Belulang di Mungkal Tumpang (4)
Padepokan Swargalega memiliki
kompleks yang sangat megah. Kemegahannya hanya bisa disejajarkan dengan
Kompleks Istana Geholsraya. Meski harus diakui bahwa cita rasa seni Pramponama
jauh lebih kuat dan agung dari Sukamdani, penguasa Geholsraya.
Keagungan seni yang ditunjukkan
Pramponama dalam bangunan Padepokan Swargalega terlihat amat megah. Lihat saja
letak bangunan yang menjulang pada sebuah kawasan yang pintu masuknya harus
melalui pesisir Cigunung. Bangunan tersebut terletak di sebuah batu karang yang
berukuran sangat luas, hamper setengah Gehol ibukota Geholsraya. Daerah yang
dinamakan Cikadingding tersebut adalah wilayah yang sangat dihindari setelah
hutan Tumaregol.
Bangunan Padepokan Swargalega
dikelilingi oleh tembok yang tinggi sepanjang tebing Cikadingding. Hal ini
membuat tinggi kawasan batu karang tersebut terlihat lebih tinggi. Pintu
gerbang Swargalega terhampar menghadap pantai. Jaraknya sendiri dari pantai
terasa jauh sebab dihalangi oleh daerah berair dengan kedalaman setinggi dada
orang dewasa. Namun, ada pintu rahasia yang memudahkan para pengikut Swargalega
memasuki markas mereka tanpa basah oleh air laut. Siapapun, bahkan para
pengikut Pramponama akan ditutup saat memasuki pintu rahasia tersebut. Hanya
Pramponama sendiri dan selusin pengawal kepercayaannya yang mengetahui
keberadaan pintu tersebut.
Bangunan utama Padepokan
Swargalega berbentuk menara dengan ketinggian sepuluh tingkat. Tingkat
kesepuluh adalah tempat tinggal Pramponama. Bangunan tersebut terbuat dari batu
karang yang dipahat dengan teknik sangat tinggi. Masing-masing sisi berisikan
relief mengenai kisah keluhuran dan keagungan Swargalega.
“Geholsraya sekarang ini seolah
kerajaan tanpa pemimpin,” batin Pramponama memandang ke arah Geholsraya dari
tempat tinggalnya yang lebih tinggi beberapa puluh kali dari kediaman sang
raja.
“Kemundurannya sangat terasa.
Sukamdani hanya mementingkan perut rakyatnya. Tak ada keinginan mengagungkan
kerajaan dengan membuat sebuah monument kebanggaan yang bisa mengingatkan
rakyat Geholsraya akan keagungan negerinya beberapa ratus tahun ke depan,”
kembali ia membatin.
“Padahal, negeri ini penuh dengan
keagungan kisah dan mitos yang seharusnya bisa digali dan dijadikan titik tolak
membangun kejayaan negeri. Tidak tahukah Sukamdani bahwa di bawah kakinya
terdapat bangunan monumental yang leluhur Geholsraya bangun untuk memuliakan
peradaban. Seberapa buta ia akan teks-teks yang ada diperpustakaan kerajaan.
Bukankah disana terdapat begitu banyak kisah agung bangsa ini?” wajahnya kian
menunjukkan kegusaran.
“Haruskah aku membuka matanya
betapa negeri ini agung jika ia mau sedikit saja membuka diri akan pengetahuan
yang selama ini ia hindari?”
Asyik merenung membuat Pramponama
tidak awas dan waspada. Ia melewatkan sebuah makhluk yang terbang dengan cepat kea
rah sisi selatan padepokannya. Benda yang melayang tersebut adalah Langlayangan
Sarju sang penguasa Kaum Margol. Sebagaimana janjinya, Sarju dan Jatianom
menyusup ke Padepokan Swargalega demi memuaskan pertanyaan mereka tentang
kisah-kisah kuno yang kini hanya jadi dongeng menakuti bocah belaka.
Langlayangan Sarju melayang ke
sisi selatan yang dinamakan Jatindra oleh pengikut Swargalega. Kawasan ini
adalah kawasan yang dikeramatkan karena terdapat gua tempat Pramponama
bersemedi. Selain itu, di kawasan ini ada ruang rahasia yang dijadikan sebagai
tempat membaca. Di dalam ruangan ini terdapat banyak sekali teks-teks kuno yang
dikumpulkan Pramponama dari berbagai wilayah di Geholsraya.
Sebenarnya, Sarju dan Jatianom
tidak mengetahui bahwa daerah tempat Langlayangan mereka mendarat tersebut
adalah tempat yang mereka cari. Sarju mengarahkan tunggangannya kesana sebab
daerah Jatindra inilah yang paling gelap di puncak Cikadingding. Ia sedah
beberapa waktu mengintai markas Swargalega berbekal menunggangi Langlayangan
kesayangannya tersebut.
“Bersembunyilah Jatayu,” ujar
Sarju pada Langlayangannya.
(bersambung)
0 comments: