Ngaradinan Bayi di Gehol: Ritual Bertujuan Mulia yang Kian Hilang


Menyambut kelahiran bayi bagi masyarakat Gehol tidaklah sesederhana masyarakat modern. Banyak rangkaian ritual magis yang dilakukan agar anak-anak yang lahir kemudian menjadi manusia yang luhur secara budi dan akal. Salah satu ritual yang dahulu wajib dilakukan adalah ngaradinan.

Ngaradinan sendiri memiliki kata dasar radin. Ini adalah kata yang termasuk arkaik atau kuno dan kini jarang digunakan lagi. Arti radin bisa ditelusuri dari sebuah kalimat yang ada dalam naskah kuno yang berbunyi, "caang radin di sarira". Kalimat tersebut jika diterjemahkan secara konteks maka akan muncul arti "jiwa yang terang-benderang".

Jika dikonotasikan ke dalam simbol-simbol kehidupan, maka kata terang tentu saja berkonotasi positif. Pelaksanaan ritual ngaradinan bisa dimaknai sebagai sebuah usaha dari orang tua agar sang bayi memiliki kehidupan yang baik. Kehidupan yang baik akan bisa terlaksana jika sang bayi memiliki jiwa yang bersih. Kebersihan jiwa inilah tujuan utama diadakannya ritual ngaradinan

Jangan dikira bahwa warga Gehol jaman dahulu yang melakukan ritual ini tidak memikirkan kehidupan yang akan tiba sesudah kematian datang. Ngaradinan sendiri merupakan salah satu jenis ritual magis putih atau bertujuan baik. Dalam sebuah naskah Sunda bernama Sewaka Darma, tujuan ritual yang dilakukan dengan mengalungi leher dan menggelangi kaki dan tangan dengan benang putih ini bertujuan agar sang bayi kelak menjadi manusia dengan pendirian kuat.

Makna mengikat tali pada tangan, kaki, dan leher adalah agar sang anak mampu mengendalikan tangan, kaki, penglihatan, penciuman, dan pendengaran saat dewasa nanti. Anak juga diharapkan mampu mengendalikan lisannya dari ucapan buruk sehingga hidup mereka bahagia tidak hanya di dunia yang fana ini, namun juga kelak di alam keabadian atau akhirat. Sebuah tujuan yang religius dan mulia namun karena minimnya kemampuan masyarakat modern sering kali hal ini dianggap ritual sesat.

Dalam pandangan masyarakat Gehol, kebaikan dalam menjalani hidup merupakan sebuah keniscayaan. Karena menjalani hidup dengan penuh kebaikan merupakan jalan yang paling sahih ketika seseorang kelak kembali kepada sang pemilik. Tidak mungkin seseorang akan bisa kembali kepada Tuhan yang menciptakannya jika laku lampah yang dijalani tidak sesuai dengan tuntunannya.

Hingga sebelum pergantian milenium, ritual ngaradinan masih akrab dengan masyarakat Gehol. Salah satu buktinya adalah ketika seorang anak nakal, maka biasanya keluar ucapak "jiga nu teu diradinan" dari orang-orang yang lebih tua. Kalimat tersebut secara harfiah berarti "kok kamu seperti belum pernah diradinan", artinya si anak menunjukkan perilaku yang tidak atau belum sesuai dengan tuntunan kebaikan yang diajarkan.

Kini, ngaradinan  sudah sangat jarang ditemui. Salah satunya adalah karena proses kelahiran bayi kini menggunakan jasa bidan atau dokter. Tentu saja, masyarakat modern - demikian kita mengklaim kita sendiri - tak membutuhkan segala macam ritual dalam menyambut kelahiran bayi. Bagi kita sekarang, cukuplah bayi diberi asupan gizi yang baik, disuruh ngaji, dan diberikan sekolah yang baik. Maka, jangan heran banyak anak-anak modern yang kemudian gagap menghadapi kehidupan yang keras.

Selain tuntutan modernitas, pandangan tokoh agama yang sering mengecap segala sesuatu dengan sebutan haram, kafir, dan musyrik sering kali membuat warga takut melakukan ritual. Padahal jika kita kaji, banyak nilai-nilai luhur yang bisa diambil dari ritual-ritual jaman dahulu asal kita mau mempelajarinya. Bukankah terbukti saat ini banyak kerusakan alam dan laku lampah manusia yang salah satunya adalah terlalu menyepelekan segala nasihat orang-orang jaman dahulu. Celakanya, banyak nasihat-nasihat yang dibungkus dengan ritual sehingga semuanya dianggap sebagai perilaku yang melanggar ajaran agama.

Jadi, sudahkah kalian diradinan wahai generasi masa kini?







Menguji Ketahanan Aparat Desa dari Godaan Dana Desa

Setelah menuangkan keresahan masyarakat Gehol yang bertanya-tanya tentang berapa besaran dana desa yang dikucurkan pemerintah di artikel sebelumnya berjudul Setahun Lebih Kades Gehol: Mana Dana Desa?, datanglah sebuah kabar menggembirakan. Beredar daftar besaran dana desa di wilayah Kecamatan Bantarkawung, Kabupaten Brebes.

Meski bukan pemerintahan desa yang mengabarkan hal tersebut, tentu hal ini sedikit menjadi angin segar bagi masyarakat di desa Sindangwangi. Mengetahui besaran dana yang turun bisa dijadikan tolok ukur perkembangan pembangunan. Jika besaran dana tersebut benar adanya, maka masyarakat akan dengan mudah menilai kinerja aparatur pemerintahan desa dalam memanfaatkannya.

Berdasarkan daftar yang beredar di media sosial, dana desa untuk Desa Sindangwangi sendiri mencapai Rp840.706.000, sebuah angka fantastis untuk ukuran sebuah desa. Angka ini tentu saja nyaris tak dapat dimiliki oleh sebagian besar warga Gehol meskipun telah bekerja seumur hidup mereka. Karena jumlah dana yang super jumbo tersebut, maka sudah seharusnya mata para penduduk desa waspada layaknya mata seekor elang untuk mengawasinya.

Memang saat ini sudah ada pendamping desa yang diharapkan bisa menjadi jembatan bagi aparatur desa yang belum terbiasa mengelola dana besar termasuk dalam pembukuannya. Meski demikian, masih terbuka peluang terjadinya penyelewengan dari dana yang besar tersebut. Dalam pengelolaan uang yang berlimpah, kewaspadaan dan kecurigaan wajib didahulukan. Sebab sudah hukum alam bahwa ketika ada kesempatan, seseorang yang tak berniat jahat pun bisa terjerembab.

Selain mengawasi pemakaian dananya, warga desa juga bisa berpartisipasi dalam banyak hal terkait pemanfaatan dana yang melimpah tersebut. Sudah bukan jamannya jika hanya pemerintahan desa yang dianggap berhak mengelola dana. Warga desa pun berhak mendapatkan kesempatan untuk ikut mengelola dana tersebut sepanjang demi kemaslahatan bersama. Tentu saja, ada koridor-koridor hukum dan aturan yang harus ditaati dan dijalankan bersama.

Peran pihak-pihak lain dalam mengelola dana desa memang penting agar tujuan mulia dari pengucuran dana tersebut bisa tercapai. Sebagaimana kita tahu bahwa selama ini pembangunan di negara ini terkesan dari atas ke bawah, bukan sebaliknya. Selama ini, kota seolah mendapat hak-hak istimewa dalam mengembangkan wilayahnya sementara desa seolah-olah diisolasi dengan kegiatan pembangunan yang ala kadarnya. Ditambah dengan tidak kreatifnya aparatur desa dalam mencari sumber-sumber lain dan dalam pembangunan itu sendiri, maka desa seolah-olah hanya dijadikan bantalan semata.

Kini, dana besar sudah ditangan para pengelola desa sehinga sudah tidak ada alasan lagi bila sebuah desa memiliki infrastruktur tertinggal. Aparatur desa juga tidak bisa berkelit tak ada dana saat ada warganya yang membutuhkan. Yang pasti, semoga besaran dana desa tidak membuat para pengelolanya gelap mata.

Selamat mengelola dana desa para Kades, semoga selamat sampat akhir jabatan!


Hantu Bergaun Perak (2)

Teman satu divisiku yang tergesa-gesa masuk ke dalam toilet dan menimbulkan suara nyaring pada pintu kamar mandi telah masuk ke dalam toilet di sebelahku. Sepi kemudian menguasai toilet hingga ada suara air mengguyur hajat di sampingku. Kiranya temanku yang kebelet tadi sudah membuang semua beban dari perutnya.

Aku sendiri yang duduk di toilet bukan karena hendak membuang hajat sengaja menunggu temanku keluar lebih dahulu. Memang tak lama kemudian pintu toilet di samping bergerak membuka dan sesosok tubuh keluar dari sana. Kupikir kesendirianku akan bermula lagi.

Srekkk ...
Duk ... duk ... duk ...

Namun betapa kagetnya aku saat mendengar suara yang biasa menyapaku tersebut. Dengan segera aku merapikan celanaku dan pakaianku. Aku berdiri dan segera kubuka pintu toilet tempatku pagi ini terpekur sambil memikirkan seberapa parah kondisi kantorku saat ini. 

Sebelum kubuka lebar, sejenak kuintip kondisi di luar dari celah pintu yang sedikit kubuka. 

Srekkkk ...

Kembali suara itu terdengar dan kilatan perak berkilau menerpa sudut mataku. Aku segera memburu asal kilatan tersebut sembari membuka pintu toilet dengan segera. 

Brukkkk ...

Saking tergesanya aku membuka toilet, keseimbanganku limbung sehingga aku terjatuh. Lalu kulihat perempuan bergaun perak tersebut melayang menyambar ke arahku yang saat itu telentang tak berdaya. Aku hanya bisa teriak melihat wajah yang tertutupi rambut terurai panjang tersebut. Gaun panjangnya yang berwarna perak kemudian seolah hendak menimpa wajahku. Kututup wajahku dengan kedua tanganku karena tak sanggup membayangkan tubuh perempuan yang melayang dalam kecepatan tinggi tersebut menimpa tubuhku. 

 ***
 

Sunyi menguasai diriku yang sedang memeriksa lamat-lamat suara yang ada di sekitarku. Banyak gumaman yang menyebut-nyebut namaku. Ingin sekali kusahuti gumanan tersebut namun entah kenapa bayangan perempuan bergaun perak yang sedang berdiri di ujung kakiku selalu mengisyaratkan agar aku jangan bersuara. Bahkan, saat hendak menoleh ke arah gumaman pun, perempuan itu selalu melarangku dengan memberikan gestur tubuh berupa gelengan kepala. 

"Ayah ... ayah .... Kenapa ayah tidurnya lama banget Ma?" ujar Weda ke arah istriku yang menunjukkan wajah kebingungan sambil menggandeng Dya. 

Aku berusaha memberikan senyuman kepada anak dan istriku untuk memberi tanda bahwa aku baik-baik saja. Sayangnya, kembali perempuan yang hingga kini tak mau menunjukkan wajahnya itu kembali menggeleng. Aku pun kembali memasang wajah tanpa ekspresi demi melihat hal itu. 

Aku kembali tenggelam dalam sunyi menikmati kibaran gaun perak yang dipakai perempuan yang setia berdiri di ujung kakiku menungguku. Kini, perempuan itu menghadap jendela sehingga aku berpikir bisa sedikit memberi reaksi pada gumaman yang ada di sekitarku. 

Kulihat Weda dan Dya masih bergelayut manja pada istriku yang sedang bersenandung membacakan ayat-ayat suci. Demi melihat hal tersebut akupun tersenyum dan berusaha menyapa mereka.

"Ayah sehat sayang, kalian sungguh baik mau menemani ayah di toilet" kataku sembari sedikit terkikik. 

"Alhamdulillah kamu sudah sadar," kata istriku, "Seminggu lebih kamu pingsan sejak terjatuh di toilet kantor."

Aku pun tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasan istriku yang tak masuk akal tersebut. Di ujung kakiku, kulihat perempuan bergaun perak kembali memutar badannya menghadap ke arahku. Tangannya terjulur seolah mengajakku pergi. 

"Ayah ... Ayo maen berantem-beranteman," kata Weda dan Dya. Tangan mereka meraih kedua tanganku yang terjulur hendak meraih tangan perempuan bergaun perak.

Kekecewaaan besar sepertinya amat dirasakan oleh perempuan bergaun perak di ujung kakiku. Perlahan-lahan, ia bergerak menjauh dari ranjang tempatku tidur. Sekuat tenaga aku mencoba melepaskan tangan anak-anakku namun mendadak aku seperti lumpuh. Gumaman lantunan ayat suci dari mulut istriku sepertinya kian memperlebar jarak antara aku dan perempuan yang kini hendak memberi tahu bentuk wajahnya tersebut.

Perlahan sekali perempuan itu mengangkat wajahnya dan menyibakkan rambutnya yang sangat panjang itu. Kening dan matanya kemudian muncul membuat pupil mataku kian membesar. Kemudian seluruh wajahnya terlihat jelas meski kini ia melayang menjauhiku dan kian dekat ke jendela. Kulihat dengan seksama seraut wajah dengan jidat bersih, mata bening, pipi tirus, dan bibir tipis namun pucat itu. Meski kian menjauh dan perlahan samar karena munculnya cahaya dari jendela namun keseluruhan bentuknya tetap kuingat.

***
Duk ... duk ... duk ...

Suara tersebut datang dari Weda dan Dya yang sedang bermain "engkle" di teras. Mereka telah terlebih dahulu membuat bentuk kotak-kotak yang diberi nomor satu hingga sepuluh. Jika kuperhatikan, bentuknya menyerupai seseorang dengan kepalanya memakai kopiah. 

Aku sendiri sedang menyeruput kopi buatan istriku di ruang kerjaku. Sudah seminggu aku di rumah sejak aku sadar dari tidur panjang ditemani perempuan bergaun perak. Kulihat kedua anakku yang sedang meloncat-loncat di kotal-kotak permainan "engkle" yang sedang mereka mainkan. Kulihat kepala "engkle" yang dilempar "gaco" oleh Weda seperti menggeleng.

Kukerjapkan mata demi melihat hal yang mustahil tersebut. Kulihat gelengan kepala "engkle" semakin sering dan serius seolah minta dibebaskan. Namun injakan yang dilakukan Weda kemudian menghentikan gelengan tersebut. 

Lalu sunyi dan damain menyelubungi hatiku. Kedua anakku segera beralih padaku setelah mereka bosan meloncat-loncat di kotak permainan "engkle". Dya kemudian menghapus kotak-kotak tersebut yang kulihat tak berdaya meski dengan sekuat tenaga memberi kode padaku agar aku mencegah apa yang dilakukan Dya padanya. 

Lalu semua keriuhan dalam hatiku hilang demi melihat teras yang kembali bersih. 

(Tamat)


Mengurai Mitos Samagaha dalam Masyarakat Gehol

Fenomena gerhana matahari total menyita perhatian hampir separuh negeri. Mereka berlomba menjadikan fenomena yang konon datang setiap 33 tahun sekali ini sebagai ajang meraup keuntungan. Bukan saja keuntungan ekonomi, keuntungan lain dalam bidang politik pun sering dikait-kaitkan.

Namun, tak usahlah terlalu berharap bahwa kita akan mendapatkan keuntungan uang melimpah dan politik yang mujur dengan adanya gerhana matahari ini. Bagi saya, menikmatinya dalam kesendirian atau bersama orang tercinta tanpa membahayakan mata sudah cukup. Tak perlu terlalu berharap terhadap hal-hal yang tak biasa karena bisa-bisa kita dituduh subversif terhadap keyakinan yang sudah mapan.


Setahun Lebih Kades Gehol: Mana Dana Desa?

Setahun lebih kepada desa Sindangwangi menduduki jabatannya. Banyak sudah yang ia perbuat, meski tentu saja masih banyak yang harus ditingkatkan. Lalu, seberapa efektif pembangunan di kampung Gehol tersebut setelah dana desa bergulir?

Menikmati Gehol sekarang tentu kau takkan lepas dari kemajuan jaman. Di mana kendaraan roda dua dan roda empat sudah tak asing lagi melewati jalanan kampung. Jika dahulua ada segerombolan anak-anak kecil mengikuti mobil bak demi berpegangan sebentar dan menikmati laju mobil, saat ini hal tersebut sudah sangat sulit ditemukan. Anak-anak kecil di Gehol punya aktivitas sendiri-sendiri yang segudang, sekolah, mengaji, maen gadget, dan voli. 

Infrastruktur desa juga lumayan baik, meski saya tak habis pikir kenapa jalanan di kecamatanku kurang greget dibandingkan dengan jalanan kecamatan Bumiayu dan Salem. Kini, warga desa juga dikenalkan dengan sistem pengairan semi kapitalis. Berkat bantuan dari pemerintah daerah, pejabat desa kemudian membentuk perusahaan air minum yang bagi siapa saja peminatnya harus mendaftar dengan jumlah tertentu dan membayar iuran setiap bulannya.

Jalanan juga perlahan-lahan mulai dibangun di dukuh-dukuh yang membutuhkan. Bahkan, tersiar kabar bahwa desaku akan dilalui jalan tengah Kabupaten Brebes guna mengurai kemacetan saban tahun. Konon jalanan itu akan menjadi alternatif dari jalan yang sudah ada sekarang ini. Nantinya, para pemudik dari Brebes menuju Bumiayu akan diberi pilihan, tetap memakai jalur tradisional atau menelusuri indahnya pemandangan jalan baru. 

Lalu, dimanakah dana desa yang kata pemerintahan Jokowi sudah disebar ke desa-desa guna dimanfaatkan membangun dan mensejahterakan desa? Kabarnya, dana desa di kampungku hanya ada tiga orang yang tahu dan Tuhan. Jika tiga orang ini punya istri, kemungkinan para istri-istri mereka juga tahu. Dan jika ketiga istrinya punya karib tempat berbagi segala hal, maka bisa bertambah pula mereka yang mengetahui dana desa di desaku. Daftarnya akan kian panjang, namun hingga kini jumlah dana desa di kampungku masih misteri bagi kebanyakan orang.

Sayangnya, para pamong praja pengurus desa cuma bisa menduga-duga berapa besarnya. Begitupun dengan orang-orang yang tergabung dalam aneka lembaga desa. Mereka cuma bisa menduga-duga berapa besarnya dana desa yang ada dalam kas desa. Setali tiga uang dengan para pejabat kelurahan dan lembaga desa, rakyatpun tak ada yang tahu. Jika jumlahnya saja tidak tahu, lalu bagaimana dengan penggunaannya?

Sejatinya, undang-undang memang mengatur kepala desa untuk melaporkan keuangannya kepada kepala daerah dan rakyatnya. Sayangnya, jikapun ia tak melaporkannya, yang bisa memberi sanksi hanyalah kepala daerah saja. Sementara rakyat, tidak bisa menuntut banyak selain menggerutu dalam hati. Atau jika punya nyali maka akan menggeruduk desa beramai-ramai. Sayang seribu sayang, warga sudah terlalu sibuk memikirkan kesulitan akibat ulah pemerintah daripada memikirkan dana desa.

Mekanisme yang lebih beradab menurut undang-undang adalah dengan mengadakan musyawarah desa. Ini akan terjadi jika BPD menginisiasinya dengan membentuk panitia dan mengundang seluruh stake holder yang ada di desa. Untuk yang satu ini, sepertinya takkan pernah terjadi sebab para anggota BPD yang seharusnya bernyali justru tak bisa berbuat apa-apa.

Lalu, kenapa undang-undang desa tidak berkutik ketika menghadapi kepala desa yang masih bergaya feodal? Ya karena masyarakat desa merupakan entitas yang masih lekat dengan budaya tersebut. Sekali seseorang sudah memegang jabatan, tak peduli seberapa pandirnya ia, selamanya rakyat takut padanya. Meski tentu saja, di belakang menertawai hingga susah bernapas.

Lalu, bagaimana cara masyarakat mengetahui berapa besaran dana desa yang mengucur? Mungkin perlu pendekatan lebih kepada para istri pejabata yang berwenang. Konon, di negeri ini jika ada seorang lelaki menduduki jabatan tinggi sejatinya istrinyalah yang mengendalikan semua hal.