Belulang di Mungkal Tumpang (5)
Sarju dan Jatianom segera menyusuri
daerah yang merupakan daerah paling gelap di kompleks Swargalega. Mereka
berusaha agar sejauh mungkin menjauhi cahaya yang dipasang di setiap sudut
bangunan. Mereka berjalan sedekat mungkin dengan dinding bukit kecil yang ada
di puncak Cikadingding tersebut.
“Cepat masuk!” ujar Sarju pada
Jatianom saat menemukan sebuah celah di bukit tersebut.
Tanpa mereka sadari, mereka telah
memasuki tempat paling dilarang di Kompleks Swargalega. Ya, celah yang mereka
masuki adalah jalan masuk lain ke gua tempat Pramponama semedi dan mempelajari
teks-teks kuno yang berisi sejarah dan ilmu pengetahuan dari masa lalu.
Kedua makhluk beda ras tersebut
kemudian menyelinap ke arah dalam dari celah tersebut. Mereka kemudian
menemukan sebuah pintu kecil yang hanya muat satu orang. Jatianom yang pertama
masuk ke dalam pintu goa tersebut diikuti oleh Sarju. Semakin dalam, ruangan
yang mereka temui semakin luas dan terang.
“Hei lihat di sana Sarju!” seru Jatianom
saat menemukan sebuah lukisan dari kulit binatang terpampang di dinding gua.
“Sungguh mengagumkan,” ujar
Sarju.
Mereka berdua berhenti untuk
mengagumi lukisan tersebut. Lukisan dengan lebar dua kali rentangan orang
dewasa tersebut menggambarkan gugusan gedung nan menjulang. Di atas setiap
bangunan yang menjulang terdapat benda bulat, panjang, lojong bersayap, dan
benda yang memiliki seperti jeruji yang digambarkan berputar.
Gambar itu begitu detail. Bahkan
kumpulan manusia, kaum Margol, dan bangsa Lembut bercampur baur baik di ruang
terbuka, dalam bangunan yang menjulang, bahkan dalam benda-benda yang terapung
di atas gedung. Tak ada gambaran permusuhan di antara mereka. Bahkan di
beberapa sudut terlihat kaum Margol yang menuynggangi Langlayangan berboncengan
dengan manusia, bangsa Lembut, atau keduanya.
Sarju dan Jatianom saling
pandang. Mereka begitu kagum dengan gambaran dalam lukisan sekaligus merasakan
tarikan perasaan yang haru. Bagaimana tidak, selama ini mereka berteman dan
merindukan hubungan hangat antara manusia dan kaum Margol atau makhluk lainnya
yang ada di dunia. Namun, untuk kebanyakan makhluk, pertemanan mereka adalah
sebuah dosa.
Hingga kini, keberadaan kaum
Margol dan bangsa Lembut di Maribaya hanya sekadar mitos bagi manusia
kebanyakan. Sementara bagi kaum Margol, berteman dengan manusia sama saja
membuka pintu gerbang kehancuran. Untuk bersahabat dengan bangsa Lembut
sendiri, kaum Margol akan sangat hati-hati. Saking hati-hatinya, hingga kini sesama
utusan wajib menutup mata saat melintasi masing-masing wilayah.
Saat kedua makhluk berbeda ras
tersebut masih sibuk mencerna setiap penampakan dalam lukisan, di dalam ruang
utama puncak bangunan padepokan Swargalega, Pramponama seperti ditarik untuk
semedi.
(bersambung)
0 comments: