Kerajaan Gehol Bulpusan IX
Dua kuda melesat bak kilat
membelah sekaligus mencerai-beraikan kerumunan Gehol Manunggal yang sibuk
berdebat. Keduanya menuju kea rah Ci Hirup, mereka adalah Gusti Hening dan
Gajah Putra Sunda. Mereka hendak melumpuhkan teluh yang memenuhi hawa Gehol
dengan menghancurkan sumbernya langsung.
Para pemuda yang berkerumung menunggangi kuda-kuda supercepar tersebut, serentak mereka diam dan berlari mengikuti. Sebuah peri semula marah dan heran melihat kedua kuda yang nyaris menabrak mereka. Namun demi melihat siapa yanstiwa besar dipastikan akan terjadi dan memengaruhi anak-cucu mereka berabad-abad kemudian.
Sementara itu, keriuhan juga terjadi di kali Cigunung. Sun Geyo yang susah payah menenangkan par apekerja akhirnya tak dapat membendung kegelisahan dan rasa takut para pekerjanya. Rasa ingin tahu mereka kian menjadi setelah ada salah seorang anak muda yang membocorkan kejadian di istana. Tanpa dapat dicegah, desas-desus akan adanya perang tanding membuat para pekerja bergegas menuju tempat sumber teluh bersarang.
Sun Geyo yang penasaran akhirnya mendapat kejelasan perihal raja dan pertolongan yang ditunggu-tunggu dari Negeri Sagara.
“Kemana mereke pergi?” tanya Sun Geyo pada pesiar kabar.
“Sudah pasti menuju sarang teluh Ki Ulu-ulu,” jawab pesiar kabar sambil segera menyusul para pekerja yang telah berduyun-duyun menuju ke hulu di mana Ci Hirup berada.
“Aku harus ke sana,” batin ulu-ulu tersebut. Kabar Gusti Hening dan Gajah yang hendak menuntaskan tukang teluh telah menyihirnya. Ia dengan kesadaran penuh meninggalkan pekerjaan membuat lewi. Segera ia menaiki kuda dan langsung menyerbu tanpa sedikitpun berniat menoleh ke belakang.
Hampir semua penduduk Gehol yang sanggup berjalan kaki atau menunggang kuda menuju ke Ci Hirup. Menyaksikan kemusnahan tukang teluh yang telah menyengsarakan mereka tentu saja akan menyenangkan. Bukankah mereka juga sudah berniat demikian dari dulu. Hanya saja, semua terhalang oleh tiadanya nyali dalam dada.
“Aku akan bermandi darah wahai para dewa. Darah kaum bodoh yang menyerahkan nyawa mereka ke kediamanku ini,” teriaknya lantang yang segera ditingkahi suara guruh bikinannya.
Dari kejauhan dua titik hitam denga cepat kian membesar menuju tempat ia berdiri. Ya, dua petinggi Kerajaan Gehol dan Negara Sagara sedang berpacu untuk memusnahkan Ratu Balakasura. Tidak lama kemudian, keduanya kini telah berhenti dengan jarak pandang yang cukup, tepat di depan Ratu Balakasura.
Para pemuda yang berkerumung menunggangi kuda-kuda supercepar tersebut, serentak mereka diam dan berlari mengikuti. Sebuah peri semula marah dan heran melihat kedua kuda yang nyaris menabrak mereka. Namun demi melihat siapa yanstiwa besar dipastikan akan terjadi dan memengaruhi anak-cucu mereka berabad-abad kemudian.
Sementara itu, keriuhan juga terjadi di kali Cigunung. Sun Geyo yang susah payah menenangkan par apekerja akhirnya tak dapat membendung kegelisahan dan rasa takut para pekerjanya. Rasa ingin tahu mereka kian menjadi setelah ada salah seorang anak muda yang membocorkan kejadian di istana. Tanpa dapat dicegah, desas-desus akan adanya perang tanding membuat para pekerja bergegas menuju tempat sumber teluh bersarang.
Sun Geyo yang penasaran akhirnya mendapat kejelasan perihal raja dan pertolongan yang ditunggu-tunggu dari Negeri Sagara.
“Kemana mereke pergi?” tanya Sun Geyo pada pesiar kabar.
“Sudah pasti menuju sarang teluh Ki Ulu-ulu,” jawab pesiar kabar sambil segera menyusul para pekerja yang telah berduyun-duyun menuju ke hulu di mana Ci Hirup berada.
“Aku harus ke sana,” batin ulu-ulu tersebut. Kabar Gusti Hening dan Gajah yang hendak menuntaskan tukang teluh telah menyihirnya. Ia dengan kesadaran penuh meninggalkan pekerjaan membuat lewi. Segera ia menaiki kuda dan langsung menyerbu tanpa sedikitpun berniat menoleh ke belakang.
Hampir semua penduduk Gehol yang sanggup berjalan kaki atau menunggang kuda menuju ke Ci Hirup. Menyaksikan kemusnahan tukang teluh yang telah menyengsarakan mereka tentu saja akan menyenangkan. Bukankah mereka juga sudah berniat demikian dari dulu. Hanya saja, semua terhalang oleh tiadanya nyali dalam dada.
***
Ratu Balakasura tertawa dengan
girang mengetahui hampir semua rakyat Gehol dan pemimpinnya menuju ke rumahnya.
Itu berarti, ia akan dengan senang hati membantai mereka yang melawan dan
menjadikan budak bagi siapa saja yang menyerah. Dalam segejap saja, ia sudah
berada di lapangan luas yang sekaligus menjadi halaman rumahnya. Dengan
congkak, ia berdiri dengan tongkat pusaka di tangan.“Aku akan bermandi darah wahai para dewa. Darah kaum bodoh yang menyerahkan nyawa mereka ke kediamanku ini,” teriaknya lantang yang segera ditingkahi suara guruh bikinannya.
Dari kejauhan dua titik hitam denga cepat kian membesar menuju tempat ia berdiri. Ya, dua petinggi Kerajaan Gehol dan Negara Sagara sedang berpacu untuk memusnahkan Ratu Balakasura. Tidak lama kemudian, keduanya kini telah berhenti dengan jarak pandang yang cukup, tepat di depan Ratu Balakasura.
“Kami akan memusnahkan dirimu
wahai tukang teluh,” ujar Gajah lantang.
“Wahai Balakasura, kerajaan tidak bermusuhan denganmu. Tidak juga rakyat kami mengganggumu, kenapa tindakanmu sampai sejauh ini?” tanya Gusti Hening dengan segenap ketenangan yang ia miliki.
“Hahahahahaha, aku tidak butuh alas an untuk melakukan apa yang aku suka. Dan Kau orang gagah, aku tidak akan membunuhmu jika kau mau jadi budakku,” ujar Balakasura menjawab pertanyaan Gusti Hening sembari menunjuk Gajah.
Demi mendengar hal tersebut, Gajah tentu berang bukan kepalang. Hampir saja ia langsung menyerbu nenek tua dengan kemampuan sihir segudang tersebut. Namun niatnya dengan sekuat tenaga diurungkan demi mendapat isyarat sabar dari Gusti Hening.
Saat Gusti Hening, Gajah Putra Sunda dan Ratu Balakasura sedang beradu pendapat dari arah Gehol muncul ratusan anak manusia. Ada yang berjalan kaki, naik kuda, dan bahkan naik kereta angkutan hasil bumi. Tak lupa juga para prajurit Gehol dating beserta kelengkapan senjata mereka. Demi mendapat kabar bahwa raja mereka berangkat hendak menumpas musuh, dengan segera segenap pasukan mengikuti perjalanan sang raja.
(bersambung)
“Wahai Balakasura, kerajaan tidak bermusuhan denganmu. Tidak juga rakyat kami mengganggumu, kenapa tindakanmu sampai sejauh ini?” tanya Gusti Hening dengan segenap ketenangan yang ia miliki.
“Hahahahahaha, aku tidak butuh alas an untuk melakukan apa yang aku suka. Dan Kau orang gagah, aku tidak akan membunuhmu jika kau mau jadi budakku,” ujar Balakasura menjawab pertanyaan Gusti Hening sembari menunjuk Gajah.
Demi mendengar hal tersebut, Gajah tentu berang bukan kepalang. Hampir saja ia langsung menyerbu nenek tua dengan kemampuan sihir segudang tersebut. Namun niatnya dengan sekuat tenaga diurungkan demi mendapat isyarat sabar dari Gusti Hening.
Saat Gusti Hening, Gajah Putra Sunda dan Ratu Balakasura sedang beradu pendapat dari arah Gehol muncul ratusan anak manusia. Ada yang berjalan kaki, naik kuda, dan bahkan naik kereta angkutan hasil bumi. Tak lupa juga para prajurit Gehol dating beserta kelengkapan senjata mereka. Demi mendapat kabar bahwa raja mereka berangkat hendak menumpas musuh, dengan segera segenap pasukan mengikuti perjalanan sang raja.
(bersambung)