Kajak, Liliuran dan Kerid: Gotong Royong ala Gehol


Gotong royong adalah tradisi yang diidentifikasikan dengan Indonesia. Jika tidak pernah atau tidak kenal gotong-royong, maka ke-Indonesiaan seseorang patut dipertanyakan. Tradisi gotong royong sendiri mengalami puncak keemasan di masa Orde Baru. Selain menjadi santapan wajib tiap hari di sekolahan, banyak program pemerintah yang mencirikan gotong royong.

Ilustrasi Kerid (antarafoto.com)

Di Gehol alias Jetak sendiri, ada setidaknya tiga tradisi gotong royong. Kajak untuk membantu salah satu warga Gehol memperbaiki atau membangun rumah. Liliuran yang dikhususkan untuk membantu salah satu warga dalam menggarap sawah. Terakhir adalah kerid, sebuah tradisi gotong rotong khusus untuk memperbaiki sarana dan prasarana kampung.

1.      Kajak

Tradisi ini sangat membantu warga demi menghemat keuangan yang sedang membangun rumah. Maklum tradisi ini dulunya begitu kompak menunjukkan solidaritas warga dalam membantu sesama.

Hal yang unik dari tradisi ini adalah adanya sistem bergilir dari seluruh warga Gehol. Bisa dipastikan bahwa semua warga akan mengirimkan minimal satu wakil yang mewakili sebuah keluarga untuk membantu. Saking teraturnya, semua mampu melihat kebutuhan si tuan rumah. Jika kebanyakan peserta maka yang kajak akan mengurangi diri dan jika kekurangan orang dengan segera ada warga yang akan menambalnya.

Tentu saja mereka yang kajak datang dengan kesadaran sendiri dengan bermodal satu harapan bahwa jika dia sedang mengalami hal yang sama maka akan mendapatkan bantuan dari semua warga. Banyak tidaknya yang mengikuti kajak menjadikan sebuah ukuran sejauh mana kebaikan orang tersebut.

Kenapa kajak membantu keuangan warga yang sedang membangun rumah? Tak lain karena mereka yang kajak akan membantu tukang yang sedang membangun. Dengan banyaknya tenaga gratisan ini, maka pembangunan akan kian cepat selesai. Dulu, kajak akan berjalan hingga proses pembanguna selesai.

Sayangnya sekarang kajak kian hilang dari budaya Gehol. Kajak kini hanya berlaku di awal dan akhir kegiatan saja. Bahkan tak jarang tak ada kajak sama sekali tergantung tuan rumah tentunya. Beruntung kajak ala ibu-ibu masih terus berlangsung hingga kini, meski terbatas pada kerabat. Ibu-ibu akan membantu tidak dengan tenaga, tetapi dengan menyumbang makanan ala akdarnya bagi tuan rumah.

2.      Liliuran

Sama seperti kajak, liliuran juga merupakan seni saling membantu sesama warga atas dasar ikhlas. Hanya saja objeknya berbeda. Liliuran khusus untuk membantu warga dalam menggarap sawah atau ladangnya.

Liliuran sendiri tentu sangat membantu, mengingat sebagian besar warga Gehol adalah petani. Dengan liliuran, pekerjaan yang seharusnya bisa sampai seminggu dapat selesai hanya dalam sehari.

Uniknya program liliuran dilihat kontinuitas dalam pelaksanaannya. Jika peserta liliuran adalah sepuluh orang, maka bisa dipastikan dalam waktu tertentu – biasanya dalam masa tanam – kesepuluh orang tersebut akan berkeliling ke ladang atau sawah mereka. Jika hari Senin kesepuluh orang tersebut menggarap sawah si A, maka sembilan hari kemudian mereka akan menggilir sawah masing-masing.

Konstinuitas dalam waktu berdekatan memang sangat unik dan menguntungkan. Dengan demikian, masa tanam serta masa panen sawah atau ladang mereka akan terhitung serentak. Senada dengan masa tanam, masa panenpun akan diisi dengan liliuran juga.

3.      Kerid

Kerid adalah seni gotong royong untuk memperbaiki sarana dan prasarana desa mulai gedung balai desa, jalan hingga pengairan. Khusus untuk kerid masalah air, disebut dadawuan. Sayangnya jika kerid hampir seluruh warga ikut, dadawuan lebih terbatas kepada mereka yang merasakan manfaat langsung dari sistem irigasi dari sarana yang diperbaiki tersebut.

Kerid biasanya dikordinir langsung oleh pamong desa. Warga akan berbondong-bondong memperbaiki sarana tersebut hingga kembali berfungsi normal. Karena jaman Orde Baru masalah sarana bersama jarang ditenderkan secara terbuka kepada pihak swasta, maka kerid di Gehol sering sekali terjadi.

Kini, kerid masih sering dijumpai meski dalam skala terbatas dan biasanya terkait hal darurat. Misalnya saja memperbaiki jembatan roboh, mencari korban longsor, mencari korban hanyut dll.

Sekelumit kisah tradisi yang mencerminkan kebersamaan tersebut kini kian jarang dan mendekati musnah. Sesuatu yang sangat disayangkan, mengingat selain sebagai ajang memperbaiki sarana fisik juga sebagai tempat mempererat silaturahim.



Tundan, Babarit dan Bada Bumi: Tradisi Hilang dari Gehol


Mengenang Gehol selalu teringat berbagai tradisi yang hilang karena ego kaum kini. Tradisi yang terselip diingatan tersebut, hanya beberapa kali terkecap saat aku masih kecil.  Tiga dari tradisi yang terselip di ingatan tersebut adalah tradisi Tundan, Babarit dan Bada Bumi. 

Ilustrasi Bada Bumi (radarkarawang.blogspot)
 
1.      Tundan

Tradisi ini berkaitan erat dengan mata pencaharian penduduk Gehol sebagai petani. Tundan diadakan jika sawah di Gehol diserang oleh hama. Hama yang biasanya membuat masyarakat Gehol melaksanakan Tundan adalah tikus.

Tundan dilakukan oleh seluruh penduduk dengan menggiring sang hama keliling kampung sambil diiringi tabuh-tabuhan. Tikus yang merupakan hama, ditangkap kemudian diiring oleh seluruh penduduk kampung sehingga sang tikus dan hama lainnya malu dan menghilang dari sawah warga.

Tentu saja, sebelum pengiringan dilaksanakan para tetua adat akan melakukan doa-doa kepada Yang Kuasa. Kemenyan dan perangkatnya akan mengharu biru sehingga suasana menjadi hikmad. Sesudah berdoa itulah, proses Tundan  di atas dilakukan.

Jika melihat prosesnya memang susah dicerna secara akal sehat bahwa untuk mengusir hama, yang dilakukan penduduk adalah dengan mengaraknya seperti maling. Namun, sebagai tradisi tentu saja banyak makna terpendam di balik tradisi tersebut. Yang jelas Tundan seratus persen membuktikan bahwa penduduk Gehol cinta alam. Bayangkan dengan cara ”ilmiah” sekarang yang lebih banyak menimbulkan penyakit.

Selain Tundan, cara mengusir hama di kampungku memang unik. Salah satu yang sejak aku kecil hanya terdengar kisahnya adalah cara mengusir hama Kungkang. Kungkang sendiri bernama latin Leptocorisia sp, suku Coreidae. Sebutan bahasa Indonesianya kalau tidak salah Walang Sangit.

Konon, untuk mengusir hama ini, pemilik sawah cukup mengelilingi sawah mereka dengan telanjang bulat. Yang lebih ekstrim lagi, pasangan suami istri pemilik sawah harus melakukan ritual khusus. Ritual itu adalah sang istri harus mengikat kelamin suaminya saat mengelilingi sawah.

Dengan kata lain, sang istri menuntun suami layaknya kerbau dengan mengikatkan tali di kemaluannya. Entah apa maksud dari tradisi ini, yang jelas 100% tidak merusak lingkungan. Tentu saja, ritual ini dilakukan saat suasana sawah telah sepi. Biasanya dilakukan saat senja tiba, dimana para petani lainnya sudah pulang ke rumah.


2.      Babarit
Babarit adalah tradisi Gehol yang telah punah juga. Tradisi ini adalah semacam acara syukuran penduduk Gehol. Babarit dilaksanakan saat Bulan Maulid. Hari yang dipilih jika tidak Jumat Kliwon maka Selasa Kliwon.

Pelaksanaan Babarit sama dengan pelaksanaan tradisi lainnya. Penduduk berkumpul di tempat yang ditentukan kemudian berdoa bersama dipimpin oleh tetua desa. Setelah itu para penduduk pulang ke rumah masing-masing. Setelah sampai rumah, maka masing-masing penduduk akan melemparkan hasil bumi mereka ke atas atap.

Hasil bumi yang dilemparkan tersebut biasanya biji jagung rebus, kacang tanah, singkong rebus yang sudah dipotong kecil dan umbi-umbian lainnya. Sambil melemparkan hasil bumi tersebut, maka penduduk akan berteriak, ”Babarit!” Setiap lemparan akan menyebutkan kata Babarit.

Jika dilihat dari waktunya, maka Babarit kemungkinan besar adalah ucapan syukur masyarakat Gehol atas kelahiran nabi. Apalagi, hari yang dipilih lebih banyak Jumat yang bagi sebagian besar dianggap sebagai hari lahir Nabi Muhammad SAW. Di kalangan Syi'ah, sesuai dengan arahan para Imam yang merupakan keturunan langsung Muhammad, meyakini bahwa ia lahir pada hari Jumat, 17 Rabiulawal; sedangkan kalangan Sunni percaya bahwa ia lahir pada hari Senin, 12 Rabiulawal (2 Agustus 570 M). Hal ini kian dikuatkan dengan pemakaian nama Babarit. Sebagaimana diketahui, babarit berasal dari kata babar yang artinya lahir. Meski secara religius, kampungku tidak beraliran Syiah dan cenderung Sunni. Namun pemakaian Jumat atau Selasa Kliwon kemungkinan besar karena kedua hari tersebut dianggap hari baik dan kramat oleh masyarakat Gehol.

3.      Bada Bumi

Tradisi Bada Bumi dilaksanakan pada bulan Sura dalam sistem kalender Jawa. Bulan ini sendiri adalah bulan Muharram alian bulan pertama dalam sistem kalender Islam. Dengan kata lain, Bada Bumi adalah tradisi syukuran penduduk Gehol menyambut pergantian tahun.

Bada Bumi sendiri secara harfiah bisa diartikan lebaran atau perayaan bagi Bumi. Tradisi ini dilaksanakan dengan cara semua penduduk Gehol berkumpul sambil membawa makanan terenak yang bisa disiapkan. Makanan tersebut kemudian dimakan bersama seluruh penduduk. Biasanya para penduduk melakukan saling tukar makanan. Selain itu, masing-masing penduduk akan menyiapkan satu bungkus makanan yang akan disetorkan kepada panitia.

Bungkusan yang disetorkan kemudian akan dibagi-bagikan ke rumah-rumah seluruh penduduk. Tentu saja bagian pamong desa dan perangkatnya mendapatkan bagian yang dinilai makanan terbaik. Ini sebagai tanda terima kasih rakyat atas kesediaan mereka memutar roda pemerintahan.

Yang paling inti dari Bada Bumi adalah adanya penanaman kepala kerbau atau kambing di tempat paling strategis di kampung. Biasanya penanaman dilakukan di perempatan yang dilalui oleh semua orang baik yang masuk maupun keluar kampung. Tujuannya agar tanah tempat bercocok tanam memberikan kesuburannya bagi seluruh penduduk kampung.

Itulah sekelumit ingatan mengenai beberapa tradisi di kampungku. Tradisi yang hilang karena manusia di kekinian jaman merasa lebih beriman. Sebuah hal yang patut disayangkan sebab tradisi-tradisi tersebut pastilah memiliki makna yang dalam.

Unggah-unggahan: Paling Dinanti Anak Sekolah Gehol

Di kampungku, Gehol alias Jetak sana, dahulu hanya ada dua sekolah SD. Meski kini ada sekolah SMP berbasis keagamaan, namun cuma hal yang sangat menarik menyangkut masa sekolah SD di Gehol yang hendak disharing di sini. Karena penulis adalah produk lokal edisi lama, maka kenikmatan mengecap sekolah SD tentu salah satu yang sayang untuk dilupakan.



Sebagai anak kampung, maka makan enak dengan lauk telur, daging ayam, daging kambing atau sapi sangat jarang dilakukan. Saing jarangnya, makan dengan lauk istimewa di atas bisa dihitung dengan jari. Lebaran Puasa, Lebaran Haji, Bada Bumi (sudah punah), Hajatan, ayam milik sendiri mati, dan unggah-unggahan adalah waktu dimana anak-anak kampung pasti makan lauk istimewa.

Semasa sekolah di tingkat paling dasar - saat itu TK belum menjamah kampungku - banyak hal yang seakan menjadi tradisi dan wajib dilaksanakan para siswa. Salah satu tradisi yang sangat kuat dan dinanti-nanti oleh para murid adalah hari kenaikan kelas. Jujur, meski takut tidak naik, namun bukan apakah kami naik ke kelas yang lebih tinggi atau bukan yang membuat kami sangat antusias menyambut kenaikan kelas. Yang paling kami tunggu adalah, unggah-unggahan.

Unggah-unggahan secara etimologi berasal dari kata unggah (Jawa) yang berarti naik. Tentu saja masuk akal memakai istilah tersebut (meski kampung ane berbahasa Sunda) dalam acara naik kelas. Sebab memang tujuannya adalah merayakan kenaikan kelas, alias munggah kelas.

Lalu apakah yang menyebabkan unggah-unggahan begitu ditunggu anak sekolah? Karena dalam acara ini, semua murid dibekali makanan terenak oleh orang tua masing-masing. Bisa jadi - dan pasti begitu-, anak-anak kampungku lebih kenal dengan perayaan unggah-unggahan daripada ulang tahunnya sendiri.

Makanan yang diberikan oleh orang tua masing-masing memang sengaja dibuat seenak dan semewah mungkin. Sebagai anak-anak yang berasal dari kaum miskin dan berekonomi sedang, tentu kami sangat menanti kegiatan ini. Selain karena jarang sekali mendapatkan makanan spesial, makan bersama teman sekelas (bahkan satu sekolah) adalah kenikmatan lebih.

Secara teknis, urutan unggah-unggahan sangat sederhana. Karena hari istimewa, maka sekolah sudah ramai sejak pukul 6 alias lebih cepat sekitar dua jam dari hari biasa. Selayaknya anak-anak, maka sikap pamer dengan memperlihatkan lauk dimulai sejak bertemu dengan teman sekelas atau teman satu sekolahan. Saking antusiasnya memamerkan lauk dan makanan yang dibawa, tak jarang ada juga siswa yang saling ejek dan beujung berantem. Uniknya semua diam dan reda saat makanan diperbolehkan disantap.

Lalu, kapankah makanan boleh disantap? Tentu saja menunggu perintah dari guru. Oya, guru di sekolahku juga tentu tidak akan sekedar menonton. Bagi mereka telah tersedia hidangan yang dibawa oleh murid-murid yang sudah ditunjuk untuk menyediakan. Kriterianya mudah saja, sang murid berada dan mampu menyediakan hidangan istimewa buat guru.

Santapan diperbolehkan setelah kelas masuk seperti biasa dan ada basa-basi sedikit dari guru. Basa-basi yang tidak didengarkan oleh siswanya tersebut adalah perolehan nilai, siapa yang wajib dipertahankan, harus ditingkatkan dan dicambuk agar tidak mengulangi memperoleh nilai buruk. Sebuah ceramah yang bagi kami tidak penting lagi mengingat di laci masing-masing ada santapan istimewa.

Saat-saat yang membosankan para siswa masih bertambah. Sang guru akan dengan sabar membagikan rapor mulai dari urutan pertama sementara para siswa sudah entah berapa kali mengintip bekal mereka. Saat siswa terakhir mendapatkan raportnya, maka itu adalah tanda menyantap bekal unggah-unggahan bisa dimulai. Terkadang, bagi anak yang lebih berani, makanan sudah habis dilahap bahkan sebelum bel masuk berbunyi.

Yang paling seru dari unggah-unggahan adalah saling berbagai lauk antarsesama murid. Oleh karena itu, hampir semua siswa membawa lauknya lebih dari satu. Dengan sistem pertukaran tersebut, maka makin meriahlah acara makan bersama sekaligus merayakan kenaikan kelas.  Sebuah kenangan yang sayang untuk dihapus dari ingatan.


A(k)utisme Pemimpin Parpol

“Barang siapa yang dapat menahan kemarahannya yang telah memuncak seperti menahan kereta yang sedang melaju, ia patut disebut sais sejati.
Sedangkan sais lainnya hanya sebagai pemegang kendali belaka.”
Sang Budha (Dhammapada Atthakatha)



Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, autisme adalah gangguan perkembangan pada anak yang berakibat tidak dapat berkomunikasi dan tidak dapat mengekspresikan perasaan dan keinginannya sehingga perilaku hubungan dengan orang lain terganggu. Asumsi banyak orang, gejala ini mengakibatkan penderitanya hanya sibuk dengan dunianya sendiri. Segala sesuatu dipandang dari sudutnya.

Apa yang terjadi jika sais alias pemimpin, terutama pemimpin parpol, memandang suatu masalah dari sudutnya tanpa bisa menempatkan dirinya di posisi  yang seharusnya (lawannya), maka yang terjadi adalah misekspresi. Kesalahan ekspresi sekaligus menunjukkan bahwa dia tidak menguasai masalah dan tidak memiliki solusi yang tepat terhadap permasalahan yang dihadapi.

Elit Politik

Demi menahan laju popularitas Barack Obama, John McKein menyebutnya sebagai elitis. Elit yang diasosiasikan sebagai kalangan yang tidak terjangkau diharapkan dapat membuat Obama berjarak dengan akar rumput. Meski jurus tersebut mental, tak urung kesan elitis membuat kubu Obama sempat kelimpungan.

Di negeri ini, kata elit selalu dilekatkan kepada para pemimpin. Bahkan pemimpin partai politik yang membutuhkan jasa rakyat. Tiadanya tabu dalam pemakaian istilah ini menunjukkan secara langsung bahwa para pemimpin kita sejak awal mengambil jarak dengan rakyat. Jarak ini hanya kian berkembang terutama ketika rakyat mengalami kesulitan.

Secara kasat mata para pemimpin mendekat. Namun, jika dilihat lebih seksama kedekatan mereka sebenarnya untuk menunjukkan betapa elitnya mereka jika berdekatan dengan rakyat. Para pemimpin akan bertindak bak super hero yang mampu mengatasi keadaan sekaligus menghilangkan kesulitan rakyat. Rakyat seolah duafa yang mesti dan harus menunggu uluran tangan mereka untuk dapat bebas dari kesulitan. Rakyat adalah super zero.

Padahal dengan status elitnya tersebut, para pemimpin parpol hampir bisa dipastikan tidak benar-benar menguasai permasalahan yang dihadapi rakyat. Ekspresi dan interpretasi mereka akan masalah adalah salah satu indikasi bahwa apa yang mereka tawarkan jauh panggang dari api. Partai politik yang menjadi mesin kekuasaan mereka pun, hanya mahir dalam memodifikasi kata untuk mendeskripsikan betapa program mereka sesuai.

Kesalahan Ekpresi dan Intrepertasi  Masalah

Pada awal masa kampanye, iklan-iklan parpol hampir menyamai iklan rokok dalam berkampanye. Kutipan kata-kata bertuah hingga profil-profil menyentuh nurani ditampilkan. Logika kita dituntun untuk meyakini kebenaran platform partainya. Seiring dengan perjalanan masa kampanye, iklan partai politik seperti kehilanga kretivitas, sama monotonnya dengan kampanya terbuka. Kini, iklan partai tidak lebih dari suguhan tarian dan slogan belaka.

Para pemimpin politik pun kerap kali terlalu bersemangat mengekspresikan gagasannya. Marah misalnya, telah menjadi ekspresi tak terkendali yang melekat pada pemimpin politik. Panasnya suasana dan tekanan yang kiat berat membuat interpretasi mereka terhadap masalah berujung pada ekspresi yang melukai pemilik masalah. Makian yang tidak sepantasnya dialamatkan kepada rakyat.

Melihat ekspresi yang tidak mendidik tersebut, dapat disimpulkan sejauh mana kepekaan pemimpin parpol terhadap rakyat pemilik masalah dan masalah itu sendiri. Dengan mengambil pandangannya sendiri kemudian diterapkan kepada rakyat, maka marah adalah satu-satunya yang bisa dilakukan. Sang pemimpin parpol tidak atau enggan memahami bahwa satu bagi dia tidak sama nilainya bagi rakyat. Ketidaktahuan perbedaan nilai ini semakin menunjukkan kesan elitis para pemimpin parpol. Sayangnya dengan klaim sebagai pewaris negeri sebab leluhurnya berjasa, semakin menunjukkan bahwa ia adalah bukan solusi tepat. Anehnya gaung rayuan ini lebih besar daripada program yang ditawarkan.

Kritik nan Dangkal

Kemarahan dan ketidakmampuan menentukan perbedaan nilai dalam masyarakat kian menunjukkan bahwa secara konsep para pemimpin parpol tidak lebih tahu dari rakyatnya. Kemarahan ini juga dilakukan melalui kritik membabi buta atas kinerja pemerintah. Sayangnya kritik masih dalam tataran praktis belum menyentuh akar masalah yang sebenarnya. Akhirnya solusi yang ditaarkanpun hanya delusi yang berpusat pada terminologi yang ia bangun.

Solusi pribadi ini dibungkus dengan klaim dan janji-janji yang jika ditanyakan konsepnya masih berupa garis-garis putus-putus. Janji yang ditawarkan tidak sesuai dengan keadaan rakyat yang sebenarnya. Solusinya bersifat ego, dimana sasarannya adalah memenangkan simpati rakyat, bukan memperbaiki nasib rakyat. Maka bertebaranlah hal-hal yang dibutuhkan rakyat untuk sejenak menghindar dari sesaknya masalah. Kampanye pun hanya menjadi sebuah hiburan bagi masyarakat, bukan sarana mendidik.

Keakuan dalam melihat sebuah negeri merupakan tanda-tanda pemimpin parpol mengalami gangguan dalam berkomunikasi dengan rakyat. Karena tidak bisa menyasar apa dan siapa sebenarnya rakyat, maka alat yang digunakan untuk komunikasi pun menggunakan alat yang bersifat universal. Musik, pawai, dan pengumpulan massa adalah komunikasi purba dalam peradaban masyarakat. Keampuhan musik, terutama, dalam menyampaikan pesan memang telah diakui keberhasilannya.
Akan tetapi, dalam lingkup menawarkan solusi bagi perbaikan nasib rakyat, hal tersebut justru membuat para pemimpin parpol kehilangan fokus. Fokus mereka dalam menawarkan program demi rakyat yang lebih baik adalah buaian semata. Sama membuainya musik bagi pendengarnya.

Sekali lagi rakyat dianggap membutuhkan bukan dibutuhkan. Segala sesuatu mulai dari solusi dan cara penyampaian solusi adalah wewenang pemimpin parpol. Para pemimpin parpol adalah kaum elit yang memandang segala sesuatu dari “aku”nya.

Karena ini gejala nasional, maka jangan heran jika menemukannya di Gehol. Elit merasa harus dilibatkan, bukan demi meringankan derita rakyat akan tetapi lebih kepada untuk menaikkan gengsi. Ironis!

Selain Bertani, Adakah Potensi Gehol?


Melihat data dari pemerintah Brebes dan berbagai situs privat lainnya, maka Gehol praktis hanya memiliki potensi bidang pertanian. Padi dan jagung adalah produk yang bisa diandalkan warga Gehol demi melangsungkan peradaban. Bahkan dalam situs resmi pemerintah Brebes-pun, Gehol tak memiliki produk unggulan yang layak diinfokan.

Ilustrasi


Kajian menarik didapat dari Suara Merdeka, yang menyoroti potensi Brebes Selatan. Sebuah pemerintahan administratif hasil pemekaran Brebes yang digagas Kecamatan Salem, Bantarkawung, Bumiayu, Tonjong, Sirampog, dan Paguyangan. Sebuah gagasan yang hingga kini masih belum menemukan titik terang.

Lihat saja hasil dari pemetaan yang dilakukan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Teknologi Bandung (LPPM-ITB) bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Brebes berikut ini. Hasilnya menyatakan bahwa wilayah selatan Kabupaten Brebes memiliki potensi sangat besar di bidang SDA. Potensi itu antara lain batubara, emas, logam dasar (perak, tembaga, timbal dan seng), batu apung, pasir dan batu (sirtu), batu belah, tanah liat, trass, minyak bumi, dan gas bumi.

Kembali menyoroti Gehol dan potensinya, ternyata kita masih harus memikirkan secara matang apa yang bisa di gali. Dari sekian banyak potensi mulai dari industri, pertambangan dan perdagangan, Gehol masih harus gigit jari. Anugerah barang tambang di Gehol masih belum terendus. Memang ada Ranca Minyak, yang dalam bahasa Indonesia berarti rawa berisi minyak, namun kajian yang minim membuatnya jauh dari harapan untuk dieksploitasi.

Industri Gehol masih dalam tahap pemikiran dan perencanaan yang entah hingga kapan menemui bentuk. Selain bahan baku, infrastruktur yang masih belum memadai adalah faktor utamanya. Industri yang bisa dikembangkan kemungkinan tidak bisa massif dan massal. Kemungkinan hanya berupa industri perorangan dengan penyerapan tenaga kerja yang minim. Perdaganganpun tentu masih terkait dengan potensi yang sudah ada. Pertanian.

Ada memang potensi sumber daya alam berupa air bersih. Namun itupun harus berjibaku dulu dengan pemerintah daerah jika ingin hasil lebih untuk Gehol. Sebab meski berada tepat di Jetak alias Gehol, pengembangannya telah dikuasai oleh pemerintah. Entah melalui tangan siapa, atau perusahaan siapa. Yang jelas, warga Gehol harus antri menikmati airnya. Maklum gratis!

Pertanian yang paling memungkinkan dikembangkan dengan serius adalah padi dan jagung. Terdapat juga beberapa sentra bawang merah. Namun sayangnya, kondisi musim yang kian tak teratur membuat produksinya kian menurun. Bahkan sawah irigasipun kian mengkhawatirkan. Kondisi irigasi yang kurang pasokan air dan pemeliharaan yang tak maksimal membuat banyak petani merugi. Hal yang sama juga terjadi dalam industri peternakan.

Mencoba beralih ke potensi wisata dengan mengandalkan adanya bendunganpun sangat sulit. Sebab menikmati keindahan alam tentulah sebaiknya gratis. Bukankah alam adalah anugerah Tuhan. Jadi tak pantas rasanya mengkomersilkan alam apalagi bendungan tersebut adalah milik umum dan sangat penting bagi kehidupan petani. Jikapun mungkin, maka potensi perikanan air tawar seharusnya bisa dikembangkan.

Potensi lainnya yang masih mungkin dikembangkan dengan baik tentu saja kekayaan alam berupa sirtu (pasir dan batu) sungai. Sayangnya hal ini berisiko terhadap kerusakan lingkungan Gehol. Namun hal tersebut bisa diminimalisir asal menjalankannya dengan kajian yang matang.

Dengan minimnya potensi yang bisa dikembangkan, maka perlu kajian mendalam agar Gehol bisa selangkah lebih maju dari kampung lainnya. Potensi yang sudah ada seperti perikanan air tawar dan penambangan batu dan pasir harus dikedepankan kajiannya. Tambahan lainnya berupa industri perkayuan dengan bahan baku melimpah milik Perhutani.