Belulang di Mungkal Tumpang (4)



Padepokan Swargalega memiliki kompleks yang sangat megah. Kemegahannya hanya bisa disejajarkan dengan Kompleks Istana Geholsraya. Meski harus diakui bahwa cita rasa seni Pramponama jauh lebih kuat dan agung dari Sukamdani, penguasa Geholsraya.

Keagungan seni yang ditunjukkan Pramponama dalam bangunan Padepokan Swargalega terlihat amat megah. Lihat saja letak bangunan yang menjulang pada sebuah kawasan yang pintu masuknya harus melalui pesisir Cigunung. Bangunan tersebut terletak di sebuah batu karang yang berukuran sangat luas, hamper setengah Gehol ibukota Geholsraya. Daerah yang dinamakan Cikadingding tersebut adalah wilayah yang sangat dihindari setelah hutan Tumaregol.

Belulang di Mungkal Tumpang (3)

Sarju dan Jatianom sama-sama tertarik dengan dongeng-dongeng lama. Mereka yakin bahwa dongeng yang diceritakan leluhur mereka memiliki akurasi kebenaran yang mengagumkan.

“Di masa lalu, ketika semua bangsa masih suka kedamaian, bangsamu, bangsaku, dan bangsa-bangsa yang kini dianggap cuma mitos bersatu dan saling membantu,” ujar Sarju.

“Sayang, semua hilang hanya karena berebut batu.” Sarju meneruskan ceritanya.

Jajagoan, Permainan Ketangkasan dari Gehol

Pilih pohon jagung sebagai jagoan
Melihat namanya, tentu akan teringat dengan film laga atau cerita silat dimana ada para jagoan yang membasmi kejahatan. Namun, jajagoan dari Gehol sangat jauh berbeda. Tidak ada unsure kekerasan sama sekali, meski salah satu risiko memainkan permainan ini bisa terluka.

Permainan jajagoan biasa dimainkan anak-anak Gehol di masa lalu saat musim panen jagung tiba. Karena hanya dengan pohon jagunglah, permainan yang khas anak lelaki ini bisa dimainkan. Melalui media pohon jagung, anak laki-laki yang bermain jajagoan bisa menundukkan lawannya hingga hancur lebur.

Untuk dapat menghancurkan lawan, permainan ini membutuhkan kekuatan tenaga, ketepatan membidik, dan perhitungan yang matang. Kombinasi ketiganyalah yang mampu membuat seseorang bisa memenangkan permainan Jajagoan. Tentu saja, wajib juga ada sejumput keberuntungan yang didapat.



Belulang di Mungkal Tumpang (2)

Dengan Langlayangan kesayangannya, Sarju mengarungi angkasa Geholsraya. Semenjak beberapa tahun terakhir, ia rajin menengok dunia luar. Ia yang memimpin Kaum Margol yang percaya diri sebagai titisan dewa menganggap dunia manusia menakjubkan.

Sebagian besar Kaum Margol hanya keluar sejauh Mungkal Tumpang, sebuah batu bertumpuk yang menjadi area perbatasan yang dibuat kaum Margol. Batu sebesar sepuluh kali gajah dengan tinggi sepuluh kali jerapah tersebut adalah area paling jauh di hutan Tumaregol yang disambangi manusia.

Bagi Kaum Margol, menghuni gua-gua yang dibuat dengan cita rasa seni tinggi ala mereka adalah kenikmatan sekaligus kemewahan abadi dari para dewa. Mereka tidak membangun  satupun banguna  tinggi. Kaum Margol membangun pemukiman mereka menghunjam bumi. Mereka percaya bahwa para dewa bersemayam di dalam inti bumi. Itulah sebabnya, semakin dalam rumah mereka, semakin berkelas di mata Kaum Margol.

Belulang di Mungkal Tumpang

Belantara Tumaregol dijuluki hutan hitam oleh warga Geholsraya. Julukan tersebut diberikan karena hutan tersebut penuh dengan aura angker dan sihir jahat. Setiap malam, suara hewan menggelora mendirikan bulu kuduk.

Hutan Tumaregol sendiri dipenuhi oleh pepohonan tua dengan usia berabad-abad. Jauh di dalam hutan tersebut, tinggal sekelompok makhluk cerdas dengan kemampuan yang adilihung. Mereka adalah manusia-manusia super yang sengaja menghilang dari dunia nyata. Dengan kemampuan mereka yang mumpuni, bepergian ke Geholsraya tanpa diketahui manusia biasa adalah hal yang biasa.

Penduduk dalam Tumaregol biasa disebut Kaum Margol. Kaum Margol sendiri berujud sama seperti manusia biasa seperti kebanyakan warga bumi Geholsraya. Namun badan mereka memiliki tinggi minimal dua meter. Badan mereka kekar dengan wajah keras nan tampan dan cantik. Kaki-kaki mereka jenjang tanpa timbunan lemak berlebih karena hanya sedikit digunakan untuk berjalan. Mereka terbiasa terbang dengan kendaraan rumit yang biasa disebut Langlayangan.

Kaum Margol percaya bahwa mereka adalah titisan para dewa. Kaum Margol mengangkat pemimpin mereka yang paling hebat dan mampu terbang tanpa bantuan Langllayangan. Saat ini, Kaum Margol dipimpin oleh Sarju.

Sarju sendiri terbilang berani dan maju dalam berpikir. Jika selama ini para penduduk Tumaregol enggan bersahabat dengan manusia, Sarju berpikir dan bertindak sebaliknya. Ia diam-diam memiliki kontak dengan salah satu penduduk Geholsraya. Penduduk tersebut berasal dari kalangan biasa saja namun disegani karena kealiman dan pengetahuannya. Ia bernama Jatianom.

Geholsraya sendiri adalah kerajaan terbesar di pesisir Samudra Cigunung. Kekuasaan Geholsraya dibatasi oleh Samudra Cigunung di selatan, Pegunungan Sagara Galuh di barat, Laut Sunyi di utara dan Pegunungan Salamet di timur. Geholsraya terhitung maju untuk peradaban manusia. Kerajaan yang dipimpin oleh Sukamdani ini hidup dari bertani, berlayar, berdagang, dan berdagang logam.

Secara hokum, hutan Tumaregol adalah wilayah Geholsraya. Namun faktanya, hutan ini tidak disentuh kerajaan dan penduduk. Hutan ini berdiri angkuh memanjang dari sisi sungai Jetario menuju Pegunungan Salamet.

Kehidupan Geholsraya dibawah kepemimpinan Sukamdani sedang mengalami kekhawatiran yang menyelimuti seluruh penduduk Geholsraya. Kehidupan yang awalnya tenang berubah penuh gelisah tatkala banyak berseliweran kabar mengenai kebangkitan Padepokan Swargalega yang merupakan perkumpulan manusia-manusia cerdas nan ambisius. Perkumpulan ini memiliki banyak sekali orang pintar yang mampu menciptakan barang-barang dan sejata-senjata canggih yang sulit ditandingi. Swargalega sendiri kini dibawah pimpinan Pramponama. Seorang gila teks-teks kuno yang didesas-desuskan memiliki kemampuan membuat batu terbang.

Ketakutan Geholsraya pada Swargalega karena di masa lalu Swargalega pernah membuat heboh negeri Sukamdani dengan ledakan yang mampu membuat batu-batu meleleh. Geholsraya saat itu terpaksa menumpas Swargalega karena bahan peledak tersebut sering digunakan oleh tangan-tangan culas. Geholsraya sendiri akhirnya melarang Swargalega karena kekhawatiran tersebut.

(bersambung)