Ironi di Seberang Resto Cepat Saji


Ilustrasi (kompas.com)



Seorang bocah yang meski bernama, namun namanya takkan masuk sejarah apalagi kini ia telah meninggal. Sebuah kejadian yang telah kuprediksi sejak pertama kali melihatnya.

Ia berada disana, di pertigaan jalan tepat di garis penyeberangan, seharian - sejak pagi hingga kemudian jalanan sepi. Sang Ibu menemani sambil sesekali memberikan cairan putih dalam botol yang diperuntukkan untuk menampung air susu formula. Jikapun benar air putih itu susu, kuyakin takarannya tak sesuai dengan kebutuhan si Bocah yang sudah almarhum tersebut.

Si Bocah juga ditemani kakaknya, aku duga demikian melihat kemiripan fisik dan kelakuannya kemudian saat Sang Ibu tak ku lihat lagi. Pergi entah kemana. 

Ketika Sandiwara Radio Berjaya


Radio

Radio mungkin adalah satu-satunya media yang mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Saat televisi dan internet menggempur, eksistensi radio tetap ada meski penggemarnya mulai tergerus.

Gehol sebagai sebuah peradaban tentu saja akrab dengan radio. Apalagi di masa-masa ketika televisi masih menjadi barang mahal dan hiburan lainnya hanya datang di saat-saat tertentu. Radio dengan kemampuannya menyajikan hiburan murah mampu mengambil hati warga Gehol yang minim hiburan.

Masih segar dalam ingatan saat sore hari sesudah Ashar dan menjelang Maghrib warga Gehol, terutama ibu-ibu, berkumpul di halaman rumah masing-masing. Mereka berbaris membentuk “kereta api” dengan yang paling tua berada pada jajaran paling depan. Barisan “kereta api” tersebut adalah aktivitas membersihkan rambut dari binatang kutu, ketombe, hingga uban.

Permainan Gehol yang “Direnggut” PLN


Gobak Sodor

Terang bulan adalah anugerah tak terlupakan saat masa kecil masih belum disentuh listrik PLN. Saat itu,  pekerjaan anak-anak kecil hanya lima: sholat, mengaji, sekolah, kerja, dan bermain. Bermain adalah kegiatan wajib ada meski saat sholat, mengaji, sekolah, dan kerja.

Lalu kenapa ketika terang bolam milik PLN begitu terkesan merenggut kekompakkan bocah-bocah Gehol? Jawabannya adalah karena listrik PLN memacu penduduknya mengisi rumah dengan barang-barang yang “mencegah” anak-anak mereka keluyuran malam sesudah mengaji. Bahkan memanjakan anak-anak di siang hari saat sekolah usai.

Ingatanku masih sangat kuat ketika Gobak Sodor, Benteng, dan Jambelong menemani malam hari kami. Dengan bantuan penerangan seadanya mulai dari pelita, petromaks, neon bertenaga aki, kelap-kelip neon dari mesin diesel yang dirawat bapakku, hingga cahaya gratis dari bulan, anak-anak Gehol akan memenuhi setiap tempat lapang yang bisa dijadikan tempat bermain.

Nyorog: Bukti Cinta ala Gehol




Menjadi jomblo, dimanapun kau berada, pasti tak mengenakkan. Apalagi di Gehol yang memiliki tradisi menunjukkan cinta yang teramat tinggi. Di Gehol alias Jetak, terdapat sebuah tradisi yang sangat erat dengan cinta. Nyorog.

Nyorog secara harfiah adalah memberikan. Namun dalam tradisi Gehol, nyorog bisa diartikan juga sebagai ajang pembuktian cinta. Dalam tradisi ini, si perempuan dan keluarganya akan memberikan hantaran berupa makanan, minuman, pakaian, dan entah apalagi. Sang pria cukup duduk di rumah dan menyalakan petasan sebagai tanda kedatangan perempuan tercintanya. Juga sebagai tanda bahwa ada perempuan yang mau menjadi pasangannya.

Cengkeram Perempuan di Senayan


Perempuan-Perempuan Tersorot Korupsi
Dari pemilu ke pemilu, kaum perempuan dan feminis begitu menggebu untuk mendapatkan porsi yang lebih. Bagaimanapun, hak mereka tersebut memang sudah seharusnya sama dengan lelaki. Termasuk dalam berpolitik, salah satunya menjadi anggota DPR.

Hasilnyapun menggembirakan. Dari 650 anggota DPR saat ini, 101 kursi (18,03%) diduduki politisi perempuan dari berbagai partai. Ini adalah kenaikan yang cukup signifikan dibadingkan pemilu 2004, ketika jumlah politisi perempuan di DPR baru mencapai 11,6%. Angka perempuan di DPR kini terpaut hampir 10% dengan hasil pemilu 1999 baru mendudukkan 8,6% perempuan di DPR.

Ekspektasi yang tersemat dengan kian meningkatnya anggota dewan dari kaum perempuan tentu hanya satu, perubahan positif terkait peran dan kewenangan DPR yang jauh dari kemaslahatan ummat. Harapan kepada perempuan sama seperti harapan rakyat pada kaum muda. Sebab sudah tak cukup kata-kata untuk melukiskan kebobrokan DPR di negeri ini.