Melunturnya Nilai Aktivis
Ilustrasi Rusuh Demonstrasi |
Saat SD
dahulu, tak pernah terbayangkan ada yang namanya demonstrasi. Layar televisi,
radio, dan majalah langganan sekolah tak sekalipun menyebutkan kegiatan
tersebut. Semua kritik dan saran selalu ditampung di kotak saran yang selalu
disediakan tiap instansi. Bila tak memuaskan, toh Sang Presiden kita waktu itu
selalu siap sedia turun menemui rakyatnya. Begitulah dunia damai Indonesia
waktu itu, setidaknya dalam alam pikiran kami anak sekolah dasar di kampung.
Memasuki SMP, kegaduhan menyapa
negeri hingga pelosok. Tercatat kota
kecilku, Bumiayu, menjadi salah satu ajang kerusuhan dan penjarahan yang tentu
saja memilukan. Setidaknya berpuluh toko yang entah mengapa jadi sasaran utama
para penjarah. Lalu kata demontrasi dan demontran terasa begitu akrab di
telinga. Semua media, kecuali majalah dan buku sekolah, begitu gamblang
mendeskripsikan apa itu demontrasi.
Foto dan video terasa begitu
lengkap menyajikan kengerian sekaligus keagungan demontran. Mereka yang dengan
semangat baja berusaha menumbangkan presiden, yang hingga detik itu masih
diharuskan dibanggakan oleh kami, terasa begitu hebat dalam benak kami. Pada
saat yang sama, amarah mereka yang menjarah terasa menohok hati. Kami yang
kecil dan baru memahami sedikit ilmu kemudian diam-diam ingin jadi mahasiswa.
Sebab, nama itulah yang meski ribuan korban melayang dan harta benda banyak
yang ludes, namun tetap harum. Meski menakutkan mengingat beberapa dari mereka
raib entah kemana.
Saat SMA, gejolak negeri seolah
tiada henti. Sempat begitu menikmati liburan bulan Puasa penuh, sesuatu yang
pasti didamba anak-anak sekolah masa kini, dengan penuh haru tak membuat
kecamuk negeri berkurang. Maka setiap saat selalu ada demonstrasi dan nama-nama
aktivis bermunculan. Mereka yang diculik dimasa huru-hara 98, tetap misteri dan
tetap jadi idola. Mahasiswa tetap jadi tujuan utama kami selepas SMA. Tak ada
rasa takut diculik, sebab alam pikiran kami dijejali dengan kosakata baru
pelindung diri. HAM.
Saat jadi mahasiswa, demonstrasi
mulai surut. Entah karena negeri sudah makmur sehingga tak butuh protes, atau
memang nyali sudah tak ada. Yang jelas, saat turun ke jalan, demonstrasi
diperhalus jadi aksi, perintah dari senior wajib diikuti. Disinilah absurditas
mengenai impian kami terlihat. Banyak warga mengeluhkan akan adanya kegiatan
aksi. Sesuatu yang tak habis pikir kenapa kami bisa mendapatkan keraguan
tersebut.
Kami yang mahasiswa baru dan
masih hijau merasa seolah berjuang demi asap. Sekuat tenaga berteriak di jalan,
namun justru disuruh minggir karena mengganggu lalulintas. Padahal, apa
susahnya melambatkan laju kendaraan demi mencapai kejayaan di masa datang? Kesadaran
sekaligus merasa ditelanjangi muncul saat senior menghitung rupiah hasil aksi.
Kini, setelah tak kuliah lagi,
setiap melihat aktivis turun ke jalan maka yang pertama adalah mengidentifikasi
dari kelompok mana mereka dan seberapa besar bayaran mereka. Sesuatu yang
selalu ada dalam benak, terutama saat kekacauan melanda, kecuali kepada mereka
yang jadi korban sesungguhnya. Hal ini diperburuk saat menyaksikan mantan
aktivis yang kini jadi anggota DPR. Memalukan!
0 comments: