00 PM Unknown 0 Comments


Ilustrasi Rusuh Demonstrasi

Saat SD dahulu, tak pernah terbayangkan ada yang namanya demonstrasi. Layar televisi, radio, dan majalah langganan sekolah tak sekalipun menyebutkan kegiatan tersebut. Semua kritik dan saran selalu ditampung di kotak saran yang selalu disediakan tiap instansi. Bila tak memuaskan, toh Sang Presiden kita waktu itu selalu siap sedia turun menemui rakyatnya. Begitulah dunia damai Indonesia waktu itu, setidaknya dalam alam pikiran kami anak sekolah dasar di kampung.

Memasuki SMP, kegaduhan menyapa negeri hingga pelosok. Tercatat kota kecilku, Bumiayu, menjadi salah satu ajang kerusuhan dan penjarahan yang tentu saja memilukan. Setidaknya berpuluh toko yang entah mengapa jadi sasaran utama para penjarah. Lalu kata demontrasi dan demontran terasa begitu akrab di telinga. Semua media, kecuali majalah dan buku sekolah, begitu gamblang mendeskripsikan apa itu demontrasi.

Foto dan video terasa begitu lengkap menyajikan kengerian sekaligus keagungan demontran. Mereka yang dengan semangat baja berusaha menumbangkan presiden, yang hingga detik itu masih diharuskan dibanggakan oleh kami, terasa begitu hebat dalam benak kami. Pada saat yang sama, amarah mereka yang menjarah terasa menohok hati. Kami yang kecil dan baru memahami sedikit ilmu kemudian diam-diam ingin jadi mahasiswa. Sebab, nama itulah yang meski ribuan korban melayang dan harta benda banyak yang ludes, namun tetap harum. Meski menakutkan mengingat beberapa dari mereka raib entah kemana.

Saat SMA, gejolak negeri seolah tiada henti. Sempat begitu menikmati liburan bulan Puasa penuh, sesuatu yang pasti didamba anak-anak sekolah masa kini, dengan penuh haru tak membuat kecamuk negeri berkurang. Maka setiap saat selalu ada demonstrasi dan nama-nama aktivis bermunculan. Mereka yang diculik dimasa huru-hara 98, tetap misteri dan tetap jadi idola. Mahasiswa tetap jadi tujuan utama kami selepas SMA. Tak ada rasa takut diculik, sebab alam pikiran kami dijejali dengan kosakata baru pelindung diri. HAM.

Saat jadi mahasiswa, demonstrasi mulai surut. Entah karena negeri sudah makmur sehingga tak butuh protes, atau memang nyali sudah tak ada. Yang jelas, saat turun ke jalan, demonstrasi diperhalus jadi aksi, perintah dari senior wajib diikuti. Disinilah absurditas mengenai impian kami terlihat. Banyak warga mengeluhkan akan adanya kegiatan aksi. Sesuatu yang tak habis pikir kenapa kami bisa mendapatkan keraguan tersebut.

Kami yang mahasiswa baru dan masih hijau merasa seolah berjuang demi asap. Sekuat tenaga berteriak di jalan, namun justru disuruh minggir karena mengganggu lalulintas. Padahal, apa susahnya melambatkan laju kendaraan demi mencapai kejayaan di masa datang? Kesadaran sekaligus merasa ditelanjangi muncul saat senior menghitung rupiah hasil aksi.

Kini, setelah tak kuliah lagi, setiap melihat aktivis turun ke jalan maka yang pertama adalah mengidentifikasi dari kelompok mana mereka dan seberapa besar bayaran mereka. Sesuatu yang selalu ada dalam benak, terutama saat kekacauan melanda, kecuali kepada mereka yang jadi korban sesungguhnya. Hal ini diperburuk saat menyaksikan mantan aktivis yang kini jadi anggota DPR. Memalukan!

0 comments: