Aku Benci Skripsi, Terutama Olah Data

Sekian lama menuntut ilmu di Universitas, terantuk halangan bernama skripsi. Beragam cara sudah kutempuh untuk meluluhkan ketegasan dosenku, berulang kali aku kecewa. Yang ada revisi lagi, revisi lagi, revisi lagi.

Aku pun akhirnya memutuskan untuk berselingkuh dari dosen pembimbingku. Dengan bantuan teman, aku akhirnya bisa membuat bagian yang selalu direvisi bisa lolos dari jeratan mata elang dan mulut pedas dosenku. Apa bagian yang selalu direvisi tersebut? Tak lain dan tak bukan adalah olah data.

Sebagai seorang mahasiswa ilmu sosial, alias sastra, aku sudah menjauhi hitung-hitungan dan tetek bengek angka sekira 3,5 tahun lamanya. Meski sudah dipoles dengan beberapa SKS mata kuliah statistik, namun tetap saja perhitungan data-data yang kulakukan sering meleset. Bahkan kata meleset terlalu baik untukku saat itu, ngaco lebih tepat. 

Kesimpulan ngaco lebih tepat tentu saja kudapatkan dari dosen pembimbing. Kian yakin aku dengan ngaconya perhitungan olah data yang kulakukan setelah diamini oleh kawanku yang menimba ilmu di jurusan eksakta. Memang beruntung aku, masih punya kawan akrab dari golongan tukang hitung yang mau menghitung ke dalam angka jawaban-jawaban respondenku saat itu.

Dari situ aku mendapat pelajaran bahwa mengerjakan skripsi memang terkadang menimbulkan kebencian. Kebencian yang tumbuh bukan saja dilampiaskan kepada dosen, namun juga kepada apa yang dikerjakan. Apalagi kalau bukan skripsi itu sendiri. Dan bagiku, olah data adalah bagian paling menyebalkan dari skripsi.

Meski sesudah lulus aku berpikir, bahwa jika saja saat itu aku tak membenci skripsi dan olah data di dalamnya, mungkin saja aku bisa lulus lebih awal. Sayang, memang masa muda lebih mudah menimbulkan emosi, termasuk benci. Cinta, tentu saja!

Kapan Ummat Islam Bangkit? Saat Sandal di Mesjid Rapi

Menjadi ummat dengan jumlah mayoritas dan menurut klaim beberapa pihak pertumbuhannya di Eropa, Australia, dan Amerika Serikat kian meningkat tak membuat ummat Islam pede. Saking tak percaya dirinya, banyak postingan hoax untuk meningkatkan kepercayaan diri serta iman sebagian pemeluknya.
Lihat saja aneka postingan yang mengabarkan artis luar negeri mulai dair Jackie Can, Paris Hilton, hingga Paus Paulus masuk Islam. Seolah kebenaran Islam akan makin nyata jika nama-nama beken di belahan dunia lain ikut menjadi penganutnya. Mungkin, ini salah satu konspirasi Wahyudi dan Mamarika yang mendoktrin alam bawah sadar kita bahwa suatu kebenaran adalah milik mereka yanhg paling banyak penganutnya. Maka, ummat Islam yang berjamaah di Facebook, Twitter, dan jejaring sosial lainnya harus memasukkan sebanyak mungkin pesohor demi Islam yang benar.
Tak hanya sampai di situ, krisis kepercayaan sebagian ummat Islam kian kronis tatkala harus berhadapan dengan sains yang sementara ini dinahkodai orang-orang non-Muslim. Maka, serangkaian pembenaran yang ada dalam Al-Qur'an didapuk untuk mementahkan aneka penemuan sains. Jika penemuan ilmu teknologi atau alam semesta sesuai dengan keyakinan, maka ummat Islam yang minder akan mengatakan bahwa "Al-Qur'an juga sudah bilang .....". Begitu seterusnya.

Pesta Pora Penyebar Hoax

Karena banyaknya euforia ingin meninggikan derajat Islam yang tercabik-cabik oleh sebagian perilaku ummatnya yang dijadikan bahan propaganda jahat media besar, maka para penyebar hoax berpesta pora. Mereka dengan mudah menyebarkan hal-hal yang bahkan pada kenyataannya tidak terkait agama apapun kemudian dibungkus dengan embel-embel Islam. Bukan itu saja, level hoax juga sudah meningkat pada pemalsuan identitas yang kemudian digunakan untuk mendiskreditkan Islam.
Tengok saja akun-akun palsu yang dengan gagah berani mencaci Islam kemudian bermetamorfosis jadi pembela Islam nomor satu. Sebagian lagi menjadi akun paling Islami saat masih memiliki sedikit teman. Setelah kemudian mendapatkan impresi luar biasa di jagat maya, mereka kemudian bertranformasi menjadi akun-akun dagang. Dengan kata lain, para penyebar hoax memainkan psikologis sebagian ummat Islam jamaah sosial media untuk kepentingan mereka. Bisa jadi, para petualang politik melakukan hal yang sama untuk membenturkan kekuatan politik yang ada. Mungkin, rivalitas Jokowi-Prabowo adalah bentuk nyata dari pesta pora penyebar hoax ini.
Dengan mudahnya sebagian ummat Islam diacak-acak seperti ini, bahkan hanya di dunia maya, maka timbul pertanyaan kapankah ummat Nabi Muhammad SAW ini akan kembali menemukan kejayaan? Betapa rindu ummat Islam akan kejayaan masa lampau hingga akhirnya menjadi para pendekar sosmed demi membalikkan kejayaan agama yang dirahmati Allah SWT ini. Bahkan, saking inginnya mengembalikan kejayaan Islam, sebagian ummat bertengkar dengan sesama pembawa bendera Islam sambil saling mengafirkan.
Mungkin, ummat Islam memang perlu mawas diri lebih dalam daripada terus-menerus membanggakan keagungan masa lalu. Karena salah satu kunci utama kemajuan adalah disiplin, maka sebaiknya ummat menyadari kekurangan ini. Lihat saja saat Jumatan tiba, betapa berserakan sandal dan sepatu jamaah yang hendak menunaikan sholat. Jikapun hendak rapi, semua sudah diambil alih para kapitalis, alias harus bayar. Mungkin, jika ummat Islam mampu menyimpan sandal dengan rapi saat hendak berjamaah, saat itulah kejayaan Islam akan kembali. Sebab sesudah mampu menjalankan kedisiplinan dalam level hal-hal sepele, bukankah itu berarti dalam hal yang lebih besar juga sudah bisa menerapkannya?