Belulang di Mungkal Tumpang (3)
Sarju dan Jatianom sama-sama
tertarik dengan dongeng-dongeng lama. Mereka yakin bahwa dongeng yang
diceritakan leluhur mereka memiliki akurasi kebenaran yang mengagumkan.
“Di masa lalu, ketika semua
bangsa masih suka kedamaian, bangsamu, bangsaku, dan bangsa-bangsa yang kini
dianggap cuma mitos bersatu dan saling membantu,” ujar Sarju.
“Serakah. Entah bangsa mana yang
serakah,” ujar Jatianom.
“Sulit mengetahui siapa yang
memulai kawan. Cerita ini sudah begitu lama. Mungkin lebih lama daripada
hutan-hutan yang ada di sini. Bahkan Tumaregol yang kalian keramatkan,” tegas
Sarju.
“Kisah yang kita selalu kita
perbincangkan tak ada yang memercayainya. Sama seperti bangsamu yang sebagian
banyak tidak memercayai keberadaan kami. Kaum Margol, bagi kalian hanyalah
memedi yang pantas diucapkan demi menakuti anak-anak. Hutan kami kalian sebut
angker agar keingintahuan anak-anak terpenjara oleh ketakutan. Semua menyangkut
kami dibuat seram oleh bangsa kalian. Mungkin olehmu juga, sebelum kita bertemu
dan jadi sahabat seperti sekarang,” Sarju bercerita sambil menerawang.
“Jujur, aku hingga detik ini
dulit percaya bahwa aku bisa bertemu dan berbincang dengan bangsamu Sarju. Bagi
kami kaum manusia, bangsamu adalah jin marakayangan. Legenda tentang kalian
selalu menyeramkan. Berisi tentang permusuhan dan pembantaian terhadap kami.
Setiap mendengar penghuni Tumaregol, kami manusia seakan dihadapkan dengan
kekejian. Menakutkan.” Terang Jatianom.
“Begitu juga dengan bangsa kalian
di mata kami,” Sarju membalas dengan singkat.
“Sebuah batu. Aneh sekali bukan?
Sebuah batu bisa mengubah peradaban dan pandangan makhluk yang dulu hidup
berdampingan menjadi saling memusuhi dan menyimpan dendam,” ujar Sarju heran.
“Jangan salah Sarju, kadang sudut
pandang kita terlalu sederhana. Lagipula, siapa yang tahu dengan pasti batu
seperti apa yang diperebutkan. Kita hanya tahu sekelumit. Kau tahu, di bangsa
kami ada sebuah perkumpulan yang menamakan diri Swargalega. Kabarnya mereka
mengkhususkan diri mempelajari teks-teks kuno. Aku sendiri sangat ingin
mempelajari kisah-kisah kuno dari sumber yang bisa dipercaya, bukan sekedar
cerita pelepas kantuk semata.” Jatianom berbinar saat membicarakan tentang
teks-teks kuno.
“Kau dan aku memiliki keinginan
yang sama Jati,” kata Sarju tak kalah antusias.
Keduanya lalu berpandangan dan
saling tersenyum.
“Menyusup ke Swargalega!” teriak
mereka hamper berbarengan.
Mereka kemudian tertawa-tawa
seolah menemukan keberhasilan yang gemilang. Tentu saja Langlayangan Sarju
mengeluarkan suara kaget sekaligus khawatir. Tunggangan Sarju yang terkenal
memiliki naluri linuwih ini menguik lemah untuk mengingatkan juragannya.
Akhirnya, Sarju dan Jatianom berhenti tertawa. Mereka sadar bahwa tawa mereka
yang berlainan bunyi bisa memancing bangsa manusia seperti jatianom untuk
terbangun.
(bersambung)
0 comments: