Ironi di Seberang Resto Cepat Saji
Ilustrasi (kompas.com) |
Seorang bocah yang meski bernama,
namun namanya takkan masuk sejarah apalagi kini ia telah meninggal. Sebuah
kejadian yang telah kuprediksi sejak pertama kali melihatnya.
Ia berada disana, di pertigaan jalan
tepat di garis penyeberangan, seharian - sejak pagi hingga kemudian jalanan
sepi. Sang Ibu menemani sambil sesekali memberikan cairan putih dalam botol
yang diperuntukkan untuk menampung air susu formula. Jikapun benar air putih
itu susu, kuyakin takarannya tak sesuai dengan kebutuhan si Bocah yang sudah
almarhum tersebut.
Si Bocah juga ditemani kakaknya,
aku duga demikian melihat kemiripan fisik dan kelakuannya kemudian saat Sang
Ibu tak ku lihat lagi. Pergi entah kemana.
Si Bocah yang sudah almarhum
tersebut selalu duduk di alas kardus dengan lapisan kain tipis yang biasa
disebut samping – sebutan di
kampungku. Ia selalu sibuk menggaruk badannya yang di beberapa tempat terletak
luka yang masih diselimuti bekasnya. Menghitam, namun terlihat jelas ada nanah
di dalamnya. Termasuk di kepalanya.
Di tempat itu, di mana si Bocah
yang telah almarhum biasa duduk, adalah kawasan yang elit dan strategis.
Mungkin karena alasan itulah Sang Ibu atau siapapun yang “memiliki hak” terhadap
si Bocah, menempatkannya sebegitu terlihat oleh para pengendara.
Di seberang tampat si Bocah
duduk, ada sebuah universitas paling terkenal di seantero negeri ini, di mana
yang masuk ke sana
membutuhkan uang bejibun demi meyakinkan pihak universitas bahwa otaknya mampu.
Universitas itu berpisah tembok saja dengan rumah sakit yang merupakan pusat
rujukan nasional rumah sakit pemerintah dan merupakan tempat pendidikan dokter
umum, dokter spesialis I dan subspesialis, perawat serta tenaga kesehatan
lainnya. Hanya selemparan pandang dari
tempat si Bocah duduk, tepatnya di sebrang jalan satunya lagi, megah berdiri
restoran capat saji idola muda-mudi negeri ini.
Bulan pertama melihatnya, aku
sudah yakin ia memiliki masalah dengan gizi. Ia selalu kulihat hanya duduk
dengan tetap setia menggaruk bagian tubuhnya yang luka dan pasti gatal sekali.
Selama ia hidup, aku hanya melihat bagian perutnya yang tumbuh. Kaki, tangan,
kepala, dan bagian lainnya seolah kian ciut. Busung lapar.
Bulan-bulan berikutnya saat kaki
dan tangan si Bocah yang telah almarhum itu kian menyusut saja. Sehingga aku
berkesimpulan bahwa dia hanya bisa duduk bukan karena perkembangannya yang
lambat. Tapi karena memang kakinya takkan sanggup menyangga tubuhnya.
Tak jauh dari si Bocah yang kini
almarhum biasa duduk sewaktu hidup, tersedia mangkuk yang berisi uang hasil
uluran tangan para pengendara. Aku selalu mengintip berapa penghasilan si Bocah,
yang “bekerja” dengan bantuan Sang Ibu yang kemudian pergi dan kakaknya yang
sesekali mengelap ingus si Bocah. Melihat dan meyakini bahwa si Bocah dan
keluarganya di koordinir “penguasa pengemis”, donasi pengendara yang seharusnya
mencukupi membeli susu – benar-benar susu balita – aku tak yakin si Bocah yang
kini telah almarhum itu sempat menikmatinya.
Bahkan melihat hasil yang
didapat, sekedar membeli makanan cepat saji di restoran yang ada di seberang
pangkalannyapun pasti bisa. Tapi yang kulihat di sekitarnya hanya botol berisi
cairan putih. Mungkin saja makanan cemilannya masih diributkan anggota dewan di
Senayan sana.
Maklum si Bocah yang sudah almarhum tak mengerti lemper, risoles, dan pisang
goreng. Dia hanya bertugas menangis, menggaruk hingga luka, dan sesekali
menenggak cairan putih dari botol susu. Semua demi melancarkan aksi agar Sang
Ibu yang kemudian pergi, agar mendapatkan lebih banyak rezeki.
Kini si Bocah pergi selamanya.
Yang ada di dekat mangkuk hanya sebuah pemberitahuan dari entah siapa. Di sana, dalam sebuah kertas
tertulis dengan jelas bahwa si Bocah telah meninggal, dan demi meringankan
beban keluarganya sudi kiranya mengisi mangkuk yang telah disediakan. Kembali
kuitip mangkuk itu, uang yang cukup membeli seporsi makanan cepat saji telah
ada, bahkan lebih.
Tak ada lagi bocah dengan perut
membesar. Tak ada lagi bocah yang hanya sanggup menggaruk dan duduk menangis.
Kaki-kaki yang kecil yang tak sanggup menopang tubuh si Bocah telah terbebas
dari tugas beratnya. Si Bocah yang telah almarhum mungkin telah menempati
lingkungan tanpa asap, bebas garuk dan luka, serat makanan yang berkecukupan.
Di alam sana.
Sang Ibu yang dulu sempat
menemani juga masih tak terlihat. Si Kakak masih setia menunggu mangkuk, sambil
sesekali saat lampu merah menyala, mendekati para pengendara. Dulu, saat si
Bocah yang telah almarhum masih ada, dia sesekali menggendong demi memunculkan
rasa iba pengendara.
Kepergian bocah kurang gizi itu
mungkin melagakan. Setidaknya mahasiswa yang lalu lalang tidak lagi merasa
bersalah ketika mereka yang selalu teriak hak-hak rakyat namun tak mampu
menolong si Bocah mencukupi gizi. Rumah sakit dan universitas paling populer di
negeri ini juga akan lega karena mereka yang setiap hari kesana tak perlu risih
bekerja atau belajar di tempat mewah yang dikerubungi kemalangan.
Yang pasti, penggemar restoran
cepat saji tak perlu lagi merasa risi sekaligus merasa perlu bersyukur karena
mampu melahap makanan penuh gengsi sekaligus penuh racun. Muda-mudi dan segenap
pengunjung lain bisa dengan tenang mengunyah, setenang si Bocah yang telah
pergi ke Nirwana. Semoga.
lah kamu sendiri yang nulis ini juga gak nolong?
ReplyDeletesame question with Barongsai :)
ReplyDeletelah, udah liat lama tapi didiemin juga?? nunggu dia mati biar ada bahan tulisan yah??
ReplyDeleteBarongsai: cuma bisa memberikan beberapa puluh ribu rupiah saja saya mampunya
ReplyDeleteAnonymous1: jawabannya sama
Anonymous2: jika tak menuliskan kisah salah, menuliskanpun salah ... begitulah penulis.. (setidaknya mau jadi penulis)
Gw malah bingung sama penulisnya, dengan polosnya dia menulis "bulan pertama.....". kalau dia sudah menyadari hal itu kenapa tidak ada secuil hatipun untuk menolongnya. Janganlah kita menyalahkan orang lain atas sesuatu yang sudah kita anggap tidak benar namun kita tidak ada niat sedikitpun untuk merubahnya. Mulailah dari diri sendiri, semampu kita pasti akan berguna buat yang membutuhkan. hmmm.....
ReplyDeleteindra: sudah saya jawab pertanyaannya sebagaimana pertanyaan agan Barongsai ... terima kasih dah mampir ...
ReplyDeleteMw dgebugin koordinator pengemis maen tolong aj? Kndsi spt itu mrka biarin agar pnghasilan naek.
ReplyDeletekalo saya intip penghasilannya seharusnya memang cukup untuk memperbaiki gizi si Bocah, tapi mungkin saja benar dugaan Anda bahwa ada mafia di situ ...
Deletelebih baik menulis dari pada diam seribu bahasa....melihat orang menderita
ReplyDeleteterima kasih dukungannya,
DeleteTerlepas kisah ini true story ataupun fiksi karena hanya penulis yang tahu, tak peduli seberapa banyak pembaca yang bertanya2 ttg apa yg diperbuat penulis ketika menyaksikan ironi itu terjadi, satu hal yang pasti penulis adalah orang yang baik.
ReplyDeleteSeandainya kisah ini tidak dituliskan, kita takkan pernah tahu bahwa ini pernah terjadi.
Sebelum kita bertanya pada penulis ttg apa yang ia perbuat, coba tanya pada diri kita apa yang akan kita lakukan jika berada di posisinya?
- Blog Till You Drop -
jika dalam tulisan saya ungkap apa yang saya lakukan akan terkesan sombong bukan?
Deleteseperti saya tulis, sebenarnya jika benar penghasilannya diperuntukkan untuk memperbaiki gizi si Bocah, seharusnya cukup. Soalnya sehari bisa sampai 50-an ribu. Masalahnya memang si Bocah seolah "dipajang" setiap hari di situ.
simpati dan empati menjadi dua hal yang sulit ditemui sekarang ini..miris, mengetahui kisah ini sementara diluar sana para wakil rakyat menikmati semua fasilitasnya yg mewah..
ReplyDeletesemoga..bocah tersebut ditempatkan di tempat yang terbaik di sisi-Nya..amin
semoga, ironi ini jadi yang terakhir...
Deleteironis beut..
ReplyDeletebeud beud banged gan
Delete*n64L4y d1ck1ed
dilema memang menghadapi kondisi demikian.
ReplyDeletehal ini hampir terjadi di banyak kota di Indonesia ini.
anak-anak, maupun org yg benar2 cacat dijadikan obyek penderita bagi para mafianya.
menghadapi demikian kadang kita berpikir diberi salah, tidak diberi kasian.
seharusnya hrs ada penanganan yg benar2 tepat dr pemerintah.
tidak hanya memasukkan mereka pada panti sosial bbrapa saat kemudian dilepas begitu saja.
seharusnya buat mereka perbanyak lapangan usaha, itu solusi yg mungkin tepat :)
bener gan ane setuju dengan agan
Delete